Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pojok yang lain Balai Erasmus, ada goretan Dwi Santoso, Dwinita Larasati, Muhammad Cahya Daulay, dan Beng Rahadian. Mereka adalah komikus asli Indonesia yang bersama-sama berpameran dengan Peter van Dongen.
”Menurut saya, saat ini adalah momen yang tepat untuk kebangkitan komik Indonesia. Melihat perkembangan film dan sastra yang kini bangkit setelah mati, komik Indonesia seharusnya juga bisa. Apalagi komik adalah hiburan yang gampang, murah, dan bisa dibawa ke mana-mana,” kata Dwi Santoso atau Anto Motulz, 33 tahun, yang berencana menerbitkan dua komik akhir tahun ini.
Lalu, ke manakah kiblat komik Indonesia? Ke komik Jepang atau komik Eropa. ”Saya sangat terpengaruh komik Eropa, khususnya karya Herge. Tapi adaptasi saya hanya sebatas visual. Isinya masih berpijak pada kondisi masyarakat Indonesia,” kata Motulz. Karya Motulz berjudul Kapten Bandung, yang ditampilkan dalam pameran ini, pernah diterbitkan pada 1995.
Pada tahun-tahun tersebut pula, Indonesia pernah mengenal komik Caroq karya Thariq, yang kini juga sudah tak terlihat di peredaran.
Para komikus Indonesia sebetulnya punya ide komik yang menarik. Problemnya adalah infrastruktur pemasaran dan distribusi, serta ongkos untuk menerjemahkan yang jauh lebih murah (dari sisi produksi) dibanding membuat komik asli. Para komikus Indonesia harus berjuang menembus pasar itu untuk bisa melawan dominasi komik manga.
Lihatlah ide Beng Rahadian. Ia memamerkan karya berjudul Jalan Sempit tentang kehidupan kaum gay kelas bawah yang punya nuansa gelap. Tampaknya ini mewakili pendapat Beng tentang komik Indonesia. ”Ya, adaptasi mesti ada batasnya juga. Menurut saya, komik itu sifatnya pribadi sekali,” kata pria usia 30 tahun itu, yang menyatakan membuat komik sama asyiknya dengan mengamati kehidupan sosial Indonesia.
Motulz merasa agak sulit mendefinisikan komik Indonesia semestinya seperti apa. ”Sama seperti produk budaya lain, saya ingin tanya sebenarnya ada tidak sih film, musik, bahkan sinetron yang hanya mengandung ciri khas Indonesia. Saya rasa tidak ada,” ujarnya, meski secara teknis Motulz menyebut komik Eropa lebih realis dibandingkan dengan komik Jepang yang kaya akan distorsi gambar, seperti mata yang terlalu besar atau otot badan yang kaku bak robot.
Lalu, yang jadi masalah, mengapa komik Indonesia belum sepopuler komik terjemahan Jepang. ”Kalau ada komik baru, pasti dibandingkannya dengan yang sudah ada di pasar. Sementara pembaca inginnya komik yang bagus. Jadi, ya, saya sih optimistis satu saat komik Indonesia akan bangkit,” kata Beng, yang cukup produktif membuat komik strip dan diterbitkan di Koran Tempo.
Utami Widowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo