Minggu pagi, 15 September 1991, dengan kendaraan Daihatsu Zebra (bak terbuka), saya hampir memasuki Stasiun Jakarta Kota. Tiba-tiba datang dua oknun polisi bersepeda motor mengejar dan menyuruh saya berhenti. Koptu A.S. memeriksa surat-surat kendaraan. Sedangkan rekannya yang berbadan tinggi dan berkumis tebal dengan nama ujung "to" duduk di atas motornya. SIM dan STNK tidak ada masalah, cuma Kir yang sudah habis. Dengan membawa surat-surat kendaraan, mereka memerintahkan saya ikut ke Polsek Jayakarta. Saya berusaha memohon agar bisa diselesaikan di tempat -karena saya harus menjemput istri dan bayi saya di Stasiun Kota, yang masuk pukul 8 pagi dari Surabaya. Mereka menolak dengan tegas meskipun saya memohon dengan alasan kemanusiaan. Tak ada pilihan lain, saya terpaksa mengikuti mereka ke Polsek Jayakarta. Dengan kasar dan over acting, mereka meminta saya untuk memberi uang sebesar Rp 25 ribu atau mobil ditahan. Saya menolak, dan minta kesalahan saya diperlakukan dengan semestinya. Saya setuju ditilang dengan sitaan SIM atau STNK, tapi mobil tidak ditahan. "Sudah tidak perlu banyak bicara. Ini peraturan," ia menghardik. Demi Allah, saya hampir gelap mata. Mengingat, mobil itu saya sewa secara harian dengan harga cukup tinggi untuk ukuran saya. Hal lain yang mengkhawatirkan saya adalah kereta Surabaya sudah masuk Stasiun. Sedangkan istri saya belum begitu mengenal Kota Jakarta. Akhirnya, saya terpaksa menyerahkan uang Rp 24.500. Ya, Tuhan! Mereka mengambil semuanya tanpa ekspresi. Hanya satu hal yang masih saya ingat dari rasa kemanusiaan mereka yakni, sebelum saya disuruh pergi, Koptu A.S. memberikan uang Rp 1.000 kepada saya, untuk parkir dan makan, katanya. Saya hanya bisa menyerahkan semua ini kepada kebesaran-Nya. HERYANTO S.P. Pandeglang, Banten Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini