Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supremasi hukum kini tampaknya menjadi dambaan rakyat pada era reformasi ini. Ini terbukti dengan banyaknya tekanan publik terhadap supremasi hukum dan keadilan agar pemerintah mau mengungkap dan membuka kembali kasus-kasus dan segala sesuatu yang terjadi di balik tragedi-tragedi masa lalu seperti kasus Tanjungpriok, pembunuhan Marsinah, pembunuhan peragawati Diece, rekayasa dalam kasus pembunuhan Udin, seorang wartawan Berita Nasional, dan lain-lain.
Namun, di balik semangat yang muncul untuk mengungkap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, ujung persoalan yang banyak dibicarakan para praktisi hukum adalah apakah memang ada political will dari pemerintah.
Dan yang lebih penting, jangan sampai problem klasik dalam masalah hukum muncul kembali ketika ada semangat penegakan supremasi hukum, tetapi itu terjerat oleh masalah seperti cacatnya keadilan, jatuhnya wibawa hukum dan hakim, adanya intervensi kekuasaan dalam pengadilan, serta tidak mandirinya badan pengadilan dalam memutuskan perkara. Semua ini terjadi pada kasus-kasus masa lampau, yang rata-rata tidak terselesaikan dengan cara yang memuaskan, bahkan terkesan ditutup-tutupi.
Padahal, salah satu faktor yang berperan dalam memutuskan suatu perkara di antara manusia adalah keadilan. Tapi, justru dari sekian banyak perkara yang diputuskan dalam pengadilan, banyak masyarakat yang mendapat ketidakadilan sehingga akhirnya masyarakat itu sendirilah yang melecehkan ”peradilan” itu. Dan sesuatu yang wajar pula jika pada akhirnya masyarakat mempertanyakan kembali tentang sistem peradilan yang katanya berslogan ”adil, berwibawa, dan mandiri” itu. Mungkinkah itu semua dapat terwujud?
Sesungguhnya, inti permasalahan yang ada ialah sebagai umat Islam, janganlah sampai salah langkah dan persepsi. Sebab, sikap hidup seseorang akan sangat ditentukan oleh cara pandang mendasar yang dimilikinya tentang kehidupan. Dan tentunya, sebagai seorang muslim yang meyakini akidah Islam, sudah seharusnya kita senantiasa memiliki kesadaran penuh bahwa keberadaan dan eksistensi diri kita, alam semesta yang kita tempati, serta kehidupan yang kita jalani di dunia ini bukanlah terjadi dan berjalan dengan sendirinya. Kita harus menyadari bahwa ada Dia, yang mengatur dan mengendalikan segala sesuatu. Untuk itu, sudah seharusnya kita mengembalikan semua masalah di atas kepada subyek Sang Pengatur itu, sehingga secara pasti akan kita dapati suatu ketenteraman dan keadilan di masyarakat.
Sebab, semua itu telah terbukti pada masa keemasan Islam dulu, salah satunya dalam kasus tentang ketegasan dan kewibawaan hakim plus pengadilan, yang mampu membatalkan gugatan Ali bin Abi Thalib, yang ketika itu menjabat sebagai kepala negara, hanya karena tidak terpenuhinya persaksian dalam kasus hilangnya baju besi miliknya, yang ternyata ada di tangan seorang Yahudi. Sampai-sampai, akhirnya Yahudi tadi masuk Islam dan mengakui kesalahannya karena melihat dan merasakan terciptanya keadilan hukum yang tidak pandang bulu (lihat Imam Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa halaman 172).
Cobalah kita bandingkan dengan kisah di atas, mungkinkah pada masa sekarang ini seorang hakim akan berani menolak perkara/gugatan seorang pejabat dan penguasa, meskipun pada kasus yang sepele? Sungguh, ternyata Islam telah mempraktekkan keadilan, kewibawaan, supremasi hukum, kemandirian hukum, dan sistem peradilan yang adil pada masa orang-orang Eropa saat itu masih diperbudak oleh kebodohan, kesewenang-wenangan, dan kerancuan hukum di masyarakat. Jadi, masihkah kita tidak mempercayainya dan tidak menginginkan kehidupan yang sejahtera bagi seluruh umat sedunia?
LINA
Margacinta, Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo