Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Pinisi Bukan Untuk Pemabuk

Orang bugis dan makasar adalah orang laut & cinta laut. dengan perahu penisinya, tetap tangguh bersaing dengan kpm maupun pelni. pembuat perahu berasal dari ara dan bira terpercaya dengan manteranya. (ils)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERMAGA Sunda Kelapa, yang berseberangan dengan Pasar Ikan, memang selamanya penuh oleh dereran perahu-perahu layar tanpa atau dengan moror. Mereka adalah armada penghubung antar pulau Nusantara ini -- seperri yang telah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya. "Tapi kami harus antri untuk masuk dermaga ini," kata Abdullah, asal Bugis yang kini menguasai" rute Palembang-Jakarta. Karena panjang dermaga cuma 100 meter saja, perahu yang boleh meralat paling banter cuma 100 buah saja. Menurut catatan tahun lalu, tidak kurang 2.893 perahu yang membongkar muatan 734.000 m3 di Sunda Kelapa. "Jarang kami pulang dengan kapal kosong," sahut Abdullah lagi. Kalau bongkar muat lancar, penghasilan Abdullah dengan 20 awak kapal lainnya tentu ridak seret pula. Telah ada perjanjian bagi hasil rata antara pemilik perahu dan awak kapal dari hasil bersih penghasilan ongkos angkut barang. Abdullah mengaku hasil untuknya sendiri sekitar Rp 50.000 setiap rit. Perahu layar/motor di Tanjung Perak didermagakan di tempat khusus pelabuhan Kalimas. Panjang dermaganya juga lebih panjang, 2.600 m, merupakan pelabuhan terbaik untuk Indonesia. "Tetapi kami masih sering dijadikan mainan oleh pemilik barang," ujar Haji Djunaidi Karim, dari Surabaya yang sejak tahun 40-an berkecimpung dalam hal pelayaran lokal ini. Lebih sial lagi kalau jumlah perahu lebih banyak keimbang jumlah barang yang akan di kirim. Terjadilah rebutan yang hanya menguntungkan pemilik barang. "Dari pada kagak makan," kata Haji Karim lagi? "biarlah ongkos kirim dibanting." Contoh ongkos kirim kayu Banjarmasin-Surabaya bulan September mencapai Rp 8.000/m3, melorot sampai Rp 3.000/m3 di bulan berikutnya. Perahu layar atau motor ini mengangkut segala macam barang keperluan masyarakat. Mulai dari kayu, terigu, gula pasir sampai minuman keras. Pengusaha lebih senang mengirim barangnya lewat perahu tradisional ini. Ongkos angkut lebih murah. Misalnya, ongkos angkut gula pasir dari Surabaya ke Banjarmasin cuma Rp 2.000/ton. Jumlah ini sama mahalnya dengan ongkos angkut pakai truk dari satu tempat ke tempat lain, hanya di Jawa Timur saja. Selain ongkos angkut lebih murah, prosedurnya juga lebih gampang. Keamanan barang terjamin. "Karena awak kapal orang jujur dan lugu," kata Haji Karim lagi. Kertas kerja Sunarko/Moenandar dalam WFEO (World Federation of Engineering Organizations) mencatat bahwa angkutan laut dengan perahu layar/motor ini menyerap 600 tenaga kerja. Mereka adalah orang laut dan orang yang cinta laut dan sanggup meninggalkan keluarganya sampai bertahun-tahun untuk bergelut dengan mbak. Mereka itu orang Bugis dan Makasar. Tidak seperti pelaut-pelaut di seantero dunia, pelaut Bugis dan Makasar ini bukan pelaut yang pemabuk. Pada dasarnya, pinisi atau baggo atau lambo (dua yang terakhir untuk angkutan barang) berlayar di segala penjuru Indonesia. Armada pelayaran tradisi ini hampir kelenger ketika KPM, sejak 1891, beroperasi di Indonesia. Tetapi setelah KPM pergi dan PT Pelni napasnya ngos-ngosan, pimsi atau baggo atau lambo tetap tangguh. 90% pemilik perahu berekonomi lemah. Karena itu, modernisasi lewat motorisasi tidak sepenuhnya berhasil. Tahun 1974, ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Sulawesi Selatan, mereka menerima bantuan 100 buah mesin untuk proyek "motorisasi perahu layar" Prioritas kredit juga dilunakkan bagi pemilik perahu. Pelabuhan khusus untuk jenis perahu ini -- di Paotere -- diresmikan. Orang Ara Mesin yang berkekuatan 75 PK dapal meluncurkan perahu 8 mil per jam. " Tapi dengan mesin, perahu hanya bisa tahan sekitar 10 tahun saja," ujar M. Saleh Lido, Direktur Pelayaran Rakyat yang mengelola 30 buah perahu layar bermotor yang rata-rata berbobot mati 100 ton. Menurut Lido, tanpa mesin, perahu bisa bertahan sampai 30-40 tahun. Karena itu, jumlah perahu yang ber-Toddopuli (artinya bermesin) kian menyusur jumlahnya. Arsitek dan tukang perahu pinisi dari Sulawesi Selatan tidak selamanya pelaut. Biasanya mereka berasal dari ujung paling selatan Sulawesi Selatan. Di Kecamatan Bonto-Bahari (bonto berarti gunung dan bahari adalah laut), ada dua desa yang bernama Ara dan Bira. Orang Ara-lah -- dari desa yang berpenduduk 4.297 orang -- kemudian diboyong ke Desa sira atau bahkan sampai ke galangan kapal di Pulau Jawa, arau Kalimantan. "Agaknya, kami ini ditakdirkan hanya sebagai tukang terus," ujar si Kepala Desa, Muhaemin A. Karim. Karena mereka memang tidak memiliki modal untuk membuat dan kemudian menjadi penjual perahu. Payahnya lagi, biasanya, orang Ara dicari oleh para calo untuk kemudian diboyong ke cukong yang memiliki modal. "Calo ini yang menjerat leher orang Ara," kata Karim lagi. Artinya, kalau upah pembuatan perahu Rp 300.000, calo hanya menyerahkan ke tukang Rp 200.000 saja. Orang Ara yang dikontrak di mana saja biasanya tak ada yang jadi kaya kalau mengandalkan penghidupan bertukang. Kecuali kalau dia mau merangkap juga sebagai pedagang. Misalnya seperti Haji Emba, ayah dari 5 orang anak dan kakek dari 3 orang cucu, sejak umur 15 tahun sudah magang membuat perahu bersama ayahnya. Kini dia adalah tukang, pelaut, berdagang dan sekaligus mempunyai usaha angkutan. Menurut Haji Emba, kalau dia mempunyai tenaga 10 orang, bahan sudah komplit, perahu pinisi yang berukuran 200 ton bisa rampung dalam waktu bulan. Dan tidak sembarang kayu bisa dijadikan perahu Orang Ara biasanya memilih kayu bitti (jenis ini semakin langka), kayu pude yang tubuhnya bergetah dan buahnya mirip kemiri atau kayu jati. Sering, mereka harus mencari kayu sampai ke Raha (Sulawesi Tenggara) atau Jampea (Pulau Selayar), dan ini menyebabkan pembuatan perahu tidak bisa dilakukan di Ara. Haji Emba sendiri sering keluar masuk hutan untuk mencari kayu yang cocok. "Pohon baru ditebang kalau sudah tahu mana yang cocok untuk bagian tertentu dari perahu," kata Haji limba. Pinisi yang asli bertubuh langsing dengan dua tiang layar berdiri kokoh dan 7 buah layar siap berkibar. Mantra-mantra tidak lupa menghujam pembuatan perahu mulai dari menebang pohon. Ada lagi kepercayaan "Kalau terjadi perselisihan pendapat antara pembuat perahu dan pemesan," kata Haji Emba, "bakal ketiban sial perahu itu." Misalnya, ketika diluncurkan ke laut, macet. Lebih parah lagi perahu itu bisa karam di lautan. Biasanya kalau perdamaian kemudian tercapai, untuk menghapus perselisihan, orang Ara memberi mantra tambahan untuk menambah bobot "keselamatan". Kata Haji Emba "Tetapi biasanya, begitu kami terima uang, kapal diserahkan, kami pun tidak tahu lagi bagaimana nasib kapal itu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus