Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah kampus, sebuah kampung

Kampus lpkj yang terletak di tim, karena keseniannya, punya warna lain. ia lebih mendekati satu kampung. setiap orang tahu lebih banyak tentang orang lain. mahasiswa hidup wajar dan sederhana.

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan ini, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) berulangtahun. Lembaga pendidikan ini unik. Segala macam cahang kesenian ada di sana, dan ia terletak di Taman Ismail Marzuki, sebuah pusat kesenian terkemuka. Untuk Dies Natalisnya yang ke IX, ahli tari terkenal Sardono W. Kusumo yang juga dosen di LPKJ menulis: WARUNG Dewi Indah di satu sudut Taman Ismail Marzuki, sore hari: Seorang pelukis terkenal dengan gaya "senior"nya mengucap dengan nada tinggi: "Beruntung sekali mereka, mahasiswa LPKJ. Punya kampus di tengah Taman Ismail Marzuki." Lanjutnya: "Setiap hari ada pameran lukisan karya pelukis besar. Pementasan dramawan besar. Konsert musik dan tari orang terkenal. Tentunya anak-anak itu lebih cepat bisa belajar dan cepat matang." Kampus ini, karena sifat ke-keseniannya, punya warna lain. Ia lebih mendekati satu kampung. Setiap orang tahu lebih banyak tentang orang lain. Beberapa tokohnya nyaris bisa dijumpai bercokol selama 24 jam sehari, sibuk melayani pertanyaan dan berbagai pikiran, atau juga berbagai kesantaian. Urusan mandi, rokok, makan, hutang, pacar, pinjam baju -- seperti juga pelajaran dan latihan kesenian -- adalah masalah yang dibagi dan dibicarakan bersama sehari-hari. Suasana kampung itu makin tahun makin menegas. Seorang adalah buku terbuka bagi lainnya. Dan dalam menganalisa hidup, tingkah laku, hasil kerja dan prestasi kesenian orang per orang yang terjadi adalah sesuatu yang sering lebih asyik dan sekaligus lebih menambah pengetahuan dibanding dengan sekian banyak teori dalam buku seni. Kebanyakan buku itu pun berbahasa asing, dan bicara seni dalam konteks satu masyarakat yang asing. Seorang dosen dengan demikian tak akan menyilaukan karena prestasi karya seninya saja. Para siswa menembus pribadinya, tingkahnya sehari-hari, hipokrisinya, paternalismenya kelemahan dan juga -- ini tak kalah penting --kekuatannya. Seorang dosen dalam kehidupan 24 jam masyarakat mahasiswa ini dibicarakan sama dengan tukang kopi Abah, penjaga keamanan sersan Rembel atau induk semang tempat mahasiswa-mahasiswa menyewa kamar di Kali Pasir. Penjaga malam yang lebih mengerti kebutuhan mahasiswa yang mendadak punya inspirasi untuk mencipta, lalu memberi peluang untuk aktifitasnya punya kedudukan moral yang lebih tinggi dari seorang pejabat tinggi administrasi yang dicurigai tidak beres. Dekat dengan rakyat jelata, mereka belajar untuk tahu seburuk-buruknya dari seseorang dan sebaik-baiknya dari seseorang. Kamuflase keramahan yang sumbang. Dosen yang selalu bangun terlambat. Atau mereka yang lagi jatuh "cinta" pada seorang mahasiswi atau mahasiswanya. Mungkin, titik ini secara bersama harus lebih disadari dan diamati. Suasana kampung yang secara naluriah tumbuh ini mungkin bisa diharapkan akan membuahkan hal yang positip. Secara fisik, kampung ini makin mewujud dengan makin banyaknya mahasiswa yang pindah meninggalkan keluarganya dan mulai menyewa ruang, kamar atau juga rumah, di sekeliling kampus di bilangan kampung Kali Pasir. Pergaulan akrab dengan penduduk setempat mempengaruhi juga sikap hidup mereka. Banyak dari mahasiswa ini, yang tadinya hidup di lingkungan keluarga dengan gaya hidup gedongan dan kemewahan, berangsur-angsur menyerap penampilan gaya hidup yang sederhana. Satu tranformasi yang berjalan secara wajar dan santai. Tanpa didera oleh slogan. Mereka tak lagi terpaku pada pandangan satu standar gaya hidup spektakuler. Dimensi yang lebih-kaya tentang cara hidup menyelinap diam-diam dalam diri mereka. Dalam kondisi lingkungan yang sedemikian membaur, ditambah dengan orientasi yang tidak beku dalam berkesenian melepaskan diri dari cekaman bentuk-bentuk selesai, karya-karya masterpiece, mereka langsung kontak dengan proses kehidupan itu sendiri. Dalam bentuk yang lain, mereka akhir-akhir ini secara bersama mengadakan perjalanan jauh masuk dalam lingkungan kebudayaan yang terbungkus dalam kelompok kesukuan. Tahun lalu sekelompok mahasiswa dari kelima akademi bersama-sama tinggal sekitar 6 bulan di perkampungan suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan Timur. Lebur dalam kehidupan mereka, sambil bersama-sama latihan kesenian. Beberapa bulan lalu sekelompok lagi tinggal di Pulau Nias sementara yang lain masuk ke Bali, tinggal di desa-desa. Juga mereka kunjungi beberapa desa di Jawa Timur. Sementara itu sekelompok lain yang suka mendaki gunung akhir-akhir ini mengadakan satu perjalanan untuk mengadakan semacam seminar kecil, guna mencoba lebih sadar merumuskan usaha-usaha mendekati alam. Pandangan bahwa seni adalah sesuatu yang eksplisit mencuat dari masyarakat, dan bahwa seniman adalah orang dalam gaya hidup eksklusif, pelan-pelan menjadi kabur. Kesenian dan kesenimanan menjadi lebih wajar dan lebih dekat dengan orang biasa. Mungkin ini jawaban buat obrolan seniman besar di warung Dewi Indah. Mungkin ini bukannya ombak yang memecah secara spektakuler, tapi lebih merupakan arus dasar yang terus mengalir tanpa nampak di permukaan. *** . . . . . . . . . . . . . . . . Sudah lewat tengah malam, seorang gadis menutup piano. Dia barusan selesai berlatih karya Stralinski. Membuka pintu bercanda dengaul penjaga malam, kemudian berjalan masuk lorong-lorong Kali Pasir, yang senyap dan berlumpur. Kampus sangat sepi, tapi dia bukannya orang terakhir. Di sudut plaza satu sosok masih bergerak menggeliat dalam gelap, seorang aktor sedang berlatih sendiri malam-malam, disaksikan sersan Rembel, penjaga kampus yang setia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus