Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari Perumahan Nasional ketujuh pada 25 Agustus 2015 dibayangi oleh lesunya industri properti. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono mengatakan tantangan utama di bidang perumahan adalah memenuhi kekurangan unit rumah. Geliat pembangunan rumah dan krisis yang membayanginya menjadi liputan khusus Tempo pekan ini.
Persoalannya, angka kekurangan alias backlog berbeda-beda. Badan Pusat Statistik mencatat 13,5 juta unit, sementara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional hanya 7,5 juta unit. Faktanya, kata Basoeki, 7,6 juta warga Indonesia belum memiliki tempat tinggal sendiri, dan 3,4 juta unit rumah tidak layak huni.
Persoalan perumahan juga pernah diulas majalah Tempo edisi 7 April 1979. Ketika itu Perusahaan Umum Perumahan Nasional menyodorkan rumah tipe baru di Depok, Bogor, sebanyak 970 unit dan di Klender, Jakarta, sebanyak 200 unit.
Berbeda dengan rumah yang dibangun Perumnas sebelumnya, rumah baru yang ditawarkan tersebut untuk mereka yang berkantong agak tebal, yakni pegawai negeri golongan III atau pegawai swasta yang berpenghasilan Rp 100 ribu ke atas per bulan.
Rumah yang dibangun Perumnas sebelumnya, yang jumlahnya sudah mencapai puluhan ribu, disediakan untuk tingkat pegawai negeri golongan I dan II. Menurut Menteri Muda Urusan Perumahan Cosmas Batubara, pegawai negeri golongan III dan pegawai swasta yang berpenghasilan Rp 100 ribu atau lebih pun "punya prestasi". Agar tidak terjadi ketimpangan, mereka layak diperhatikan," kata Cosmas.
Perhatian itu menjadi kenyataan. Dari 970 rumah di Depok, ada tiga tipe, M-70, D-50, dan D-36. Di Klender satu tipe saja, M-70. Tipe ini di Depok dibanderol Rp 3.338.000, sementara di Klender Rp 220 ribu lebih mahal.
Mengapa beda, jangan heran. Sebab, Klender masuk wilayah Gubernur Tjokropranolo, Depok di bawah Gubernur Aang Kunaepi. Artinya, harga tanah di kedua tempat ini berbeda. Tipe D-50 dihargakan Rp 2.7900.000 dan tipe D-36 Rp 2.080.000.
Tipe mana pun yang menjadi incaran orang, syarat-syarat untuk calon penghuninya tidak sama dengan sebelumnya. Lebih-lebih karena kondisi rumah tipe ini sedikit lain ketimbang rumah Perumnas dulu. "Rumah harus diplester dulu sebelum ditempati, sedangkan sekarang tidak," kata Cosmas. Juga, "Rumah-rumah yang sekarang dilengkapi kloset dan lantainya dari tegel."
Penghuni rumah Perumnas dulu dalam dua tahun pertama berstatus penyewa. Uang sewa yang terkumpul selama itu diperhitungkan sebagai uang muka pencicilan rumah, selanjutnya berjangka sampai 20 tahun. Uang muka untuk rumah yang sekarang harus dibayar sebelum penghuni buka pintu. Besarnya minimal 10 persen dari harga rumah.
Masa pencicilan tergantung kemampuan masing-masing. Tersedia kelonggaran 5 sampai 20 tahun. Tapi, jangan lupa, perhitungannya harus meliputi bunga kredit 9 persen per tahun, 4 persen lebih tinggi daripada bunga kredit cicilan rumah Perumnas sebelumnya.
Apakah dengan sistem baru kredit rumah itu Perumnas lebih bergairah membangun rumah untuk tingkat pegawai negeri golongan III? Tampaknya tidak. Tahun pertama Pelita III (1979-1980), misalnya, akan dibangun 7.000 rumah dalam bentuk flat 4 susun dan 3.000 rumah biasa.
Bahkan lokasinya sudah diancar-ancar, yakni di atas tanah seluas 4 hektare di daerah Tanah Abang, 5 hektare di Tebet, dan 27 hektare di Mangga Dua. Semuanya di Jakarta. Prioritas penghunian flat diberikan kepada mereka yang sebelumnya tinggal di sekitar flat, selebihnya untuk pegawai negeri golongan I dan II.
Perhatian terhadap pegawai negeri golongan III tak ditinggalkan. Sebab, seperti dikatakan Direktur Pengusahaan Perumnas Sulistio, golongan itu sebenarnya bisa juga disebut golongan tanggung. Maksudnya? "Ya, beli rumah dari perusahaan real estate tidak mampu, sedangkan beli rumah Perumnas yang ada selama ini juga tidak bisa," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo