Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Seorang Kelasi Di Tapaktuan

Setamat SMA ia langsung ke Jakarta. Berbagai usaha dicoba, tapi belum beruntung. Akhirnya abubakar pulang kampung membuka toko. Kini, ia sukses sebagai penyalur koran dan majalah di tapak tuan.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENCARI rezeki lewat menjual koran atau majalah, adalah biasa. Baik di pinggir jalan, di toko buku mentereng atau cuma di sebuah kotak yang namanya kios. Tapi bagi sebuah kota kecil sepi seperti Tapaktuan di kabupaten ceh Selatan, kios milik si Kelasi selalu jadi sasaran penduduk di sana. Paling tidak bagi mereka yang gemar membaca. "Sayalah yang mempromosikan lebih dahulu koran masuk desa", ujar si Kelasi. Nama aslinya sebetulnya: Abubakar. Tapi karena dia selalu mengenakan celana jeans, sepatu bot dan topi yang mirip-mirip dengan awak kapal, mereka yang kenal akrab merobah nama Abubakar jadi Kelasi. Ditambah lagi dikiosnya ada sebuah Iingkaran yang mirip ban penolong yang biasanya bertengger di sisi-sisi sebuah kapal, Abubakar dengan gayanya mirip seorang bekas pelaut saja. Usia si Kelasi kini sudah 41 tahun. Dan belum berkeluarga. Kalau ditanya mengapa dia belum juga menikah, sedikit segan dia menjawab: "Belum ketemu jodoh, biarpun saya normal lual dalam". Bekal pendidikannya lumayan. Tahun 1956, dia berhasil mengantongi ijaah SMA bagian B di Banda Aceh. Sa ma seperti kebanyakan anak-anak daerah, selepas dia menggondol kertas ber harga itu, pergilah dia ke Jakarta. Rencananya semula mau belajar. Tapi apalacur, Abubakar kurang bernasib mujur. Segala bidang pernah dicicipinya walau serba sedikit. Mulai dari beternak ayam di Parung Kuda, Sukabumi sampai jualan koran di Harmoni, Jakarta. Untuk melicinkan jalannya rezeki, dia juga pernah belajar bahasa Inggeris dan musik. Tapi nasibnya memang tidak seberuntung mereka yang berbintang terang. Main Borong Tahun 1963, dia mudik balik kampung. Karena sang ayah adalah juga pedagang, Abubakar mencoba mengikuti jejak ayahnya. Dia membuka sebuah toko berukuran 2,5 x 6 meter untuk menjual bahan pangan. Sebuah papan nama terpampang: Toko Sari Pangan. Tapi dia belum juga bernasib mujur. Sari Pangan dia rombak jadi toko yang jual bahan bacaan. Itu di tahun 1964. Dipampangkannya majalah-majalah seperti Selecta, Vana, Skets Masa. Rupanya kini dia berbintang terang. Segala macam majalah (sampai ke majalah anak-anak) memenuhi tokonya. Si Kelasi kini tauke dari berbagai majalah dan harian yang masuk ke daerahnya. Namanya beken sebagai penyalur berbagai bahan bacaan. Dengan gembira, kini si Kelasi bisa bilang: "Misi saya nampaknya berhasil. Lihat saja koran Kompas. Tadinya saya ambil 15 eksemplar, kini sudah 75". Biarpun dia belum berhasil mendapatkan seorang isteri, hidupnya kini lebih mapan. Sisa waktunya dia gunakan untuk main musik. Dia menggemari keroncong dan mengagumi Mus Mulyadi dan si Walang Kekek Waldjinah. Ketrampilannya berbahasa Inggeris, dia praktekkan kalau ada pelancong asing yang lewat kotanya. Pokoknya, hidup Abubakar jauh lebih terpandang dan lumayan ketimbang dia menjajakan koran di seputar Harmoni beberapa tahun yang lalu. "Usaha ini akan saya kembangkan, sampai masyarakat di kabupaten ini tahu menghargai nilai bacaan", katanya. Kini usahanya berkembang ke Blang Pidie, Labuhan Hadji dan tempat-tempat sekitar. "Cuma ada pengalaman yang lucu yang sering terjadi", kata Abubakar lagi. "Begini. Bila di koran ada berita keteledoran pemerintah daerah, maka koran dan majalah yang memuat berita itu habis diborong. Tapi ingat, si pembeli adalah pejabat yang terkena kritik tersebut". Cara memborong semua majalah atau koran ini, tentu hanya sesekali saja terjadi. Dan menurut Abubakar, langganannya yang paling setia adalah rakyat biasa, bukan para pejabat. Tambahnya: "Padahal masyarakat biasa daya belinya sering tersangkut untuk keperluan hidup lainnya. Daya beli kurang, yang ada nafsu baca". Begitu menurut si Kelasi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus