KINI sudah ada bintang baru lagi di hati gadis-gadis Bandung.
Bak cerawat nama bintang tersebut melambung di ruang durjana
surat kabar. Dan berbondong-bondonglah para gadis itu pergi ke
penjara untuk mengintip si perampok 50 juta itu. Soalnya dia itu
berwajah ganteng. Ya ya, muka-muka jelek boleh saja mencoba
merajai pemandangan, tapi buktinya kegantengan masih tetap laku.
Boleh saja semua penjahat itu diperankan oleh muka-muka jelek,
tapi dunia tetap saja ditipu oleh orang-orang ganteng dan gagah,
lengkap dengan baju safarinya, kitab sucinya, tanda
kepangkatannya, dan mobil mersinya.
Maka itu akan segala laporan, hematan dan ramalan perihal
kedurjanaan di Indonesia ini para putri Bandung tak berapa cam.
Apaan semua itu, katanya. Mentang-mentang orang itu nakal. apa
dia lantas mesti dianggap tidak punya tampan sama sekali? Mana
statistik kegantengan para bergajul?
Akibat penggelapan tampan itu maka keruan saja orang menjadi
bingung di kala menghadapi perampok ganteng, apalagi perampok
ayu. Seorang sarjana sampai bingung dan bertanya begini kepada
neng Gantana Gintini: "Bagaimana nih, pemuda begitu ganteng kok
menyikat 50 juta? Apa pendapatmu?"
Kenapa ini sampai dibagaimanakan, itu yang tidak dimengerti
Gantana Gintini. Maka itu dia merawak saja: "Ah, belum sepuluh
milyard. Satu milyard saja belum."
"Lho?? .... Tapi memang sudah tidak mudah sekarang ini untuk
membangunkan Gintini dengan kejutan marah. Sebab apalah sekarang
ini arti membegal 50 juta itu. Untuk bisa melakukannya orang tak
perlu lagi menjadi pejabat tinggi dulu. Lagi pula sasaran
Gintini kini ialah milyarder, dan sasaran milyarder tentu saja
Gintini. Klop.
Baiklah. Sang sarjana bingung tadi mencoba membetulkan benak
Gintini. "Gantengnya itu lho Tin. Kan aneh kalau orang ganteng
itu merampok?"
-- Ah, biasa saja ah. Pacar saya buat bulan ini juga ganteng dan
gagah seperti oom, dan ternyata kerjanya cuma merampok kantornya
sendiri. Oom saja yang aneh.
-- Tini sayang. Saya ini bertanya baik-baik kok dibilang . . .
-- Tak usya ya pakai sayang-sayang. Oom punya berapa juta sih?
Coba Oom. Mentang-mentang dia itu anak kelas kambing yang
matanya rambang dan kesandung di SMA lalu menggaet duit
sekantong maka dia dikatakan perampok dan penjahat. Lantas
karena mukanya cakep, perbuatannya disebut aneh. Gimana sih . .
. !
-- Siapa-siapa yang merampas uang orang lain itu penjahat dan
perampok!
-- Alaa, oom ini seperti tidak tahu saja. Coba, bekas pacar saya
cuma disebut .... bagaimana ya .... o ya ... pengalih dana demi
pemanfaatan usaha di luar garis kebijaksanaan .... aduh, bingung
deh oom kalau baca bahasa di koran-koran itu. Buat saya dia sih
cuma perampok saja. Sayang dia sudah pergi jauh, tapi untung
gantinya banyak.
-- Pergi jauh? Di mana dia ditahan?
-- Alaa oom ini kenapa terus pura-pura saja sih. Tentu saja dia
itu pergi ke luar negeri, soalnya dia itu perlu mencari resep
obat pilek dari dokter internasional.
-- Maklumlah Tin, dokter-dokter kita masih belum mengerti
penyakit pilek . . .
-- Allaa sudah ah! Oom ini ngaku sarjana tapi ngomongnya kok
begitu sih! . . . Daag! . . . Sampai ketemu di New York ya?
-- Ee ee, tuunggu duulu! . . . Mau ke mana neng?
Dan dengan goyangan gasang-gemulai lesaplah Gantana Gintini di
liku jalan. Oom doktorandus Kokoprak Lontreng memang terigau
sejurus, tapi ah, masa bodohlah. Lontreng selalu percaya bahwa
siapa-siapa yang tidak ikut mumpung akan tetap buntung, dan
untungnya bagi pemumpung seperti dia sudah terjamin hak
bebas-buntung. Dengan "bel kucing" saja, kata Lontreng,
"segalanya bisa diatur". Memang tiga kata mukjizat itu
menghiasai kamar kerjanya sebagai lukisan 'puisi kongkrit',
indah berkambi bumban bunga wijayamala.
Dan dengan kehendak mengatur si Ganteng maka meluncurlah
roda-empat drs. Kokoprak yang Lontreng ini menuju penjara.
-- Selamat siang Ganteng! Wah . . . kamu ini sebetulnya harus
jadi bintang film lho! Sayang ya bahwa kamu harus ngendon di
sini.
-- Soalnya belum ada koneksi Oom. Maklumlah saya ini bukan anak
orang berbangsa.
-- Aahhh, jangan khawatir. Semua gampang diatur. Pokoknya begini
saja .... Mana uang yang 50 juta itu?
-- Sudah habis dong oom . . . ! Habis, orang itu merampok buat
apa?!
-- Buat apa? ! . . . Buat apa? ! . . . Sialan ! Jadi kamu juga?
! Uang segitu banyak habis dalam dua minggu? Kamu ini sinting
atau apa?!
-- Alaa, kenapa sih oom ini pura-pura kaget . . . Itu kan biasa,
oom.
-- Samber gledek! .... Ini dari tadi kok saya terus disebut
pura-pura itu bagaimana sih? .... Mana buktinya saya pura-pura?
Kamu kok tahu saya ini pura-pura? Mana buktinya jangan
mengada-ada ya!
-- Alaa oom ini jangan pura-pura tidak pura-puralah . . . Pakai
minta bukti segala . . . Uang saya habis di tempat-tempat
langganan oom sendiri, dan saya sendiri melihat oom main di
sana. Oom lepaskanlah dulu saya dari sel ini, nanti gampang saya
buktikan, dan saksinya banyak. Ada yang namanya Gintini, ada . .
-- Weh! .... Kalau begitu kamu lebih baik terus nongkrong di
sini saja seumur hidup. Sudah ya! . . . Sampai ketemu di
akhirat.
-- Eee tuunggu duulu dong oom . . . Mau ke mana? Kalau lima juta
sih masih ada oom! Mau apa enggak?
Sang Kokoprak lari terbirit-birit ke luar dan cepat melucup ke
dalam mersinya. Sialan! ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini