Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA pemerintahan Gus Dur serius dalam menegakkan hukum yang selama puluhan tahun dikuasai rezim Orde Baru, momentum terbaik—tentu saja memerlukan keberanian luar biasa—adalah menjebloskan Agus Isrok, putra Jenderal Subagyo H.S., ke penjara. Kita, atau mungkin cuma saya, sudah lama putus asa dengan ”hukum” di Indonesia.
Kematian wartawan Bernas, Udin, buruh Marsinah, dan belasan aktivis proreformasi merupakan bukti kesewenangan pemerintah kala itu, tanpa ada upaya penegakan hukum yang serius.
Sebagaimana ditulis TEMPO dalam rubrik Opini beberapa waktu silam, membandingkan kondisi Indonesia dengan kehidupan hukum di Italia yang dikuasai oleh mafioso selama puluhan tahun, bermodalkan keberanian dan tekad luar biasa, para politizia di Palermo berhasil menangkap si pentolan ulung, Buscetta. Sejak itu, Negeri Pizza mengantongi ”keperwiraan” sebagai penjaga hukum yang mulia.
Sementara itu, dalam sebuah pemberitaan media massa belum lama ini disebutkan, Agus Isrok, Donny Hendiawan, dan Aciang dipergoki aparat kepolisian menyimpan 6.218 butir ekstasi, 3,7 kilogram shabu-shabu, 25 strip valium, dan 27,9 gram putauw. Dari fakta itu, mereka sudah selayaknya dihukum. Seandainya aparat kepolisian atau TNI melepaskan mereka dari jerat hukum, menurut saya, hukum di Indonesia sudah tamat.
Para pendukung antinarkoba yang memasang spanduk di mulut gang-gang becek dan berkarnaval dengan seragam putih tak lebih dari orang-orang yang menjadi ”korban” bisnis mafia narkoba
GENDUT RIYANTO
Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo