MEMANG tak mudah menampilkan sebuah 'tari rakyat' selama 5
sampai 10 menit, tanpa kehilangan 'nilai dan ciri khas'
kerakyatannya. Apalagi kalau nilai dan ciri khas itu belum
benar-benar dipahami. Sementara itu predikat 'penyaji terbaik'
mendorong banyak peserta menata tarinya ke arah sofistifikasi,
kerapian, menghilangkan spontanitas dan kesederhanaan yang
menjadi ciri khas tari rakyat.
Pekan Tari Rakyat Tingkat Nasional III (Istora Senayan, 24 s/d
26 November 1979), sekalipun begitu menunjukkan beberapa
kemajuan. Pertama, jumlah peserta makin meningkat. Sehingga
sampai sekarang telah dipertunjukkan 73 (20+26+27) buah tari
rakyat dari berbagai provinsi (walau jumlah penonton diakui
semakin berkurang!). Kedua pengertian 'tari rakyat' sendiri
sudah semakin lurus. Tak lagi ada penataan yang mengarah ke tari
'klasik'. Dan akhirnya, di beberapa provinsi usaha membangkitkan
kreatifitas masyarakat dalam tari cukup mendapat sambutan.
Sayang yang terakhir ini tak selalu dalam arah positif.
Meski begitu sampai dengan pekan ketiga ini masih saja tercampur
penampilan tari rakyat (yang ditata secukupnya untuk kebutuhan
pekan) dengan garapan tari -- yang menggunakan tari rakyat
hanya sebagai bahan. Penampilan jenis kedua inilah yang
kadang-kadang meleset gagal tampil sebagai tari rakyat, karena
digarap sedemikian rupa sehingga kehilangan semangat dan jiwa
kerakyatannya.
Munculnya minat menggarap tentu harus dianggap gejala yang
posifif. Namun di samping dibutuhkan arahan yang lebih jelas,
agaknya juga diperlukan wadah pembinaan yang terpisah.
Berbeda dengan sebuah tari garapan, tari rakyat bukanlah hasil
pemikiran intelektuil melainkan lebih merupakan cerminan
pengalaman emosional bersama dari suatu masyarakat pedesaan.
Tarian rakyat tampil dengan utuh jika dilakukan di tempat
asalnya oleh masyarakat pendukungnya -- dan dalam sebuah
rangkaian upacara yang bersangkut paut dengan keperluan mereka.
Dalam bentuknya yang asli, sebuah tarian rakyat sering bukan
tari pertunjukan-- bahkan ada kalanya dilakukan lebih sebagai
kesenangan sehingga lebih dekat ke dunia 'permainan'. Beberapa
ciri khas yang dimilikinya adalah sederhana, spontan, merupakan
ekspresi komunal masyarakat pemiliknya.
Untuk keperluan sebuah pekan, dengan batasan waktu dan tempat
yang berbeda, tentu saja harus ada penyesuaian. Dengan kata lain
perlu penataan secukupnya. Toh kita tidak mengharapkan hasil
garapan yang kemudian lahir ternyata puNs dari akarnya. Untuk
menjaga hal ini, peranan orang-orang tua pemilik tarian dalam
proses persiapannya masih tetap harus dipikirkan. Kita memang
harus mempertahankan akar ibarat tanaman, sekuntum bunga yang
dimaksud tak mungkin dihasilkan oleh akar pohon yang berbeda.
Yang Berusia Muda
Dalam pekan ini, usia penari yang tampil sangat bervariasi. Ada
provinsi yang menampilkan para penari tua pemilik tarian -- yang
walaupun dari segi fisik kurang menguntungkan tetapi mampu
mempertunjukkan jiwa dan semangat kerakyatan yang sesungguhna.
Sementara ada pula yang menampilkan para penari remaja (bahkan
anak-anak) yang dengan fisik lebih segar acap kehilangan
semangat asli.
Kegairahan generasi muda tentu menggembirakan. Yang mesti dikaji
apakah mereka benar-benar gandrung, atau hanya terpikat sesaat
oleh biaya dan janji hendak dibawa ke Jakarta. Juga, seberapa
jauh sebenarnya mereka mewakili generasi muda yang ada?
Betapapun, pewarisan kemampuan tidak seharusnya hanya pewarisan
bentuk luar -- melainkan juga jiwa dan semangat. Kecenderungan
bentuk luar ini dapat dilihat pada penampilan para peserta yang
muncul dengan selera "pop".
Pewarisan itu sebenarnya dapat saja dilakukan lewat jalur
sekolah umum. sukankah tari telah masuk kurikulum SD, SMP, SMA?
Tari rakyat adalah materi yang sesuai -- sebelum sampai ke
bentuk-bentuk tari yang lebih berbobot.
Memang, untuk dapat menjadi "sarana pendidikan", tari rakyat
mesti diolah dan disesuaikan lebih dahulu -- dan ini membutuhkan
tangan para ahli. Lagi pula benNk yang begini biasanya tak lagi
disebut tari rakyat, melainkan "tari pendidikan". Tak apalah.
Sebab kesinambungan generasi dengan demikian tampak mendapat
penunjang -- dengan catatan perawatan asal-muasal tarian yang
bersangkutan tak dilupakan. Pemutusan hubungan dengan akar, yang
menyebabkan bunga dan daun kering dan layu, sering terjadi
justru di daerah.
Ada baiknya juga membatasi materi pekan mendatang dengan tari
rakyat yang lebih "otentik". Yang tetap memiliki jiwa dan
semangat sederhana, spontan, dan merupakan ungkapan emosional
bersama masyarakat pendukungnya.
Tapi pertanyaan yang menggoda mengapa jumlah penonton makin
menurun?
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini