Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahli pendidikan Islam, Prof Dr H. Husni Rahim, dikukuhkan sebagai guru besar bidang pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.
Almamaternya memberi penghargaan karena dedikasi Husni di dunia pendidikan. Di tengah kesibukannya di dunia birokrasi, pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan, 23 Maret 1946, ini tetap aktif menuangkan gagasannya dalam bentuk buku maupun karya tulis tentang banyak hal, khususnya masa depan pendidikan berasaskan nilai-nilai Islam.
Dalam acara pengukuhan itu, Husni mengkritik masa depan madrasah dalam politik pendidikan di Indonesia. Suami dari Rosdianah ini mengawalinya dengan mengupas sejarah pendirian madrasah yang diwarnai perdebatan apakah madrasah berada tetap di bawah Departemen Agama ataukah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu. Juga, perjuangan tokoh-tokoh pendidik Islam agar madrasah mendapat perlakuan yang sama dalam sistem pendidikan.
Perjuangan itu, kata Husni, akhirnya tercapai lewat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. ”Mengakui madrasah jadi sekolah umum bercirikan Islam dan kurikulumnya sama dengan sekolah plus pelajaran agama Islam,” ujarnya.
Hanya saja persoalan pengelolaan madrasah, menurut Husni, masih jadi masalah. Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi ini pun memaparkan sejumlah plus minus bila madrasah dikelola Departemen Agama, dan sebaliknya jika dikelola pemerintah daerah. Namun, Husni yang masih menjabat staf ahli Menteri Agama itu tidak merekomendasikan pilihannya.
Ayah tiga anak ini menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat Nahdlatul Ulama, Pagaralam, 1958, lalu melanjutkan studi di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri di Curup pada 1962, Pendidikan Hakim Islam Negeri, Yogyakarta, 1964, Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1972, dan menyelesaikan studi doktoral di IAIN (sekarang UIN) Jakarta, 1994. Dia sudah menulis 18 buku dan puluhan artikel di jurnal-jurnal ilmiah.
”Seharusnya rapat kabinet tidak terbuka untuk umum. Biaya video conference juga besar.” —Anggota Komisi Pertahanan DPR, Ali Muchtar, mengatakan itu di Jakarta, Rabu pekan lalu. Sejumlah anggota DPR akan mengajukan interpelasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena menggelar rapat kabinet dengan sistem telekonferensi dari New York, Amerika Serikat.
”Biarkan dana itu untuk membangun segala hal yang ada di lokalisasi.” —Ketua Majelis Mujahidin Indonesia Kota Surabaya, Zulkarnain Yusuf, mengatakan itu sebagai dukungan atas pembukaan lokasikasi judi di daerah itu. Syaratnya, pendapatan dari judi tidak digunakan untuk membangun kepentingan masyarakat.
TEMPO DOELOE
20 September 1984 Bom meledak di Kedutaan Besar Amerika di Beirut, Libanon. Pelaku bom, yang berasal dari kelompok Jihad, menabrakkan truk bermuatan penuh bahan peledak ke pagar kedutaan. Sekitar 20 orang tewas.
21 September 1972 Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, mengumumkan Proklamasi Nomor 1081, yang menyatakan negara dalam keadaan darurat. Proklamasi tersebut dikeluarkan setelah kelompok komunis meledakkan serangkaian bom di Manila.
22 September 1970 Tunku Abdul Rahman dipaksa mundur dari jabatan Perdana Menteri Malaysia, menyusul terjadinya kerusuhan rasial antara Cina dan Melayu di Kuala Lumpur pada Mei tahun itu. Bapak kemerdekaan Malaysia ini digantikan oleh Tun Abdul Razak.
23 September 1932 Kerajaan Arab Saudi resmi didirikan oleh Raja Abdul Aziz Ibnu Saud di wilayah gabungan bekas Kesultanan Hejas dan Nejed. Abdul Aziz sebelumnya adalah raja di Hijaz. Tak lama kemudian, ia menduduki wilayah Nejed serta mengangkat dirinya sebagai sultan.
24 September 1980 Irak mengebom terminal ekspor minyak Iran di Pulau Kharq setelah Presiden Irak Saddam Hussein mengumumkan pernyataan perang terhadap Iran. Kedua negara telah bertahun-tahun bersengketa memperebutkan wilayah Shatt al-Arab, sebuah wilayah di bibir Teluk Persia.
25 September 1962 Republik Demokratik Rakyat Aljazair merdeka dari Prancis. Ferhat Abbas, yang sebelumnya menjadi Presiden Pemerintahan Nasionalis Aljazair, diangkat menjadi Presiden Pemerintahan Provisional Aljazair. Setahun kemudian, ia dipaksa mundur karena berusaha menetapkan sistem pemerintahan satu partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo