DIPAYUNGI kharisma sang ayah, almarhum Presiden Soekarno,
Guruh, 28 tahun, memang menarik -- terutama buat kalangan
remaja. Empat tahun lalu ia menghimpun sekelompok remaja dalam
wadah Swara Maharddhika. Bersama kelompok ini, Guruh, sering
mementaskan karyanya di hotel maupun di panggung. Pergelaran
Karya Cipta Guruh II dengan tema Untukmu Indonesiaku, di
Jakarta September lalu, misalnya, menghasilkan laba bersih Rp
30 juta. Dari pergelaran pertama, Januari 1979, ia dan
kelompoknya untung Rp 19,5 juta.
Sejumlah produser film kemudian menawarkan diri untuk
bekerjasama. Guruh pun melihat bahwa film merupakan media ampuh
buat memperoleh uang. Ia memilih bekerjasama dengan PT Nusantara
Film untuk produksi Untukmu Indonesiaku. Tujuh kamera di
antaranya tiga Panavision -- dikerahkan. Guruh memang menyukai
hal yang spektakuler dan gemerlapan. Ami Priyono, bertindak
sebagai sutradara. Tapi ia tak bisa demikian bebas memberikan
pengarahan kepada pemain. Di film itu, ia lebih banyak
mengarahkan kerja para jurukamera. Dan diakuinya, ia
kehilangan sejumlah momen baik.
Ke dalam film itu dimasukkan pula cuplikan film dokumenter,
misalnya, ketika Presiden Soekarno berpidato. Suasana Hari
Angkatan Bersenjata Oktober lalu, kelihatan juga. Bahan itu
banyak didapat dari Pusat Produksi Film Negara.
Bahan gado-gado itu -- salah satu unsur komersial -- bertujuan
memancing minat calon penonton dan mencegah kebosanan. Kalau
film tadi hanya merekam peristiwa di panggung, sutradara maupun
produser takut penonton tak akan menyukainya. Dan sejauh itu
pula, menurut Ami, Guruh menolak tampil berlebihan.
Dari kepala Ami, Guruh dan Norman Benny (editor) sering muncul
sejumlah gagasan memperkaya hasil shooting. Skenario akhirnya
banyak dirombak. "Dibanding kerja untuk film cerita biasa, kali
ini sangat melelahkan," ungkap Ami. Bahan dari luar panggug
itu akhirnya merupakan penopang (sekitar 35%) dalam film yang
punya masa putar 1 jam 40 menit tersebut.
Sesudah Untukmu Indonesiaku, (yang menelan lebih Rp 100
juta), film berikut kelak menyusul. Guruh menyebut bahwa film,
selain pangung merupakan sektor lapangan kerja menarik. Ia
ingin menjadikan Swara Maharddhika sebagai organisasi kesenian
profesional yang memberikan kesempatan kerja kepada anggotanya.
Ia memimpikan organisasi semacam Moulin Rouge di Paris yang
menyajikan pertunjukan berbobot. Ia berharap Swara Maharddhika
akan mementaskan karyanya secara periodik.
Secara tak teratur, kelompok ini telah sering mengisi acara di
beberapa hotel Jakarta. Terpaksa rupanya. Sebab buat
sekretariat dan latihan, kelompok itu setiap bulan mengeluarkan
Rp 500 ribu.
Prinsip kerja amatir perlahan-lahan ditinggalkannya. Dari hasil
pementasan pula, Swara Maharddhika bisa memberikan imbalan (Rp
100 - 300 ribu) kepada setiap pemain. Tapi Guruh terbentur pada
kenyataan bahwa sebagian besar dari 150 anggota kelompok itu
masih bersekolah -- kebanyakan duduk di SLA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini