SAYA sangat terkejut membaca wawancara TEMPO dengan K.H. Abdullah Abbas, pimpinan Pesantren Buntet, Cirebon (TEMPO, 18 Februari 2001). Di situ disebut isyarat langit tentang kepresidenan Gus Dur.
Ceritanya, K.H. Abbas mendapat informasi dari Kiai Fahim, yang menanyakan kepresiden Gus Dur pada kuburan seorang aulia bernama Syaikhuna bin Yamin, yang makamnya berada di Bongkor, Semarang, Garut. Konon, kata Kiai Fahim, Gus Dur sudah diberi selendang emas dari para wali. Lantas, Kiai Abbas pun percaya jawaban dari kuburan itu bahwa kepresiden Gus Dur adalah baik dan mendapat ridha Allah.
Membaca itu, saya kaget bukan main?dua kiai percaya pada jawaban yang diperoleh dari kuburan. Sungguh ini sangat memalukan. Kiai, bukankah bertanya atau minta petunjuk dari kuburan menurut hadis Nabi dan kitab suci adalah perbuatan haram nan merupakan kekejian di mata Allah? Dalam Alquran tak ada penjelasan rinci mengenai pelarangan bertanya pada kuburan. Tapi dalam kitab Taurat (Ulangan 18:9-12) disebutkan, bertanya atau minta petunjuk kepada penenung, peramal, penyihir, arwah, dan orang mati adalah kekejian bagi Tuhan.
Kiai Abbas, sebagai seorang tokoh Islam, jangan memberi contoh atau membenarkan ?perbuatan keji di hadapan Allah? itu kepada umat. Hal itu sangat berbahaya karena merusak tauhid. Maaf ya, Kiai, jangan menggadaikan tauhid dengan kepentingan politik sesaat. Bertanyalah kepada hati nurani, kenapa bangsa ini setelah dipimpin Gus Dur terus terpuruk, bencana datang susul-menyusul, korupsi makin merebak, kolusi makin menggila, dan darah makin banyak tercecer. Bertanyalah pada Allah dengan hati yang tulus dan suci, Kiai, siapakah Gus Dur itu.
SYAEFUDIN SIMON
Bekasi, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini