RUMAH-RUMAH joglo itu tampak gagah berjejer di kiri kanan
jalan yang beraspal. Ubinnya cemerlang dan kunci-kuncinya
buatan luar-negeri. Di Kawasan itu memang telah tercipta sebuah
suasana, sedemikian rupa, hingga seniman Sapto Hudoyo berkata,
"Moga-moga tahun 2000 desa-desa Indonesia seperti itu."
Secara populer tempat tersebut sudah dikenal sebagai Desa
Kerajinan. Tapi secara resmi ia diberi nama Lingkungn Industri
KeciI (LIK). Letaknya di sa Maguwoharjo, pada jalur lalu-lintas
turis Jogya-Sala, hanya 8« km dari pusat Kota Yogya.
Selama 1981 ini, ada 12 LIK dibangun di pelbagai tempat. Tahun
depan 14 menyusul 14 LIK lagi. Tapi dari sejumlah LIK yang
memang baru pertama kali muncul di negeri ini, Desa Kerajinan di
Maguwoharjo itulah yang terpilih sebagai yang pertama. Dan
diresmikan Presiden Soeharto, senin pekan lalu.
Desa Kerajinan direncanakan meliputi tanah seluas 4,7 hektar
yang dalam tempo 4 tahun bisa dikembangkan menjadi 10 hektar.
Tapi sebelum kegiatan industri dimulai, perkembangan yang lain
sudah terjadi lebih dulu. Dirut PT Wiraswasta Manggal
(perusahaan yang mensponsori Desa Kerajinan tersebut),
Soemiharjo, tidak pernah membayangkan Desa Kerajinan yang
dicita-citakannya akan menjadi seperti sekarang ini.
Gagasan pertama tercetus dalam benaknya pada 1974. Semula ia
bersyukur andaikata bangunan yang direncanakan bisa terbuat dari
gedeg saja. Tapi lalu terpikir bahwa gedeg mudah terbakar.
Karena dana yang tersedia cukup, maka dinding pun ditembok.
Begitu juga bentuk atap yang semula direncanakan bercorak limas,
belakangan berubah jadi joglo. Setiap bangunan berikut tanah
seluas 150 mÿFD berharga Rp 4,2 juta. Masing-masing bangunan
terdiri dari show-room, work-shop, dan gudang.
Menengah Dulu
Memang, pengusaha dan seniman seperti Amri Yahya yang
memborong 4 kapling di Desa Kerajinan, tentu akan betah di
situ. Dan rupa-rupanya Desa Kerajinan di Maguwoharjo memberi
kesempatan, khusus untuk pengusaha setingkat Amri. Hal ini
sesuai dengan petunjuk Sri Sultan untuk mulai dulu dengan
pengusaha menengah. "Kalau berhasil, baru dipikirkan untuk
pengusaha kecil," kata Sultan seperti diungkapkan Pramono
Mulyoseputro, Direktur Pemasaran Wiraswasta Manunggal.
Tapi Soemiharja, lebih cenderung mengatakan bahwa
rekan-rekannya yang beruntung menempati kapling di Desa
Kerajinan itu sebagai "pengusaha kecil yang pilihan." Siapa
mereka? Seluruhnya ada 35 pengusaha yang bergerak dalam aneka
kerajinan, mayoritas batik menyusul usaha konveksi, perak,
kuningan dan meubel. Selebihnya adalah pengusaha yang
memproduksi wayang/gamelan, kulit, besi cor, perhiasan imitasi,
tanduk dan sulam-menyulam.
Beberapa dari mereka sebelumnya memusatkan usaha di Yogya dan
Kotagede. Tujuh di antaranya bersepakat untuk bergabung dalam PT
Wiraswasta Manunggal yang kemudian mencetuskan ide Desa
Kerajinan pada Dirjen Industri Kecil.
Setelah adanya studi kelayakan dari Universitas Gajah Mada,
dengan biaya Rp 1.360 juta, Direkrorat Industri Kecil membangun
prasarana di lingkungan Desa Kerajinan -- ditambah bantuan
kredit konstruksi dari Bapindo.
Diperhitungkan sekitar Rp 2 milyar habis untuk pembangunan Desa
Kerajinan ini. Untuk tahap pertama baru 700 pengrajin tertampung
di sana. Jumlah ini masih kecil bila dibandingkan 143.000
pengrajin yang tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Karena itu tidak heran kalau suara-suara bernada negatif
terdengar di sana-sini. Misalnya dikatakan sebagai sebuah pusat
pengrajin yang nanti diperagakan pada turis, Desa Kerajinan itu,
tidak mewakili keadaan yang sebenarnya. "Turis ingin melihat
suasana bagaimana pengrajin dan keluarganya hidup. Kalau sekedar
untuk melihat hasil kerajinan mereka tidak perlu jauh-jauh
datang ke Indonesia" ujar Sapto Hudoyo.
Seniman ini menyesalkan, mengapa di Desa Kerajinan itu tidak
bisa ditemukan suasana kebebasan, seperti yang umum terlihat di
sekitar rumah dan keluarga pengrajin yang sebenarnya. "Kalau
alasannya untuk proyek turisme, mengapa bukan desa pengrajinnya
saja yang diperbaiki. Jangan membikin desa baru yang hanya
membuang-buang uang saja," tambah Sapto "bikin saja jalan ke
Kotagede. Atau jalan ke desa Kasongan diperbaiki. Penjual rokok
di desa itu nanti juga bisa hidup."
Dalam pada itu beberapa pemilik kapling mengeluh karena bangunan
yang ada tidak sesuai dengan harapan mereka. "Dulu di gambarnya
banyak jendela, tahu-tahu jendelanya cuma sedikit," ungkap
seorang dari mereka. "Jadinya kayak rumah, bukan toko," kata
Ny. Kusdi Cokrosuharto, pengusaha perak.
Memang ada kesan proyek Desa Kerajinan yang dibangun sejak
pertengahan tahun lalu, menyimpang dari rencana dan digarap
tergesa-gesa. "Kami ingin yang tenang, agar hasilnya
memuaskan. Tapi pihak PT Wiraswasta Manunggal mengejar tahun
anggaran, supaya tidak hangus," ungkap Shamijoen, 54 tahun,
seorang pengusaha batik. Sampai 24 jam sebelum peresmian,
kapling Shamijoen masih terus disempurnakan. Mungkin begitulah
akibatnya kalau desa untuk tahun 2000 ikut sekarang.
Lalu, apa pengaruh Desa Kerajinan itu terhadap pusat-pusat
industri kerajinan, seperti Kotagede? Para pengrajin belum
dapat meramalkan. Tapi seorang pengusaha perak di Kotagede
yang juga memiliki kapling di Desa Kerajinan, Pramono
Mulyoseputro, yakin, Maguwoharjo tak akan mematikan pengrajin
yang masih tetap bertahan di tempatnya semula. "Desa Kerajinan
seperti Taman Mini," tuturnya, "hanya tempat promosi."
Maksudnya, pelancong yang datang ke Maguwoharjo, tentulah tak
puas kalau tidak melihat tempat kerajinan sebenarnya. Sebab,
tambah Pramono, yang disajikan di Desa Kerajinan hanya kulit
luar", bukan isi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini