DERMAGA Sunda Kelapa, yang berseberangan dengan Pasar Ikan,
memang selamanya penuh oleh dereran perahu-perahu layar tanpa
atau dengan moror. Mereka adalah armada penghubung antar pulau
Nusantara ini -- seperri yang telah berjalan puluhan bahkan
ratusan tahun sebelumnya. "Tapi kami harus antri untuk masuk
dermaga ini," kata Abdullah, asal Bugis yang kini menguasai"
rute Palembang-Jakarta. Karena panjang dermaga cuma 100 meter
saja, perahu yang boleh meralat paling banter cuma 100 buah
saja.
Menurut catatan tahun lalu, tidak kurang 2.893 perahu yang
membongkar muatan 734.000 m3 di Sunda Kelapa. "Jarang kami
pulang dengan kapal kosong," sahut Abdullah lagi. Kalau bongkar
muat lancar, penghasilan Abdullah dengan 20 awak kapal lainnya
tentu ridak seret pula. Telah ada perjanjian bagi hasil rata
antara pemilik perahu dan awak kapal dari hasil bersih
penghasilan ongkos angkut barang. Abdullah mengaku hasil
untuknya sendiri sekitar Rp 50.000 setiap rit.
Perahu layar/motor di Tanjung Perak didermagakan di tempat
khusus pelabuhan Kalimas. Panjang dermaganya juga lebih panjang,
2.600 m, merupakan pelabuhan terbaik untuk Indonesia.
"Tetapi kami masih sering dijadikan mainan oleh pemilik barang,"
ujar Haji Djunaidi Karim, dari Surabaya yang sejak tahun 40-an
berkecimpung dalam hal pelayaran lokal ini. Lebih sial lagi
kalau jumlah perahu lebih banyak keimbang jumlah barang yang
akan di kirim. Terjadilah rebutan yang hanya menguntungkan
pemilik barang. "Dari pada kagak makan," kata Haji Karim lagi?
"biarlah ongkos kirim dibanting." Contoh ongkos kirim kayu
Banjarmasin-Surabaya bulan September mencapai Rp 8.000/m3,
melorot sampai Rp 3.000/m3 di bulan berikutnya.
Perahu layar atau motor ini mengangkut segala macam barang
keperluan masyarakat. Mulai dari kayu, terigu, gula pasir sampai
minuman keras. Pengusaha lebih senang mengirim barangnya lewat
perahu tradisional ini. Ongkos angkut lebih murah. Misalnya,
ongkos angkut gula pasir dari Surabaya ke Banjarmasin cuma Rp
2.000/ton. Jumlah ini sama mahalnya dengan ongkos angkut pakai
truk dari satu tempat ke tempat lain, hanya di Jawa Timur saja.
Selain ongkos angkut lebih murah, prosedurnya juga lebih
gampang. Keamanan barang terjamin. "Karena awak kapal orang
jujur dan lugu," kata Haji Karim lagi.
Kertas kerja Sunarko/Moenandar dalam WFEO (World Federation of
Engineering Organizations) mencatat bahwa angkutan laut dengan
perahu layar/motor ini menyerap 600 tenaga kerja. Mereka adalah
orang laut dan orang yang cinta laut dan sanggup meninggalkan
keluarganya sampai bertahun-tahun untuk bergelut dengan mbak.
Mereka itu orang Bugis dan Makasar. Tidak seperti pelaut-pelaut
di seantero dunia, pelaut Bugis dan Makasar ini bukan pelaut
yang pemabuk.
Pada dasarnya, pinisi atau baggo atau lambo (dua yang terakhir
untuk angkutan barang) berlayar di segala penjuru Indonesia.
Armada pelayaran tradisi ini hampir kelenger ketika KPM, sejak
1891, beroperasi di Indonesia. Tetapi setelah KPM pergi dan PT
Pelni napasnya ngos-ngosan, pimsi atau baggo atau lambo tetap
tangguh.
90% pemilik perahu berekonomi lemah. Karena itu, modernisasi
lewat motorisasi tidak sepenuhnya berhasil. Tahun 1974, ketika
Presiden Soeharto berkunjung ke Sulawesi Selatan, mereka
menerima bantuan 100 buah mesin untuk proyek "motorisasi perahu
layar" Prioritas kredit juga dilunakkan bagi pemilik perahu.
Pelabuhan khusus untuk jenis perahu ini -- di Paotere --
diresmikan.
Orang Ara
Mesin yang berkekuatan 75 PK dapal meluncurkan perahu 8 mil per
jam. " Tapi dengan mesin, perahu hanya bisa tahan sekitar 10
tahun saja," ujar M. Saleh Lido, Direktur Pelayaran Rakyat yang
mengelola 30 buah perahu layar bermotor yang rata-rata berbobot
mati 100 ton. Menurut Lido, tanpa mesin, perahu bisa bertahan
sampai 30-40 tahun. Karena itu, jumlah perahu yang ber-Toddopuli
(artinya bermesin) kian menyusur jumlahnya.
Arsitek dan tukang perahu pinisi dari Sulawesi Selatan tidak
selamanya pelaut. Biasanya mereka berasal dari ujung paling
selatan Sulawesi Selatan. Di Kecamatan Bonto-Bahari (bonto
berarti gunung dan bahari adalah laut), ada dua desa yang
bernama Ara dan Bira. Orang Ara-lah -- dari desa yang
berpenduduk 4.297 orang -- kemudian diboyong ke Desa sira atau
bahkan sampai ke galangan kapal di Pulau Jawa, arau Kalimantan.
"Agaknya, kami ini ditakdirkan hanya sebagai tukang terus,"
ujar si Kepala Desa, Muhaemin A. Karim. Karena mereka memang
tidak memiliki modal untuk membuat dan kemudian menjadi penjual
perahu. Payahnya lagi, biasanya, orang Ara dicari oleh para calo
untuk kemudian diboyong ke cukong yang memiliki modal. "Calo ini
yang menjerat leher orang Ara," kata Karim lagi. Artinya, kalau
upah pembuatan perahu Rp 300.000, calo hanya menyerahkan ke
tukang Rp 200.000 saja.
Orang Ara yang dikontrak di mana saja biasanya tak ada yang jadi
kaya kalau mengandalkan penghidupan bertukang. Kecuali kalau dia
mau merangkap juga sebagai pedagang. Misalnya seperti Haji Emba,
ayah dari 5 orang anak dan kakek dari 3 orang cucu, sejak umur
15 tahun sudah magang membuat perahu bersama ayahnya. Kini dia
adalah tukang, pelaut, berdagang dan sekaligus mempunyai usaha
angkutan. Menurut Haji Emba, kalau dia mempunyai tenaga 10
orang, bahan sudah komplit, perahu pinisi yang berukuran 200 ton
bisa rampung dalam waktu bulan.
Dan tidak sembarang kayu bisa dijadikan perahu Orang Ara
biasanya memilih kayu bitti (jenis ini semakin langka), kayu
pude yang tubuhnya bergetah dan buahnya mirip kemiri atau kayu
jati. Sering, mereka harus mencari kayu sampai ke Raha (Sulawesi
Tenggara) atau Jampea (Pulau Selayar), dan ini menyebabkan
pembuatan perahu tidak bisa dilakukan di Ara.
Haji Emba sendiri sering keluar masuk hutan untuk mencari kayu
yang cocok. "Pohon baru ditebang kalau sudah tahu mana yang
cocok untuk bagian tertentu dari perahu," kata Haji limba.
Pinisi yang asli bertubuh langsing dengan dua tiang layar
berdiri kokoh dan 7 buah layar siap berkibar.
Mantra-mantra tidak lupa menghujam pembuatan perahu mulai dari
menebang pohon. Ada lagi kepercayaan "Kalau terjadi perselisihan
pendapat antara pembuat perahu dan pemesan," kata Haji Emba,
"bakal ketiban sial perahu itu." Misalnya, ketika diluncurkan ke
laut, macet. Lebih parah lagi perahu itu bisa karam di lautan.
Biasanya kalau perdamaian kemudian tercapai, untuk menghapus
perselisihan, orang Ara memberi mantra tambahan untuk menambah
bobot "keselamatan". Kata Haji Emba "Tetapi biasanya, begitu
kami terima uang, kapal diserahkan, kami pun tidak tahu lagi
bagaimana nasib kapal itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini