Berita berjudul Fakultas Hukum Digugat (TEMPO 3 Januari, Hukum) menarik untuk saya tanggapi. Apabila Bapak Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H., sudah dua tahun mendendam kritik terhadap FH, saya sudah 20 tahun menderita, karena harus melihat kenyataan bahwa, sesudah 1960, peradilan dan profesi advokat selalu mundur. Mengapa? Sebab, ilmu profesi sekarang ini tidak lagi diterapkan dengan baik di Indonesia. Sebenarnya, sampai 1960, peradilan dan profesi advokat masih baik, karena perundangan zaman Belanda masih berlaku. Tapi akhir-akhir ini terjadi kemunduran karena lahirnya peraturan-peraturan baru yang tak sesuai dengan ilmu profesi. Saya sudah sangat sering mengkritik soal itu. Bahkan buku saya Provesi Advokat juga membicarakan bagaimana mengatur ilmu pengadilan. Tapi tak ada yang menggubris. Mari kita lihat kenyataan-kenyataan. Menurut sejarah - sejak lahirnya di zaman Romawi - pendidikan advokat dan dokter sama: learning by doing. Lalu ada FH dan law school (tak sama dengan FH). Seperti dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, law school berprogram diploma. FH seharusnya berprogram mendidik sarjana berbudi luhur, karena ilmu hukum jatuh nomor dua di universitas. Sesudah ada fakultas kedokteran, mahasiswanya dididik ilmu dua tahun, praklinis. Dan tiga tahun bed side teaching sampai ijazah medicus doctorandus. Lalu, masih ada dua tahun koasistensi sehingga menjadi arts. Begitu lulus, dokter bisa berpraktek. Dan tak kalah penting: semua dokter, juga dosen-dosen FK, mengetahui praktek dokter. Bagaimana S.H.? Setelah lulus, S.H. tak tahu praktek. Juga bila mereka menjadi dosen sampai senior. Padahal, pengetahuan hukum itu harus ditujukan kepada praktek dan sebaliknya - viceversa. Menurut sistem sekarang, para sarjana hukum lulusan FH itu seperti dokter yang belum pernah melihat rumah sakit: tak tahu cara menyuntik, apalagi diagnosa, terapi, dan lain-lain. Seorang mahasiswa memprotes, "Kami juga diharuskan KKN, menonton sidang-sidang pengadilan.' Saya menjawab, "Apa Saudara dapat menyetir dengan 'belajar' duduk di samping sopir sambil menonton orang menyetir?" Jadi bagaimana seharusnya? Mari kita melihat ilmu profesi. Sarjana hukum lulus dari FH wajib memasuki pendidikan praktek di kantor advokat senior, yang sedikitnya sudah berpraktek tujuh tahun. Dan, menurut kode etik, advokat senior berkewajiban mendidik para sarjana hukum yunior itu. Pendidikan itu disebut stage, dan muridnya disebut stagiaire. Selama pendidikan stage 3-6 tahun itu, stagiaire dididik teori dan praktek pembelaan hukum dan, otomatis: teknik mengadili oleh hakim. Juga, legal tactics, kerukunan profesional antara hakim, jaksa, dan advokat, bagaimana membuat surat gugatan pledoi, bagaimana membuat putusan, dan lain-lain. Ciri khas peradilan sebelum 1960 di Indonesia: cepat, murah, lisan, tanpa surat-surat. Itu dapat pembaca lihat dalam film-film mengenai sidang-sidang peradilan negara-negara lain. Semua berlangsung lisan. Ini hanya mungkin kalau ada kerukunan profesional atau professional brotherhood. Hakim-jaksa-advokat saling mempercayai, menghargai, tak tipu-menipu atau jegal-menjegal. Legal tactics tetap ada, tapi dalam batas-batas kode etik profesi. Bagaikan pertandingan tenis Chris Evert Lloyd melawan Martina Navratilova. Sportif. Wasit tak memegang raket, juga tak ikut bermain. Sedap dipandang mata, meski kadang-kadang ada advokat, seperti John McEnroe, dihukum oleh peradilan kode etik. Sedangkan wasit hanya memutuskan, "In" atau "Out". Ia tak mengecam atau memberi komentar. Begitulah kira-kira sidang-sidang sebelum 1960. Sesudah menyelesaikan pendidikan stage - di Singapura 3 tahun, di Nederland 6 tahun - stagiaire menempuh suatu bar examination. Kalau lulus, ia mencatatkan diri ke dalam Tableau - buku daftar advokat di Pengadilan Tinggi. Lalu, disumpah tanpa "pengangkatan" menjadi advokat. Sebab, secara otomatis ia menjadi anggota Bar Association. Sesudah kira-kira 20 tahun menjadi advokat, ia dapat diangkat menjadi hakim, atas rekomendasi Bar Association. Jadi, menurut ilmu: advokat mengontrol hakim, bukan hakim mengontrol advokat. Tapi hakim juga mengontrol advokat melalui lembaga Contempt of Court, yang di Indonesia tak ada, karena prasarananya tak ada. Kesimpulan, semua itu di Indonesia tak ada. Sebab, ilmu itu pengalaman umat manusia. Kalau ditinggalkan, hasilnya kekacauan. Saya, dulu, mengkritik Bung Karno - ia idola saya di 1930 - karena mengharuskan di Indonesia tak berlaku trias politica. Sebab, bagaimanapun, hakim dan jaksa tak bisa disuruh bersatu melawan advokat. Kini, peradilan kita, menurut kenyataan, sering merupakan pertandingan antara hakim dan advokat. Bahkan kadang-kadang advokat dijadikan terdakwa. Lalu, siapa yang mewasiti ? MR. SOEMARNO P. WIRJANTO Jalan Teposanan 18 Solo, Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini