Surat dari Redaksi "ADA dua hal yang sulit ditemukan di Kalimantan: jalan darat dan hutan". Agaknya reporter kami Dwi Setyo Irawanto berkelakar ketika mengeluarkan kata-kata itu. Atau mungkin ia sedang prihatin. Tapi, setelah lebih dari seminggu mengelilingi pedalaman Kalimantan Timur, Siba, panggilan akrab Dwi Setyo Irawanto, memang menyaksikan betapa sulitnya mencari hutan yang perawan di sana. Kalaupun sarjana kehutanan IPB ini menemukan hutan kondisinya sudah merana: bopeng-bopeng karena habis dirambah. Selama 28 jam menyongsong hulu Sungai Mahakam dengan perahu ketingting dan disambung jalan darat dengan jip sejauh 86 km, Siba menyaksikan bagaimana lincahnya chainshaw menggorok batang meranti atau bermacam jenis kayu lainnya yang laku di pasaran. Ia lihat betapa cekatannya para buruh mengepras ranting dan cabang kayu-kayu itu. Lalu skider mencapit pohon itu, dibawa ke lapangan penumpukan kayu. Kayu-kayu kecil pada mati terlindas, tak pernah bertunas dan membesar. Bagi Siba, hutan bukan lahan yang menakutkan. Ketika mahasiswa, dia sering masuk hutan. Dia punya pengalaman sebagai cruiser yang tugasnya menghitung potensi hutan: jumlah pohon, mengukur tinggi dan diameter pohon, selama dua bulan pada tahun 1985. Apa yang disaksikan Siba bisa dipahami, bila diingat laporan tahunan Bank Dunia (1991), yang menyebutkan setiap tahun 1 juta hektare hutan di Indonesia digunduli. Tiga daerah memikul kerusakan terberat, yakni Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya. Kerusakan itu akan lebih menyakitkan ketika -bukan rahasia lagi -berbagai peraturan tak jelas jalannya di tengah rimba ini. Berbagai kutipan, misalnya, kebanyakan nyasar entah ke mana. Untuk melengkapi reportasenya, yang memang kami rencanakan untuk Laporan Utama, Siba mewawancarai berbagai sumber di sana, seperti Gubernur, Kakanwil Kehutanan, dan Kepala Dinas Kehutanan. Tapi, untuk memperoleh informasi sebenarnya dari kalangan pengusaha HPH, banyak hambatan. Untung ada juga mereka yang mau buka mulut, meski dengan syarat tidak dikutip namanya. Kemudian Djunaini K.S., wartawan TEMPO di Pontianak, dikirim ke Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Di desa yang terletak sekitar 210 km dari Pontianak itu, Djunaini, selain mereportasekan kondisi hutan, juga bertemu dengan rekan-rekan dan saudara Prajogo Pangestu, salah seorang pengusaha hutan yang kini sedang meroket. Rekan dan saudaranya banyak bercerita -dengan nada bangga -bagaimana dulu Prajogo menapakkan kariernya dalam bisnis. Sementara itu, di Jakarta, sejumlah reporter TEMPO dikerahkan. Mereka, yang terdiri dari Nunik Iswardhani, Indrawan, Iwan Qodar Himawan, dan Andy Reza Rohadian, berhasil mewawancarai begitu banyak sumber. Mulai dari Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, sejumlah ahli kehutanan di IPB, sampai beberapa pemegang HPH, salah satu di antaranya Bob Hasan, pengusaha kayu lapis terkemuka itu. Bahan-bahan ini kemudian diracik dalam beberapa tulisan oleh Budi Kusumah, Max Wangkar, Putut Trihusodo, Bambang Aji, Priyono B. Sumbogo, dan G. Sugrahetty Dyan K. Agar tulisan ini menjadi lebih enak dibaca, Redaktur Pelaksana Isma Sawitri memermaknya di sana-sini. Inilah cerita hutan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini