PADA 9 Februari 2001, kami dari MT Annur dan Forum Komunikasi Keluarga Besar Warga Indonesia di Taiwan diundang menghadiri acara penandatanganan nota kesepahaman antara Apjati, AMA, TAMA, dan asosiasi penyalur tenaga kerja di Taipei, Taiwan. Pemerintah Indonesia diwakili Dirjen Bina Penta dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI).
Kami sangat sedih ketika mengetahui salah satu isi nota itu, yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia setuju atas pemotongan gaji sebesar NT$ 120 ribu, setara dengan Rp 35 juta, sebagai fee, yang oleh agensi di Taiwan diasumsikan sebagai utang TKI dan TKW.
Dengan gaji NT$ 15.840 setelah dipotong pajak 20 persen selama enam bulan pertama dan 6 persen pada bulan seterusnya, serta potongan asurasi kesehatan dan lain-lain, para tenaga kerja hanya menerima gaji NT$ 2.000-4.000 per bulan selama satu tahun. Para tenaga kerja Indonesia dijanjikan akan mendapatkan gaji penuh pada tahun kedua. Padahal, tidak ada jaminan mereka bisa bekerja selama dua atau tiga tahun, sebagai batas maksimal izin bekerja di Taiwan. Sebab, pada kenyataannya para TKI dan TKW dipulangkan ke Indonesia setelah habis masa potongan alias mereka bekerja hanya satu tahun. Untuk mendapatkan tenaga kerja baru, agensi di Taiwan merekrut tenaga kerja lain. Itu pun berlaku ketentuan yang sama dengan ketentuan dalam isi nota kesepahaman.
Kondisi kerja sangat berat dan gaji yang tidak memadai, kadang-kadang hanya cukup untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Apalagi untuk mengirim uang untuk keluarga di Indonesia. Bandingkan dengan Filipina. Negara ini mengirim tenaga kerja juga ke Taiwan, membayar fee NT$ 50.000-60.000 saja sudah merasa sebagai budak.
Kami tidak tahu masukan apa yang diberikan KDEI yang tentunya lebih tahu permasalahan para TKI dan TKW. Padahal, kami sering mengundang KDEI dalam acara halal bihalal atau pengajian di Masjid Raya Kaohsiung, Taiwan, sekaligus memberikan masukan soal TKI. Namun, yang kami dapatkan adalah tuduhan. Kami dianggap sebagai provokator. Pemerintah Indonesia semestinya sadar, kini di Taiwan terdapat 90 ribu TKI yang diberlakukan nyaris seperti budak yang ditipu dan diperas tanpa perlindungan.
Kami masygul ketika menghadiri acara penandatanganan nota kesepahaman yang diselenggarakan di hotel bintang lima, sementara kami tidak diberikan kesempatan menyuarakan penderitaan TKI dan TKW di Taiwan. Kami adalah saksi pesta mewah, pesta kekalahan dan kebodohan bangsa Indonesia.
ZAINAL ABIDIN
FKKBWIT, Kaohsiung, Taiwan R.O.C
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini