MENCARI rezeki lewat menjual koran atau majalah, adalah biasa.
Baik di pinggir jalan, di toko buku mentereng atau cuma di
sebuah kotak yang namanya kios. Tapi bagi sebuah kota kecil sepi
seperti Tapaktuan di kabupaten ceh Selatan, kios milik si Kelasi
selalu jadi sasaran penduduk di sana. Paling tidak bagi mereka
yang gemar membaca.
"Sayalah yang mempromosikan lebih dahulu koran masuk desa", ujar
si Kelasi. Nama aslinya sebetulnya: Abubakar. Tapi karena dia
selalu mengenakan celana jeans, sepatu bot dan topi yang
mirip-mirip dengan awak kapal, mereka yang kenal akrab merobah
nama Abubakar jadi Kelasi. Ditambah lagi dikiosnya ada sebuah
Iingkaran yang mirip ban penolong yang biasanya bertengger di
sisi-sisi sebuah kapal, Abubakar dengan gayanya mirip seorang
bekas pelaut saja.
Usia si Kelasi kini sudah 41 tahun. Dan belum berkeluarga. Kalau
ditanya mengapa dia belum juga menikah, sedikit segan dia
menjawab: "Belum ketemu jodoh, biarpun saya normal lual dalam".
Bekal pendidikannya lumayan. Tahun 1956, dia berhasil
mengantongi ijaah SMA bagian B di Banda Aceh. Sa ma seperti
kebanyakan anak-anak daerah, selepas dia menggondol kertas ber
harga itu, pergilah dia ke Jakarta. Rencananya semula mau
belajar. Tapi apalacur, Abubakar kurang bernasib mujur. Segala
bidang pernah dicicipinya walau serba sedikit. Mulai dari
beternak ayam di Parung Kuda, Sukabumi sampai jualan koran di
Harmoni, Jakarta. Untuk melicinkan jalannya rezeki, dia juga
pernah belajar bahasa Inggeris dan musik. Tapi nasibnya memang
tidak seberuntung mereka yang berbintang terang.
Main Borong
Tahun 1963, dia mudik balik kampung. Karena sang ayah adalah
juga pedagang, Abubakar mencoba mengikuti jejak ayahnya. Dia
membuka sebuah toko berukuran 2,5 x 6 meter untuk menjual bahan
pangan. Sebuah papan nama terpampang: Toko Sari Pangan. Tapi dia
belum juga bernasib mujur. Sari Pangan dia rombak jadi toko yang
jual bahan bacaan. Itu di tahun 1964. Dipampangkannya
majalah-majalah seperti Selecta, Vana, Skets Masa. Rupanya kini
dia berbintang terang. Segala macam majalah (sampai ke majalah
anak-anak) memenuhi tokonya.
Si Kelasi kini tauke dari berbagai majalah dan harian yang masuk
ke daerahnya. Namanya beken sebagai penyalur berbagai bahan
bacaan. Dengan gembira, kini si Kelasi bisa bilang: "Misi saya
nampaknya berhasil. Lihat saja koran Kompas. Tadinya saya ambil
15 eksemplar, kini sudah 75". Biarpun dia belum berhasil
mendapatkan seorang isteri, hidupnya kini lebih mapan. Sisa
waktunya dia gunakan untuk main musik. Dia menggemari keroncong
dan mengagumi Mus Mulyadi dan si Walang Kekek Waldjinah.
Ketrampilannya berbahasa Inggeris, dia praktekkan kalau ada
pelancong asing yang lewat kotanya. Pokoknya, hidup Abubakar
jauh lebih terpandang dan lumayan ketimbang dia menjajakan koran
di seputar Harmoni beberapa tahun yang lalu.
"Usaha ini akan saya kembangkan, sampai masyarakat di kabupaten
ini tahu menghargai nilai bacaan", katanya. Kini usahanya
berkembang ke Blang Pidie, Labuhan Hadji dan tempat-tempat
sekitar. "Cuma ada pengalaman yang lucu yang sering terjadi",
kata Abubakar lagi. "Begini. Bila di koran ada berita
keteledoran pemerintah daerah, maka koran dan majalah yang
memuat berita itu habis diborong. Tapi ingat, si pembeli adalah
pejabat yang terkena kritik tersebut". Cara memborong semua
majalah atau koran ini, tentu hanya sesekali saja terjadi. Dan
menurut Abubakar, langganannya yang paling setia adalah rakyat
biasa, bukan para pejabat. Tambahnya: "Padahal masyarakat biasa
daya belinya sering tersangkut untuk keperluan hidup lainnya.
Daya beli kurang, yang ada nafsu baca". Begitu menurut si Kelasi
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini