Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin banyak yang telah melupakan atau mengesampingkan atau bahkan belum tahu salah satu pesan Bung Karno pada pidato peringatan satu tahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1946. Beliau mengatakan, "Pemerintah bukannya partai, bukannya golongan, tetapi pengurus negara, harus bertindak sebagai kuasa negara. Orang yang kurang mengerti, berbahaya bagi negara." Sedangkan menurut Harold J. Laski dalam bukunya An Introduction to Politics, disebutkan bahwa pemerintahan negara itu mempunyai dua segi. Pertama, segi politik, yang terdiri atas ahli-ahli politik yang menganjurkan kebijakan pembangunan kabinet. Kedua, segi tata usaha, dalam arti pegawai/aparatur negara. Dalam negara demokratis, menurut Harold, aparatur negara haruslah netral, tidak menyebelah; partai atau golongan mana pun yang memerintah haruslah sama dilayani dengan sepenuh hati dan kegiatan. Bila aparatur negara ini telah mengambil kebiasaan-kebiasaan politik, lambat-laun para pegawai dan prajurit tersebut akan menjadi suatu pengawal "Praetoria" (markas besar panglima perang Romawi); dari sini ke otokrasi hanya tinggal satu langkah, dan tak terhindarkan.
Saya tak habis pikir, mengapa para pengurus negara, yang notabene (harus) paham akan teori dan filosofi bernegara demokrasi, masih juga melanggar "peringatan" di atas melalui kamuflase golongan fungsional dan hak asasi aparat (baca: korps aparat). Seharusnya, organisasi profesi seperti PGRI, Korpri, dan korps-korps ABRI, yang terkumpul karena kesamaan profesi (bukan kesamaan isi pikir), hanya intens pada pengelolaan produktivitas kerja dan koperasi kesejahteraan. Bukannya justru "memaksakan" homogenitas profesi dalam satu koherensi falsafah gagasan untuk publik, seperti layaknya homogenitas kesepahaman dalam komunitas partai politik!
Golongan atau partai politik tidak boleh (dan tidak manusiawi) bila dibangun dari dan atas keberpihakan suatu ikatan profesi. Meski hak politik semua warga negara diakui keberadaannya, tidaklah benar menuntut "hak asasi kolektif" apologia bila ditujukan untuk menyeragamkan kehendak politik semua anggota ikatan profesi tersebut, terlebih oleh korps aparatur negara yang wadahnya tetap memuat jaringan struktur hierarkis formal (yang akan cenderung distorsi instruktif). Harus tetap diingat bahwa kontrak sosial dalam negara demokratis memang memuat konsekuensi; mau menjadi aparatur negara yang berwenang menggunakan senjata api atau "senjata" administratif atau mau menjadi anggota pengurus golongan politik, yang berpeluang menentukan kebijakan pemerintah untuk publik; ataukah mau menjadi "rakyat" sipil semata, yang akan menentukan siapa pemerintah kali ini, apa dan bagaimana bentuk kebijakan yang dikehendaki, bahkan keberadaan sistem seleksi aparatur negaranya (baik secara langsung maupun tidak). Meskipun demikian, masih dapat dipertimbangkan akses instrumentasi individu aparat dengan toleransi kepolitikannya (secara individu, bukan korps); semakin kecil aksesnya, semakin dapat ditolerir.
Kerlibatan ABRI dalam kancah politik, sebenarnya, tidak dapat dilepaskan dari konsensus yang meloloskan kebiasaan berpolitik aparatur negara dalam arti yang luas (pegawai sipil, polisi, tentara). Namun, wacana dikotomi sipil-militer yang distorsif, bahkan semakin terdistorsi menjadi "pegawai sipil & aparat militer", membuat mata ini menjadi arogan dan tidak lengkap melihat dengan hanya menggugat dwifungsi ABRI semata, tanpa gugatan yang berarti pada kebiasaan berpolitik praktis dari birokrat (PNS), yang menelusup melalui pemberdayaan apologi hak asasi korpsnya sebagai "hak asasi manusia". Sebaliknya, bila wacana dikotomi itu harus ada, yang demokratis adalah dikotomi untuk merealisasikan hak asasi antara individu dari warga sipil semata dan "mantan" aparatur negara (pegawai sipil, polisi, ataupun militer) yang memilih pensiun demi gagasan politiknya untuk publik.
Dan golongan fungsional serta utusan daerah dalam MPR (yang selama ini juga padat birokrat) pun seharusnya berisi individu yang sama sekali bukan anggota suatu partai atau golongan politik apa pun atau organisasi underbouw politik yang mana pun, melainkan berisi individu dari golongan das Sollen, bukan das Sein (meminjam istilah Bung Karno), yaitu komponen yang ada dalam masyarakat menurut fungsi sosial ekonomi dan budaya; baik material maupun spiritual, baik perseorangan maupun atas organisasi masyarakat yang mandiri, baik formal maupun informal. Sedangkan utusan daerah berisi individu yang secara "khas" berasal dari daerah yang mengutusnya.
Sejak kemerdekaan, perjalanan bangsa ini memang banyak diwarnai trauma disintegrasi dan sindrom ketakpuasan. Namun, saya tetap berdoa, semoga bangsa ini dapat kembali menemukan jalan keluar yang adil, utuh, dan penuh pengertian. Untuk itu, menurut saya, sebagai bangsa dengan negara yang berideologi karakteristik Pancasila, pendewasaan kehidupannya tetap harus memberikan supremasi yang proporsional bagi falsafah "panutan-berpikir" kepada penggagasnya; tanpa terganjal kultus-fobi dan sentimem politik pada sosok-sosok founding father. Kita tidak dapat berdiri dengan pongah, merasa lebih tahu tentang Pancasila, sembari melupakan dan mengesampingkan Bung Karno. Demikianlah layaknya Mahatma Gandhi bagi bangsa India, Dr. Sun Yat Sen bagi rakyat Cina, Thomas Jefferson bagi orang Amerika Serikat, dan lain-lain.
Dr. Puguh Yuswandono
Kp. Baru RT 18/02, Sirnasari
Kecamatan Wado, Sumedang
Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo