Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kok, Dicari-cari Kesalahan Pemerintah Yang Dulu

31 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSILO Bambang Yudhoyono adalah keteraturan, kehati-hatian, juga citra intelektual. "Trade mark" itu terbangun sejak ia berdinas di militer, menjadi menteri pada kabinet Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga menjadi Presiden Republik Indonesia selama sepuluh tahun. Kini, sepuluh bulan setelah ia tak lagi berkuasa, gambaran itu sama sekali tak berubah.

Ketika menerima Tempo, Rabu pagi pekan lalu, Yudhoyono memilih perpustakaan pribadi di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, sebagai tempat wawancara. Setumpuk berkas tertata rapi di meja panjang, di atasnya dua buku yang terlihat baru. Buku pertama berjudul Strategy, ditulis B.H. Liddell Hart. Yang satunya bertajuk The Road to Character karya David Brooks. "Bagi sebagian orang, membaca itu membikin pusing. Kalau saya, membaca sebentar saja malah bikin plong," kata Yudhoyono, 66 tahun.

Selama dua jam wawancara, iPad dipasang berdiri di sisi kirinya. Sejumlah orang bersiaga, termasuk seseorang yang bertugas mengetik cepat pertanyaan Tempo dan jawaban Ketua Umum Partai Demokrat itu. Ia didampingi sekretaris jenderal partainya, Hinca Panjaitan, dan juru bicara Imelda Sari. Ia selalu berhati-hati mengomentari pemerintah Joko Widodo.

Walau begitu, di awal wawancara dengan Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Agustina Widiarsi, Yandhrie Arvian, dan Isma Savitri itu, Yudhoyono melempar humor orisinal. Ia bercerita sedang menanti kelahiran cucu ketiganya. Ditanya apakah sudah diketahui jenis kelamin bayi dalam kandungan sang menantu, Aliya Rajasa-istri putra keduanya, Edhie Baskoro-ia menjawab cepat, "Insya Allah laki-laki. Kecuali Tuhan mengeluarkan perpu." Semua di ruangan tergelak.

Bicara tentang peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), benarkah Anda mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo mengusulkan perpu tentang pemilihan kepala daerah guna mengatasi calon tunggal di beberapa tempat?

Begini, ada calon kepala daerah yang tidak punya penantang, seperti di Surabaya dan Pacitan. Lalu mereka harus diganti pelaksana tugas. Mereka kepala daerah yang kinerjanya bagus, dicintai rakyat, dianggap patut memimpin sekali lagi, dan elektabilitasnya tinggi sehingga calon lain tidak berani maju. Adilkah jika mereka digantikan pelaksana tugas? Ini tidak bagus bagi demokrasi.

Mengapa?

Siapa yang memberikan kekuasaan kepada pelaksana tugas untuk memimpin sampai 2017? Tidak boleh satu orang tiba-tiba selama dua tahun mengatur rakyat, termasuk menentukan anggaran. Pelaksana tugas itu seharusnya sebulan atau dua bulan saja.

Bagaimana solusinya?

Tinjau kembali pasal tentang calon tunggal. Mungkin bisa dengan uji materi atau presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mengamendemen undang-undangnya. Bisa cepat, satu hari, atau seminggu. Dalam konteks itulah saya menulis surat kepada Pak Jokowi. Saya menjelaskan, solusinya tidak harus dengan perpu.

Anda serius sekali, sampai mengumpulkan eks menteri Anda.

Saya dari dulu selalu menggunakan sistem. Saya bisa ambil keputusan sekarang. Tapi, kalau perlu waktu satu hari, saya bisa mengajak Pak Djoko Suyanto, Pak Gamawan Fauzi, Pak Sudi Silalahi, Pak Dipo Alam, juga Pak Hatta Rajasa. Ini bukan hanya masalah Pak Jokowi ataupun KPU, melainkan masalah undang-undang kita semua. Bagaimana baiknya supaya adil dan logis.

Anda memberi perhatian khusus kepada Surabaya dan Pacitan karena memiliki ikatan khusus?

Saya menganggap semua partai politik itu mitra. Melihat Surabaya dan Pacitan punya masalah sama, saya minta Pak Hinca Panjaitan berkomunikasi dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memikirkan bagaimana bagusnya. Setahu saya, Ibu Megawati memiliki perhatian yang sama. Itu sebabnya kami berjuang habis-habisan agar Bu Risma (Tri Rismaharini, wali kota inkumben Surabaya) dan Indartato (bupati inkumben Pacitan) punya penantang.

Pengurus lokal loyal terhadap keinginan Anda?

Komunikasi kami dengan Ketua DPD, Pak Soekarwo. Baik Surabaya maupun Pacitan rekomendasinya kami dapatkan dari Pak Karwo. Tidak ada satu pun nama yang melayang dari Jakarta. Saya tahu ada dinamika di Pacitan. Ada calon gagal mendaftar karena wakilnya tiba-tiba tidak ada. Surabaya seperti itu juga. Maka selesaikanlah, yang penting ada calon agar demokrasi hidup.

Bisakah pemilihan kepala daerah di Surabaya dan Pacitan jadi momentum rekonsiliasi Anda dengan Ketua Umum PDIP Megawati?

Dari dulu saya menghormati Bu Megawati. Memang benar hubungan kami belum pulih selama sepuluh tahun. Nah, diawali dari Kongres Demokrat di Surabaya, saya mengutus tiga pejabat, Syarief Hasan, Edhie Baskoro, dan Agus Hermanto, untuk menyerahkan undangan kepada Bu Mega. Beliau tidak bisa hadir, tapi mengirim utusan. Saya anggap itu gestur yang baik.

Hanya itu?

Di banyak daerah, calon Demokrat dan PDIP berpasangan. Misalnya di Jambi dan Bengkulu. Ini langkah maju. Dulu tidak bisa terjadi karena jaraknya terlalu jauh. Tidak berarti di daerah tidak ada komunikasi kedua partai, tapi mereka tahu antara Ibu Mega dan saya belum pulih komunikasinya, sehingga mereka juga ada hambatan. Ke depan, kalau kami menjalin komunikasi, akan baik bagi negara dan stabilitas politik. Saya kira rakyat juga akan senang.

Selama sepuluh tahun sebenarnya ada sejumlah jalan untuk rekonsiliasi. Mendiang Pak Taufiq Kiemas sampai akhir hayatnya juga ingin hubungan saya dan Bu Mega suatu saat baik kembali. Tapi Tuhan belum mengizinkan.

Mengapa Anda tidak hadir di Istana pada 17 Agustus lalu?

Saya punya bawaan orok, memiliki tenggang rasa tinggi. Ini kesempatan untuk menunjukkan presiden baru kita: new star, new leader. Akan bagus kalau saya away dulu. Suatu ketika saya bisa datang ke Istana, tapi biar tahun ini presiden baru saja.

Bukan karena Anda diatur duduk dekat Megawati?

Suatu saat, bagus juga kalau presiden kelima dan keenam duduk bersebelahan, saling menyapa. Kalau kami tidak saling menyapa, kan personal sekali nanti. Saya ini manusia biasa juga.

"Pintu yang tertutup" pada rekonsiliasi selama ini di sebelah mana?

Rakyat tahu saya menghormati beliau. Sekali lagi akan bagus kalau kami bersahabat dan dekat lagi. Tapi not yet. Tuhan belum mengizinkan.

Ketika pemilihan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat tahun lalu, Anda dan Megawati saling menunggu sehingga pertemuan gagal....

Saya datang ke DPR, didampingi sejumlah menteri. Memang ada komunikasi, tapi tidak dengan Bu Megawati. Pak Jokowi juga datang ke saya sehari sebelumnya. Juga dari Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Saya membuka peluang kepada beliau, tapi ternyata enggak kejadian juga. Orang mengatakan, kalau sempat ada pertemuan dan komunikasi antara Ibu Megawati dan SBY, mungkin sejarah akan berubah. Bisa jadi. Tapi yang jelas itu tidak terjadi. Tidak tahu miss-nya di mana.

Sejauh mana komunikasi Anda dengan Jokowi?

Ada, tapi saya mencegah diri saya untuk tidak berlebihan. Saya memilih untuk tidak dikesankan mengganggu atau menggurui Pak Jokowi. Nanti malah muncul fitnah. Kalau ada sesuatu yang penting dan kebetulan saya ketemu orang dekat Pak Jokowi, baru saya akan menyampaikan pandangan saya.

Apa kesulitan terbesar Anda dulu ketika awal menjadi presiden?

Saya berusaha sistematis. Tanggal 20 Oktober saya disumpah, malamnya saya sudah mengumumkan kabinet, besoknya saya lantik. Besoknya sudah sidang kabinet pertama. Di situ saya jelaskan ini keinginan saya lima tahun ke depan, the dos and the don'ts, the rules of the game. Tiga hari berikutnya, saya undang semua gubernur. Karena saya ingin timeline seperti itu, sebelum itu saya melakukan fit and proper test di sini.

Harapan rakyat tinggi sekali ketika itu, karena baru pertama kali presiden dipilih langsung. Tapi saya sadar bahwa negara mana pun tidak semudah itu memenuhi harapan rakyat dan mengubah keadaan. Pada 2009, saya sudah lebih berpengalaman, jadi lebih smooth.

Anda butuh waktu berapa lama untuk konsolidasi pemerintahan?

Dulu program 100 hari saya jalani betul untuk konsolidasi, dan memberi waktu kabinet untuk memahami tugasnya. Tapi, begini, kalau mau dibanding-bandingkan: saya sebelum jadi presiden kan sudah lima tahun jadi menteri. Sebelumnya juga sudah di TNI. Begitu saya jadi presiden, ya, terus terang modal pengalaman dan pengetahuan saya lumayan. Jadi tidak terlalu sulit mengkonsolidasikan. Kalau sang presiden belum cukup pengalaman tentang kabinet dan isu strategis, ya, enggak ada ukurannya.

Bagaimana Anda yakin seorang menteri loyal pada tugas yang diberikan?

Nota kesepahaman yang saya teken dulu menyatakan, sejak seseorang diangkat menjadi menteri, garisnya ke presiden, bukan ke ketua partai politik. Laporan ke ketua partai boleh, wong itu bosnya. Pada saat akhir, ketika hubungan saya dengan partai politik tertentu kurang harmonis, tapi menterinya tetap loyal pada saya. Bahwa apakah dia a hundred percent menjalankan kebijakan saya, tentu saya tak punya kemampuan membaca pikiran. Tapi kan ada UKP4. Kalau ada menteri yang tidak melaksanakan instruksi saya, bersandiwara, kan merah semua nilainya.

Artinya, UKP4 sangat membantu Anda mengukur kinerja menteri.

Ya, dan unit kerja tidak boleh mengambil peran yang lain. Misalnya peran presiden, wakil presiden, ataupun menteri koordinator. Jadi itu betul-betul alat saya mengukur secara kualitatif dan kuantitatif. Laporannya tidak kepada saya, tapi ke depan kabinet. Tidak ada politiknya.

Pada 2008, Anda mampu melewati krisis ekonomi. Bagaimana Anda membandingkannya dengan krisis sekarang?

Saya mengikuti dinamika, ada yang sangat takut kondisinya akan seperti 1998. Ada yang sangat tenang. Saya sangat realistis dan rasional: sekarang sangat jauh berbeda dibanding 1998. Begitu juga dibanding 2008. Tapi, de facto, ekonomi kita melambat, pemutusan hubungan kerja kita meningkat, harga tidak stabil, inflasi tinggi, sektor riil di berbagai jenis terpukul, dan daya beli rakyat menurun.

Siapa yang salah?

Saya tidak pernah menyalahkan Presiden Jokowi dan pemerintah kenapa kurs melemah, saham jatuh, dan ekonomi melambat karena memang ekonomi itu dinamis. Amerika dan Eropa pernah kena, jadi Indonesia juga tidak kebal. Krisis sekarang ini memang tidak sama persis dengan 1998 dan 2008. Di satu sisi fundamentalnya lebih bagus, tapi memang lebih dinamis dan ada faktor-faktor yang bisa berubah dengan cepat.

Seperti apa perbandingan kondisi pada 1998?

Pada 1998, sebelum nilai kurs Thailand jatuh, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan pemerhati keuangan dunia menyebut keuangan Indonesia kuat. Tak ada yang membayangkan keuangan kita akan jatuh. Artinya, ekonomi kita dianggap baik. Tapi Pak Harto sudah makin sepuh dan mulai muncul gerakan politik yang menghendaki beliau jatuh. Ditambah insiden di sana-sini, seperti gerakan reformis dan Trisakti, menunjukkan politik saat itu sudah rapuh. Kemudian, ketika terjadi "serangan" tiba-tiba di Asia, kita belum siap benar. Itulah yang menyebabkan semua memburuk dengan cepat.

Dengan 2008?

Pada 2008, masalah dimulai dari Amerika, merambat di Eropa, dan dunia pun ikut bingung. Saya dulu takut kita akan mengalami peristiwa seperti 1998. Saya cemas. Pada bulan Ramadan, saat "gelombang tsunami" itu belum sampai, saya bilang ke teman-teman pers bahwa kita harus berbuat sesuatu. Secara fundamental, pada 2008 politik kita relatif stabil. Saya punya keyakinan fundamental kuat. Gubernur saya ajak bicara, begitu juga BUMN, ekonom, hingga pemimpin redaksi. Hasilnya, kita dinilai dunia berhasil meminimalkan dampak krisis.?

Apa yang perlu dilakukan sekarang?

Di kabinet ada Pak JK, bisa diperankan. Dengan segala kontroversinya, juga ada Pak Rizal Ramli. Ada Pak Darmin Nasution, yang saya juga pernah bekerja sama. Gubernur BI, meski independen, bisa diajak bekerja sama menyelesaikan kebijakan moneter ataupun fiskal. Ada Bu Rini Soemarno yang pernah di swasta dan BUMN. Banyak kok yang mengerti dan menguasai ekonomi di pemerintah. Pak Jokowi sudah benar mengundang dunia usaha. Asalkan benar saran yang masuk diramu, akan keluar solusi dan kebijakan.

Anda punya resep?

Sederhananya begini. Ekonomi sedang menurun, upayakan tidak terus menurun. Harga-harga dan inflasi dikontrol. PHK dicegah agar tidak terus berlanjut. Sebab, kalau kehilangan pekerjaan kan daya beli seseorang menurun, lalu perusahaan bangkrut, dan PHK lagi. Belum lagi masalah sosialnya. Kalau orang marah, akan tambah masalah nanti. Untuk mencegah lay off, ya, perusahaan ditemani, kalau perlu ditawari insentif. Kan, tidak berdosa mengambil APBN kalau untuk membantu rakyat. Proyek kalau ditunda setahun kan tidak jadi masalah, gantinya bisa menggunakan uang swasta atau BUMN. APBN kalau pas-pasan juga sementara bisa ditunda. Bisa kok Presiden mengatur ini bersama Pak JK dan lainnya.

Bagaimana dengan penyerapan anggaran yang rendah?

Banyak faktornya. Sebetulnya dari tahun ke tahun sudah banyak kemajuan. Kalau ditanya kenapa sih, kadang memang rencana oleh daerah dengan otoritas keuangan tidak pas. Masih mondar-mandir antara kementerian teknis dan kementerian keuangan, antara daerah dan pusat. Yang kedua, memang mbulet di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-nya. Yang ketiga menyangkut Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri. Sedikit-sedikit dipidanakan. Bayang-bayang ditangkap polisi dan KPK itu kan membikin takut.

Sejumlah anggota kabinet Anda diperiksa polisi, sebut saja Dahlan Iskan dan Denny Indrayana. Anda merasa ada "de-SBY-isasi"?

Saya pernah bertemu dengan Pak JK. Saya bilang, sepertinya kok dicari-cari kesalahan kebijakan pemerintah yang dulu. Ini tidak baik, kecuali yang memang crime. Kalau kebijakan dipersoalkan semua, mundur ke belakang, penuh nanti penjara kita. Tapi, kalau crime, siapa pun bisa kena. Kalau ada orang yang bicara keras kemudian dicari-cari kesalahannya, itu tidak baik karena mematikan kebebasan berpendapat.

Dulu Anda sering dikritik sana-sini. Bagaimana Anda menyikapi itu?

Saya sebagai manusia biasa kan boleh curhat. Dulu terus terang pers kan sangat kritis dan sinis kepada saya. Parlemen juga kritis kepada pemerintah. Unjuk rasa tidak terbilang jumlahnya, tapi kalau sekarang sudah kena pasal penghinaan. Ada kerbau, pantatnya ditulisi SBY. Kalau sekarang sudah kena ke Badan Reserse Kriminal.

Saya merasa, andaikan tidak ada gempuran dari mana-mana, mungkin akan lebih banyak hal yang bisa saya lakukan. Tapi di sisi lain, justru karena saya dikritik, saya lebih hati-hati. Kalau dininabobokan, dipuji-puji, mungkin saya sudah jatuh duluan.

Pasal penghinaan yang sekarang dihidupkan lagi itu sudah ada sejak era Anda?

Ini agak simpang-siur. Di era saya, yang jelas berubah adalah, dari yang semula bukan delik aduan menjadi delik aduan. Artinya tidak otomatis orang yang ngomong nyinyir sedikit ke presiden bisa dijadikan tersangka. Kalau otomatis ditangkap, pada era saya akan banyak yang kena. Akhirnya diganti delik aduannya. Kalau presiden tidak merasa terhina, dicemarkan nama baiknya, ya tidak usah diadukan. Seandainya saya dulu "telinga tipis", ya, saya enggak bisa kerja karena sibuk mengadukan orang tiap hari ke polisi.

Sekarang ini banyak juga yang prihatin terhadap nasib KPK, terutama kriminalisasi terhadap pemimpinnya.

Saya strong supporter KPK. Ketika itu Polri dan Kejaksaan sedang melakukan reformasi, sementara KPK muncul dengan idealisme tinggi. Bukan berarti saya menyia-nyiakan Polri dan Kejaksaan, karena mereka setara. Kalau ada konflik antara KPK dan Polri, akan saya minta mereka duduk bersama mencari solusi.

Di sisi lain, Anda tahu power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Jadi keliru juga kalau kekuasaan yang dipegang pemimpin KPK disalahgunakan. Misalnya, kalau benar KPK gegabah menetapkan tersangka. Jangan juga menetapkan tersangka karena kepentingan politik. Saya mendukung KPK, tapi janganlah pemimpinnya ada godaan-godaan yang tidak benar. Kepolisian juga, jangan sampai ada motif politik ketika mengambil keputusan. Jangan sampai ada orang yang keras kepada Polri lalu mudah sekali diperiksa. Itu enggak bagus.

Demokrat selama ini sangat bergantung pada Anda. Apakah Anda membayangkan suatu saat partai ini bisa punya figur pemimpin baru?

Ketika menggagas Demokrat pada 2001 di ruangan ini, saya susah mengajak orang bergabung. Tidak mudah mencari kader. Akhirnya yang mau, ya, saudara sendiri. Yang die hard itu, ya, hanya beberapa kader dan keluarga. Nah, begitu partai ini masuk DPR, masak yang dulu berjuang itu ditendang? Terus ada orang yang baru datang pada 2009, datang ingin jadi menteri, tidak mau berjuang. Tapi sekarang, welcome new comer. Saya tidak ingin partai ini hilang dari peredaran.

Partai politik di negeri ini suka atau tidak suka masih dipengaruhi figur pemimpin. Tapi, saya percaya, pada saatnya partai tidak akan bergantung pada figur.

Susilo Bambang Yudhoyono:
Tempat tanggal lahir: Pacitan, 9 September 1949 Jabatan: Ketua Umum Partai Demokrat Karier: Dan Tonpan Yonif Linud 330 Kostrad (1974-1976) o Dan Tonpan Yonif 305 Kostrad (1976-1977) o Dan Tn Mo 81 Yonif Linud 330 Kostrad (1977) o Pasi-2/Ops Mabrigif Linud 17 Kujang I Kostrad (1977-1978) o Dan Kipan Yonif Linud 330 Kostrad (1979-1981) o Paban Muda Sops SUAD (1981-1982) o Komandan Sekolah Pelatih Infanteri (1983-1985) o Dan Yonif 744 Dam IX/Udayana (1986-1988) o Paban Madyalat Sops Dam IX/Udayana (1988) o Dosen Seskoad (1989-1992) o Korspri Pangab (1993) o Dan Brigif Linud 17 Kujang 1 Kostrad (1993-1994) o Asops Kodam Jaya (1994-1995) o Danrem 072/Pamungkas Kodam IV/Diponegoro (1995) o Chief Military Observer United Nations Peace Forces (UNPF) di?Bosnia-Herzegovina?(1995) o Kasdam Jaya (1996) o Pangdam II/Sriwijaya (1996-1997) o Asospol Kassospol ABRI/Wakil Ketua Fraksi ABRI MPR 1998 o Kassospol ABRI/ Ketua Fraksi ABRI MPR 1998 o Kepala Staf Teritorial ABRI (1998-1999) o Menteri Pertambangan dan Energi (sejak 26 Oktober 1999) o Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid) o Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (pemerintahan Presiden?Megawati Soekarnoputri), mengundurkan diri 11 Maret 2004 o Presiden Republik Indonesia?(2004-2014)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus