Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir yang menghampiri kawasan jalan protokol dan Istana Negara bukan hanya milik masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Pada era Gubernur Ali Sadikin, air juga menjalari kawasan Jalan Muhammad Husni Thamrin. Ali bahkan sempat geram terhadap pemberitaan banjir di Ibu Kota. Majalah Tempo edisi 3 November 1973 merekam cara Ali menanggapi banjir Ibu Kota.
Gubernur Ali Sadikin pernah sengit jika ada koran yang memberitakan Jakarta kebanjiran. Tapi kali ini dia lebih santai menanggapinya. "Beberapa kampung Jakarta dulu memang bekas rawa. Tempat bangkong, tempat kodok, bukan tempat tinggal manusia," ujarnya. Disebutnya contoh nama Rawamangun, Rawabuaya, dan lain-lain rawa. "Maka kalau banjir enggak aneh."
Berkata begitu, Gubernur DKI ini konon tak ingin mengelak dari tanggung jawab. Mungkin sekadar melampiaskan rasa jengkel lantaran perkabaran tentang banjir di Ibu Kota dilihat secara kurang cermat. Keadaan agaknya suka dibikin bergalau lantaran yang kebanjiran bukan cuma kampung eks rawa tempo dulu itu, Jalan Raya Thamrin pun ikut-ikutan direndam air. Ini tentu bikin kewalahan pengurus Jakarta. Tahun lampau, ketika bah sedang ramai-ramainya, Ali mengutarakan semacam ikrar bahwa selama setahun ini tidak bakal mau bicara soal itu. Bahkan bawahannya pun dituding jangan sembarang angkat bicara ini soal. Bisakah ini menolong keadaan?
Penghabisan Oktober, tak urung kenyataan pahit ini memang dikubak juga. Apa sih musababnya air suka betul main-main di kampung-kampung dan jalanan Jakarta? Memang bukan Gubernur sendiri yang bicara kepada pers, melainkan wakilnya, yaitu Ir Prayogo plus Ir Supardi, Kepala Proyek Pengendalian Banjir DKI, serta Ir Bunyamin Ramto, Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI.
Tidak diperbincangkan lagi peristilahan apa yang patut diberikan pada nasib yang menimpa Ibu Kota Republik seperti yang lazim disebut "genangan" ataupun "banjir kiriman"-tapi Ir Prayogo membeberkan kenyataan betapa Daerah Khusus Ibu Kota ini bukan cuma dilintasi sebuah Ciliwung, melainkan juga oleh guratan Kali Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Cideng, Kanal Banjir, Sentiong, Cipinang, Buaran, Sunter, dan Cakung. Namun, ujar Prayogo, "Kapasitas dari sarana-sarana tadi sudah kurang mampu menampung air." Alasannya: debit air bertambah akibat penggundulan daerah hulunya plus lantaran penyempitan profil kali di dalam kota sendiri. Buat alasan yang kedua ini lumayan payah menanggulanginya.
Para pejabat DKI itu menggambarkan usaha yang sungguh-sungguh menanggulangi banjir ini baru dilaksanakan sejak 1965, yang dibagi secara mikro dan makro. Yang mikro merupakan urusan pemerintah daerah, yaitu upaya penyelamatan jalan, pengeringan kampung dan daerah penting sesuai dengan tata kota sekarang.
Yang dipandang selesai antara lain Petojo-Roxy, Rajawali, Menteng, Kebayoran, Rawamangun, Bendungan Hilir, Kota Lama alias kota Inti, Kemayoran, Krendang, Koja, Menteng Dalam, dan Pisangan. Yang makro tengah digarap adalah pembuatan Waduk Melati, pengerukan Kali Cideng, serta Grogol, Pasar Ikan, Kali Beton, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil survei para ahli Belanda dan Indonesia disimpulkan: Jakarta butuh dua biji lagi kanal banjir sebagai program jangka panjang. Jurusan timur dengan kapasitas 440 meter kubik per detik buat mengamankan daerah sekitar Industrial Estate Pulogadung dan arah barat dengan kapasitas 500 meter kubik per detik dimulai dari pintu air Karet memotong Kali Grogol, Kali Sekretaris, untuk bergabung dengan Kali Angke. Kali Malang alias kanal banjir yang lama dengan begitu bakal ditunjuk sekadar saluran induk saja.
Jalur kanal itu ke timur mencapai 23 kilometer dengan biaya Rp 10 miliar. Ke barat sepanjang 8 kilometer bakal menelan Rp 8 miliar. Keduanya segera dikerjakan bertahap dengan biaya pemerintah pusat, yaitu tahun pertama Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II untuk jurusan timur. Setelah itu baru jurusan barat.
Dalam pada itu pemimpin Komando Proyek (Kopro) Pencegahan Banjir DKI Ir Supardi merinci ongkos yang telah dihabiskan buat urusan banjir di Jakarta selama Pelita I: masing-masing Rp 260 juta, Rp 200 juta, Rp 350 juta, Rp 600 juta, dan meningkat Rp 700 juta. Dan konon Jakarta bakal bebas seluruhnya dari ancaman bah untuk jangka panjang jika teronggok duit Rp 50 miliar. Itu hitungan menurut nilai uang sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo