Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Sebutan Hiperbolis pada Tokoh

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu kesalahan kita semasa Orde Baru dan juga Orde Lama adalah kecenderungan memberikan cap "non-human" kepada para pemimpin. Soekarno dikampanyekan sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang masih keturunan raja. Di masa Orba, kita dijejali dengan propaganda bahwa Soeharto adalah "Bapak", bahkan ada yang menyamakannya dengan Semar, manusia setengah dewa. Sebutan-sebutan di luar sifat human being sangat tidak demokratis. Apa yang mereka katakan dan mereka lakukan harus dianggap selalu benar. Aspek akuntabilitas dan egaliter sebagai tolok ukur demokrasi karenanya sulit dilakukan.

Sekarang pun ada kecenderungan menganggap tokoh politik nonformal di pentas nasional sebagai "bukan manusia biasa" dengan sebutan hiperbolis. Misalnya sebutan tokoh karismatis, tokoh populis, wali, begawan, tokoh pluralis, tokoh dengan jutaan umat, atau tokoh dambaan wong cilik. Sebutan hiperbolis semacam itu, menurut saya, perlu diverifikasi secara serius. Tanpa verifikasi, sebutan semacam ini sulit dipertanggungjawabkan. Beda benar dengan sebutan untuk petinju yang memang sudah teruji semacam Mike "Leher Beton" Tyson dan Evander "Warrior" Holyfield.

Saya khawatir, jika kelak para tokoh tadi benar-benar menduduki jabatan formal, rakyat tidak berani mengkritik dan mengoreksi tindakan dan ucapannya. Selain itu, sebutan hiperbolis justru membelenggu para tokoh itu sendiri. Misalnya, karena sering disebut sebagai tokoh karismatis, sang tokoh justru tidak pernah berbuat apa-apa dan hanya senyum sana senyum sini, takut apa yang dia lakukan mengurangi kekarismatisannya itu.

Media massa, menurut saya, ikut menyumbang menyebarkan sebutan-sebutan hiperbolis kepada para tokoh itu. Akhirnya, otak rakyat dibikin untuk takut, pakewuh, sungkan, segan, dan lain-lain. Kelihatannya hanya sederhana, tapi di masyarakat paternalistik, ketokohan seseorang masih berpengaruh. Rakyat lebih sering melihat "siapa yang melakukan" daripada "apa yang dilakukan."

Lebih baik kita sebut saja predikat yang melekat pada diri tokoh tanpa embel-embel. Sejarah mengingatkan, tokoh besar yang masih harum namanya hingga sekarang adalah tokoh yang tanpa sebutan berlebihan. Sebutlah misalnya M. Hatta, Sjahrir, ataupun M. Natsir.

Baskoro Muncar
Perumahan Gumuk Indah A-1
Sidoarum, Godean
Sleman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus