Tulisan "Menulis adalah Hidup Saya" (TEMPO, 12 Oktober 1991, Obituari) mengingatkan saya pada perkenalan saya dengan pasangan suami-istri, Fernand de Willigen dan Beb Vuyk, sekitar seperempat abad lalu. Mereka dikenal sebagai "Beb" dan "Boet" yang harmonis, luwes, dan rendah hati di kalangan teman-teman dekatnya. Tiba-tiba kita, di Indonesia, dikejutkan oleh berita kematian Beb Vuyk pada awal September 1991. Sedangkan suaminya, Boet, telah meninggal beberapa tahun lalu. Beberapa media massa Indonesia memberi ulasan yang cukup panjang tentang kematian sastrawan yang berkebangsaan Indonesia itu. Dan mengisahkan suka duka Beb di bidang yang digelutinya itu. Suami-istri itu memilih Negeri Belanda demi mengembangkan bakat Beb Vuyk di bidang sastra. Terutama setelah menyaksikan kekejaman tentara Jepang di Indonesia, Beb merasa lebih tenang berkarya di Desa Loenen, di tepi Sungai Vecht, tidak jauh dari Amsterdam. Salah satu karyanya yang diterjemahkan oleh Gadis Rasyid ke bahasa Indonesia adalah Sebuah Rumah Nun di Sana, yang berlatar belakang Tanah Air Indonesia. Seorang wartawan kawakan pernah mengatakan bahwa para sastrawan dan penulis novel di Negeri Belanda lebih berkembang ketimbang rekan-rekannya di Indonesia. Itu, mungkin, selain disebabkan oleh kebebasan menulis, juga biaya penerbitan buku lebih rendah. Sebagian besar dari novel-novel yang berlatar belakang Indonesia menjamur di negeri "kincir angin" itu. Karena banyak di antara sastrawan itu pernah bermukim secara turun-temurun di Indonesia dan sulit melepaskan diri dari pengaruh Indonesia. Sebut saja Tjalie Robinson dengan bukunya Orang-orang Jalanan yang penuh humor. Buku itu ditulis Tjalie dengan logat Jakarta-Belanda. Penulis lainnya, seperti Ny. Hella S. Haasse dengan bukunya Goresan-goresan di atas Sebuah Bukit Batu. E. Breton de Nijs dengan karyanya Potret-potret yang Sudah Usang. Dan banyak lagi karya lain, yang belum sampai ke tangan kita di Indonesia. Bermunculannya karya-karya tulis di atas, terutama dari kalangan Indo-Belanda, kita harus menggarisbawahi keberadaan mereka di Negeri Belanda. Kalangan Indo-Belanda lebih meresapi sifat-sifat "keibuan" atau "nenek moyang" bangsa Indonesia. Karena itu, tepatlah kiranya kita turut berusaha mengangkat karya-karya seperti yang ditulis Beb Vuyk -untuk melengkapi khasanah perpustakaan bangsa. Akhirnya, saya mengimbau, terutama kepada Departemen P dan K untuk berbuat sesuatu -sebagai tanda terima kasih atas apa yang telah dilakukan Beb dan Boet berdua. H.J. SIRIE Pengadegan Barat I/12 Pancoran Jakarta Selatan 12770
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini