Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG Indonesia sudah dari sononya tidak betah jauh dari sanak saudara dan teman. Kalaupun sedang merantau di negeri orang, segala bentuk silaturahmi pasti diusahakan, dari arisan, pengajian bulanan, sampai ramai-ramai tinggal di ''kampung Indonesia". Nah, untuk para perantau yang terlalu sibuk atau jauh tempat tinggalnya, tali persaudaraan dijalin dengan cara lain. Salah satunya dengan menerbitkan koran berbahasa Indonesia yang isi beritanya mirip slogan minuman kola: dari kita, oleh kita, untuk kita.
Koran begini biasanya lahir di kota yang banyak warga Indonesianya. Untuk melayani sekitar 17 ribu warga di Sydney, Australia, koran pertama bertajuk Warta Berita Aquila (dari bahasa Latin yang artinya garuda) lahir delapan tahun lalu. Kini, empat koran sejenis sudah ada di sana.
Warga Indonesia di Eropa dan Amerika Serikat tak ketinggalan. Mereka bahkan tidak cuma menerbitkan koran atau tabloid. Majalah pun ada. Yang paling gres adalah majalah Focus, yang nomor perdananya lahir pertengahan Agustus lalu, di Delft, Belanda. Masih di negara yang sama tapi di Kota Hilversum, ada tabloid Kabar Indonesia. Warga Indonesia di Los Angeles, AS, punya Jurnal Indonesia. Di New York, terbit majalah Hikmah.
Media-media ini punya ciri yang sama: pengelolaannya dilakukan secara gotong-royong. Tak punya kantor resmi, mereka cukup bermarkas di salah satu rumah warga. Peralatan seperti komputer, kamera, dan tape recorder disediakan dengan modal swadaya. Tenaga kerjanya sukarela dan tugasnya dilakukan secara borongan. Dari mencari berita, menulis, mengedit, sampai menyusun layout dikerjakan sendiri. Hanya, pencetakannya diserahkan kepada perusahaan setempat. Koran atau tabloid itu sebagian dikirim ke rumah-rumah pelanggan, sebagian lagi dititipkan di toko kelontong, rumah makan, atau kios koranpokoknya, tempat yang sering dikunjungi orang Indonesia.
Dengan sistem peredaran seperti ini, pengeluaran paling besar biasanya pada ongkos kirim, distribusi, dan biaya cetak. Setiap kali terbit, tabloid bulanan Berita Nusantara (BN) dari Sydney, Australia, menurut pemimpin redaksinya, Anang Yahya, memakan biaya sekitar A$ 2.500 atau kurang-lebih Rp 13 juta. Dengan tebal 20 halaman dan oplah sekitar 10 ribu, BN termasuk media Indonesia yang besar di Benua Kanguru. Pembacanyawarga Indonesia ataupun Australiayang mendapatkan media ini secara gratis, tersebar di hampir seluruh Australia.
Kalau media ini tak dijual, lalu bagaimana mereka bisa hidup sampai bertahun-tahun? Ternyata cukup banyak pihak yang berminat memasang iklan di media seperti ini, dari pengusaha Indonesia dan lokal hingga pemerintah yang perlu memasang iklan layanan.
Tapi tak semua media diberikan secara gratis. Di New York, AS, majalah bulanan Hikmah dijual tiga dolar per buah. Diterbitkan oleh Keluarga Pengajian Indonesia, Hikmah beroplah 500-an. Isinya tak melulu religius. Banyak juga artikel umum mengenai aktivitas dan problematika warga Indonesia di kota besar itu. Majalah yang tebalnya sekitar 40 halaman ini pun sengaja menghindari berita dari media massa di Indonesia. ''Itu bisa dibaca sendiri dari internet," kata pemimpin redaksinya, yang juga wartawan Antara, Akhmad Kusaeni, ''Kalaupun kita tulis, pasti dengan menggunakan sudut pandang masyarakat kita di sini."
BN memilih strategi yang sama. Koran ini pun lebih banyak memuat berita tentang aktivitas komunitas Indonesia di Australia. Isinya beragam, dari laporan seminar yang diadakan kedutaan atau mahasiswa sampai kasus pemalsuan kartu kredit. Berita lokal, kata Yahya, lebih menarik ketimbang berita asal Indonesia, yang sering sudah dimuat media Australia sendiri. Itu sebabnya BN termasuk koran komunitas lokal yang dimonitor Dinas Imigrasi. Maksudnya untuk memahami segala problematika masyarakat pendatang, yang memang banyak di Australia.
Tak semua media Indonesia di luar negeri bisa terbit secara teratur seperti BN dan Hikmah. Bila pengelolanya yang punya pekerjaan di tempat lain itu sibuk, ya, terpaksa koran tak nongol. Hal berbeda terjadi pada media-media serupa milik komunitas bangsa lain seperti Cina, Rusia, Yunani, India, dan Vietnam. Pengelolaannya sudah sepenuhnya profesionalsebuah hal yang perlu kita contoh. Bagaimanapun, dengan kondisi senen-kemis seperti sekarang, menurut Kusaeni, yang penting upaya komunitas Indonesia jangan sampai mati. Soalnya, ya itu tadi, masyarakat kita membutuhkan silaturahmi.
Wendi Ruky, Dwi Arjanto (Jakarta), Supriyono (New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo