Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”.... 27 Oktober 1945. Sepertinya mimpi-mimpi buruk itu berkurang kalau aku menulis dalam buku harianku…. Untung saja, aku toh tak perlu merasa bersalah…. Bagaimanapun, aku perlu membela diri. Itu kecelakaan….”
(Rampokan Jawa, oleh Peter van Dongen)
Syahdan, Peter van Dongen tak pernah menyaksikan perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan. Ia dilahirkan di Amsterdam pada 1966, ketika Indonesia sudah lama menjadi republik yang merdeka dan tengah bergulat dengan dirinya sendiri. Ia juga tak pernah merasakan ruwetnya kehidupan tentara bawahan yang dikirim oleh negerinya, Belanda, ke tanah Hindia. Tapi, lewat komik karyanya yang dipamerkan di Balai Erasmus 7-30 September, ia berhasil melukiskan kehidupan masyarakat Indonesia era 1940-an.
Van Dongen lahir dan besar di Belanda. Sepenggal cerita ibunda serta foto-foto menguning berisi suasana Indonesia tahun 1940-an itu menggelitik imajinasi Van Dongen.
Hindia, yang diceritakan sang ibu ini, kemudian menuntun pria kelahiran 1966 itu menelusuri Museum Tropis di Amsterdam hingga Museum Tentara di Yogyakarta. Ia berburu buku harian tentara Belanda yang pernah dikirim ke Indonesia sampai buku tentang Indonesia karangan Mochtar Lubis hingga Pramoedya Ananta Toer. Singkatnya, Van Dongen jatuh cinta pada Indonesia.
Cintanya pada Indonesia tak pupus begitu saja. Tahun 1998 ia membuat komik Rampokan Jawa, kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Tokoh sentral dalam ceritanya adalah Johan Knevel, tentara Belanda yang kembali ke Indonesia tahun 1947 yang memiliki agenda pribadi, yakni mencari Babu Nini, ibu asuhnya yang penuh kasih sayang.
Komik atau novel grafis Rampokan Jawa kemudian diganjar penghargaan di Belanda untuk desain buku terbaik tahun 1998 dan penghargaan Stripschappening sebagai buku komik terbaik tahun 1999. Komik ini juga diberi penghargaan ”Prix du Lion” di Brussels. Di samping segala puja-puji ini, ternyata Van Dongen mendapat kritik tajam dari masyarakat Belanda, khususnya dari kerabat tentara yang dikirim ke Hindia.
”Kisah ini masih menjadi lembaran hitam bagi sejarah Belanda,” kata Van Dongen, yang keturunan Cina-Maluku dari pihak ibunya. Orang Belanda masih marah terhadap soal ini dan menjadi kritis akan apa yang mereka dengar tentang Indonesia. Menurut sebagian masyarakat Belanda, kisah agresi militer sebaiknya disimpan saja. ”Mereka kesal dengan orang seperti saya yang membuat buku tentang era ini. Padahal, bagi generasi saya, masalah ini dibuka sedikit lebih baik,” kata pria yang mulai menggambar komik serius pada tahun 1994 ini.
Buat masyarakat Belanda yang menganggap peristiwa agresi ke Indonesia sebagai lembaran hitam, memang hal ini akan seperti mengulang kembali kenangan tentang Indonesia di masa itu. Van Dongen, dengan tarikan gambar yang mirip komik petualangan Tintin karya Herge, menggambarkan dengan sangat lihai segala hal detail tentang Indonesia kala itu. Dia menggambar dengan garis yang lurus, bersih, tidak memakai arsir persis seperti gaya Herge.
Pelabuhan Tanjung Priok dengan kapal-kapal yang sedang bongkar muatan, perempuan bersanggul dan berkebaya, pria-pria tawanan tentara Hindia bertulang rusuk menonjol, kota pecinan di Glodok dengan pengusahanya yang berwajah Tionghoa meski memakai nama Jawa. Lalu, hutanhutan lebat di Jawa hingga suasana Pasar Atom di Bandung dengan becak dan dokarnya. Meski tak seperti petualangan Tintin, beberapa adegan yang vulgar dan menggambarkan kekerasan membuat komik Van Dongen ini tak cocok dikonsumsi anak-anak.
”Saya memang terpengaruh gaya Herge, khususnya buku Tintin, Lotus Biru, tentang pendudukan Jepang di Cina. Cerita politik, dengan gaya menggetarkan hati, memperlihatkan latar belakang budaya dan Shanghai selama tahun 1930. Itu menakjubkan. Gaya bercerita saya lebih modern, dengan penyuntingan cepat dan mungkin lebih rumit,” kata Van Dongen.
Namun, tak seperti Tintin yang penuh warna, Rampokan Jawa hanya menggunakan warna hitam putih dan cokelat dengan tinta India dan kuas kecil. Meski kata Van Dongen itu lebih karena keterbatasan dana penerbit. ”Selain rasanya terlihat lebih bagus dan lebih otentik.”
Mendengar judul Rampokan Jawa memang terasa janggal dan mengundang tanya. Tapi judul komik yang versi Indonesianya telah diterbitkan oleh Pustaka Primatama bekerja sama dengan Komunitas Komik Alternatif ini dibuat Van Dongen setelah melalui riset mendalam. ”Rampokan asalnya dari dua kata, rampok dan macan. Pertarungan macan setelah bulan Ramadan. Ini kebiasaan masyarakat Kediri dan Blitar,” kata Van Dongen.
Macan menggambarkan roh jahat. Bila seorang kiai berhadapan dengan macan dan mati dalam pertarungan itu, daerah tersebut akan mengalami hal buruk seperti banjir. ”Saya menyampaikan secara metafora bagi prajurit kolonial Belanda melawan keinginan Indonesia untuk merdeka,” kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai ilustrator paruh waktu ini. Sayang, terjemahannya agak terasa janggal, banyak kalimat yang tak jelas, misalnya ”..karena rampokan, saat itu semua bencana terramalkan...” (Apa pula arti kata ”terramalkan”?) Penerjemahan bukanlah pekerjaan menerjemahkan kata demi kata secara harfiah. Ada sebuah nuansa dan kultur yang ikut serta diterjemahkan, termasuk gaya bahasa dan ”rasa” seluruh isi komik.
Rampokan Java sesungguhnya bukan karya Van Dongen yang pertama. Tahun 1990, ia pernah menerbitkan Muizentheater atau teater tikus, dongeng tentang dua bersaudara laki-laki era 1030-an. Kesuksesan Rampokan Jawa membuat Van Dongen membuat sekuel Rampokan Celebes pada tahun 2004. Di kisah ini, Johan Knevel bertualang ke Sulawesi. Mungkin pada terjemahan berikutnya nanti, penerbit akan jauh lebih berhati-hati dan cermat.
Utami Widowati dan Evieta Fadjar/LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo