Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 14 Oktober 1999, menurut jadwal, Presiden Habibie akan menjadi pusat perhatian Sidang Umum MPR 1999. Bukan karena presiden Indonesia ketiga itu akan mundur dari pencalonannya sebagai presiden, tapi karena pada hari itulah ia akan memberi pertanggungjawaban untuk masa jabatannya yang selama 17 bulan memimpin republik ini. Bagi banyak pengamat, inilah masa krusial jalan Habibie menuju kursi presiden berikutnya. Jika pertanggungjawabannya ditolak, diperkirakan ia akan melorot dari pencalonan. Jika diterima, ia bisa saja melaju.
Namun, akankah pertanggungjawabannya diterima? Sulit menduga maksud hati wakil rakyat di MPR. Tapi, kalau pertanyaan itu diajukan kepada masyarakat, Habibie bolehlah berbesar hati. Soalnya, lebih dari separuh responden jajak pendapat TEMPO yang dilakukan pekan lalu menyatakan akan menerima pertanggungjawaban Habibie dengan sejumlah catatan. Sementara sebagian lainnya tegas-tegas menolak, tegas-tegas menerima tanpa catatan, dan menyatakan abstain.
Alasan "menerima dengan tapi" sebenarnya sederhana. Selama 17 bulan memerintah, Habibie memang punya banyak cacat. Mulai dari pengadilan mantan presiden Soeharto yang tak kunjung digelar, kasus Bank Bali yang melorotkan kredibilitasnya sampai titik terendah, serta sejumlah kekerasan aparat yang bagaimanapun meminta pertanggungjawabannya sebagai panglima tertinggi TNI. Tapi Habibie juga menyelipkan angka biru dalam rapornya. Ia membuka sejumlah sumbat politik yang selama era Soeharto ketat tertutup. Misalnya, soal kemerdekaan pers yang memperoleh kemajuan pesat, opsi memerdekaan Timor Timur, sampai ke pelaksanaan pemilu yang bolehlah diajungkan jempol.
Karena itu, responden memang membuat ranking yang ketat untuk rapor Habibie ini. Menurut mereka, Habibie paling gagal dalam hal mengadili Soeharto. Putra Parepare ini juga tak tertolong dalam kasus Bank Bali dan penegakan hak asasi manusia. Tragedi Aceh dan Semanggi seri I dan IIuntuk menyebut beberapa contohadalah rapor paling buruk yang dimiliki Habibie. Sementara itu, dalam hal Tim-Tim, responden kecewa karena Habibie tak mengindahkan MPR dalam mengambil keputusan, berani memberi referendum kepada Tim-Tim.
Responden tampaknya sepakat bahwa sesi pertanggungjawaban ini akan menjadi gerbang terakhir bagi ambisi Habibie untuk bertahan di Istana. Bahkan, menurut mereka, jika pertanggungjawaban itu ditolak, inisiatif tidak mencalonkan diri itu sebaiknya datang dari Habibie sendiri. Artinya, meski bisa sajadengan lobi politik tingkat tinggiHabibie maju terus, ia harus mengambil inisiatif mundur. Bukan apa-apa, ini bermanfaat untuk menjaga nama baiknya, yang telanjur remuk-redam selama ini. "Akan terjadi demoralisasi kalau setelah ditolak pertanggungjawabannya [oleh MPR] Habibie masih maju terus," kata pengajar sosiologi politik Universitas Indonesia, Imam Prasodjo. Karena itu, Imam yakin, jika pertanggungjawaban Habibie ditolak, sudah pasti ia akan mental dalam pertandingan antarcalon presiden.
Setelah sesi pertanggungjawaban selesai, menurut responden, anggota MPR harus memusatkan perhatian pada pemilihan presiden. Soalnya, inilah bagian penting dari SU MPR. Tanpa presiden dan wakil presiden definitif, sulit mengharapkan perbaikan ekonomi politik di Indonesia. Agenda lain yang sebetulnya lebih mendasar malah dinomorduakan responden. Sebutlah misalnya agenda seperti amandemen UUD 1945 atau perumusan GBHN. Ringkasnya, jika memang waktu mendesak, bisa saja dua masalah yang terakhir dibahas belakangan. Yang penting segera terpilih presiden dan wakilnya.
Terlepas dari bias urban yang mungkin saja muncul dalam penelitian ini, setidaknya jajak pendapat ini bisa menjadi gambaran betapa rakyat sangat mendambakan pemimpin baru. Mudahan-mudahan saja anggota MPR sadar terhadap harapan arus bawah ini. Sehingga, tidak ada deadlock dalam pemilihan presiden 20 Oktober 1999 nanti.
Pertanggungjawaban Habibie D iterima, Tapi...
Sebagian besar responden TEMPO menerima pertanggungjawaban Habibie tapi dengan sejumlah catatan. Menurut mereka, Habibie mesti mundur dari pencalonan presiden.
Arif Zulkifli
INFO GRAFISMenurut Anda, apa agenda terpenting Sidang Umum MPR 1999? | Memilih presiden dan wakil presiden | 66% | Mengamandemen UUD 1945 | 15% | Merumuskan GBHN | 14% | Meratifikasi pelepasan Timor Timur | 5% | Tidak tahu | 1% | | Apa yang harus dilakukan anggota MPR terhadap pertanggungjawaban Presiden Habibie? | Menerima dengan catatan | 56% | Menolak seluruhnya | 21% | Menerima seluruhnya | 7% | Tidak tahu | 16% | | Jika Anda anggota MPR, bagian mana dari pertanggungjawaban Habibie yang semestinya ditolak? | Penanganan kasus Soeharto | 76% | Skandal Bank Bali | 67% | Pelepasan Timor Timur | 56% | Penanganan kasus pelanggaran HAM | 43% | Responden bisa memilih lebih dari satu jawaban | | Jika pertanggungjawaban Habibie ditolak, layakkah ia mencalonkan diri lagi sebagai presiden? | Tidak layak | 65% | Layak | 10% | Tidak tahu | 25% | | Sebaiknya, seberapa sering anggota MPR bersidang? | Setahun dua kali | 4% | Setahun sekali | 41% | Dua tahun sekali | 20% | Lima tahun sekali | 25% | Tidak tahu | 10% | | |
Metodologi jajak pendapat ini:
- Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 500 responden di lima wilayah DKI pada 3-5 Oktober 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
- Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo