Pekan ini, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ)
berulangtahun. Lembaga pendidikan ini unik. Segala macam cahang
kesenian ada di sana, dan ia terletak di Taman Ismail Marzuki,
sebuah pusat kesenian terkemuka. Untuk Dies Natalisnya yang ke
IX, ahli tari terkenal Sardono W. Kusumo yang juga dosen di LPKJ
menulis:
WARUNG Dewi Indah di satu sudut Taman Ismail Marzuki, sore
hari: Seorang pelukis terkenal dengan gaya "senior"nya mengucap
dengan nada tinggi: "Beruntung sekali mereka, mahasiswa LPKJ.
Punya kampus di tengah Taman Ismail Marzuki." Lanjutnya: "Setiap
hari ada pameran lukisan karya pelukis besar. Pementasan
dramawan besar. Konsert musik dan tari orang terkenal. Tentunya
anak-anak itu lebih cepat bisa belajar dan cepat matang."
Kampus ini, karena sifat ke-keseniannya, punya warna lain. Ia
lebih mendekati satu kampung. Setiap orang tahu lebih banyak
tentang orang lain. Beberapa tokohnya nyaris bisa dijumpai
bercokol selama 24 jam sehari, sibuk melayani pertanyaan dan
berbagai pikiran, atau juga berbagai kesantaian.
Urusan mandi, rokok, makan, hutang, pacar, pinjam baju --
seperti juga pelajaran dan latihan kesenian -- adalah masalah
yang dibagi dan dibicarakan bersama sehari-hari.
Suasana kampung itu makin tahun makin menegas.
Seorang adalah buku terbuka bagi lainnya. Dan dalam menganalisa
hidup, tingkah laku, hasil kerja dan prestasi kesenian orang per
orang yang terjadi adalah sesuatu yang sering lebih asyik dan
sekaligus lebih menambah pengetahuan dibanding dengan sekian
banyak teori dalam buku seni. Kebanyakan buku itu pun berbahasa
asing, dan bicara seni dalam konteks satu masyarakat yang asing.
Seorang dosen dengan demikian tak akan menyilaukan karena
prestasi karya seninya saja. Para siswa menembus pribadinya,
tingkahnya sehari-hari, hipokrisinya, paternalismenya kelemahan
dan juga -- ini tak kalah penting --kekuatannya.
Seorang dosen dalam kehidupan 24 jam masyarakat mahasiswa ini
dibicarakan sama dengan tukang kopi Abah, penjaga keamanan
sersan Rembel atau induk semang tempat mahasiswa-mahasiswa
menyewa kamar di Kali Pasir. Penjaga malam yang lebih mengerti
kebutuhan mahasiswa yang mendadak punya inspirasi untuk
mencipta, lalu memberi peluang untuk aktifitasnya punya
kedudukan moral yang lebih tinggi dari seorang pejabat tinggi
administrasi yang dicurigai tidak beres. Dekat dengan rakyat
jelata, mereka belajar untuk tahu seburuk-buruknya dari
seseorang dan sebaik-baiknya dari seseorang.
Kamuflase keramahan yang sumbang. Dosen yang selalu bangun
terlambat. Atau mereka yang lagi jatuh "cinta" pada seorang
mahasiswi atau mahasiswanya.
Mungkin, titik ini secara bersama harus lebih disadari dan
diamati. Suasana kampung yang secara naluriah tumbuh ini
mungkin bisa diharapkan akan membuahkan hal yang positip.
Secara fisik, kampung ini makin mewujud dengan makin banyaknya
mahasiswa yang pindah meninggalkan keluarganya dan mulai menyewa
ruang, kamar atau juga rumah, di sekeliling kampus di bilangan
kampung Kali Pasir. Pergaulan akrab dengan penduduk setempat
mempengaruhi juga sikap hidup mereka.
Banyak dari mahasiswa ini, yang tadinya hidup di lingkungan
keluarga dengan gaya hidup gedongan dan kemewahan,
berangsur-angsur menyerap penampilan gaya hidup yang sederhana.
Satu tranformasi yang berjalan secara wajar dan santai. Tanpa
didera oleh slogan. Mereka tak lagi terpaku pada pandangan satu
standar gaya hidup spektakuler. Dimensi yang lebih-kaya tentang
cara hidup menyelinap diam-diam dalam diri mereka.
Dalam kondisi lingkungan yang sedemikian membaur, ditambah
dengan orientasi yang tidak beku dalam berkesenian melepaskan
diri dari cekaman bentuk-bentuk selesai, karya-karya
masterpiece, mereka langsung kontak dengan proses kehidupan itu
sendiri.
Dalam bentuk yang lain, mereka akhir-akhir ini secara bersama
mengadakan perjalanan jauh masuk dalam lingkungan kebudayaan
yang terbungkus dalam kelompok kesukuan. Tahun lalu sekelompok
mahasiswa dari kelima akademi bersama-sama tinggal sekitar 6
bulan di perkampungan suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan
Timur. Lebur dalam kehidupan mereka, sambil bersama-sama latihan
kesenian.
Beberapa bulan lalu sekelompok lagi tinggal di Pulau Nias
sementara yang lain masuk ke Bali, tinggal di desa-desa. Juga
mereka kunjungi beberapa desa di Jawa Timur. Sementara itu
sekelompok lain yang suka mendaki gunung akhir-akhir ini
mengadakan satu perjalanan untuk mengadakan semacam seminar
kecil, guna mencoba lebih sadar merumuskan usaha-usaha mendekati
alam.
Pandangan bahwa seni adalah sesuatu yang eksplisit mencuat dari
masyarakat, dan bahwa seniman adalah orang dalam gaya hidup
eksklusif, pelan-pelan menjadi kabur. Kesenian dan kesenimanan
menjadi lebih wajar dan lebih dekat dengan orang biasa. Mungkin
ini jawaban buat obrolan seniman besar di warung Dewi Indah.
Mungkin ini bukannya ombak yang memecah secara spektakuler, tapi
lebih merupakan arus dasar yang terus mengalir tanpa nampak di
permukaan.
***
. . . . . . . . . . . . . . . .
Sudah lewat tengah malam, seorang gadis menutup piano. Dia
barusan selesai berlatih karya Stralinski. Membuka pintu
bercanda dengaul penjaga malam, kemudian berjalan masuk
lorong-lorong Kali Pasir, yang senyap dan berlumpur.
Kampus sangat sepi, tapi dia bukannya orang terakhir. Di sudut
plaza satu sosok masih bergerak menggeliat dalam gelap, seorang
aktor sedang berlatih sendiri malam-malam, disaksikan sersan
Rembel, penjaga kampus yang setia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini