Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Indonesiaku di mata guruh

Sutradara: ami priyono penata kisah: ikranegara produksi: pt nusantara film resensi oleh: putu setia. (fl)

4 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUKMU INDONESIAKU Sutradara: Ami Priyono Penata kisah: Ikranegara Poduksi: PT Nusantara Film FILM ini tidak mencatat peristiwa politik atau gemuruhnya pembangunan. Ia sekedar merekam peristiwa kesenian, Pergelaran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra II, di panggung gemerlapan Balai Sidang Senayan, September lalu. Lumayan mahalnya. Tapi film ini bisa juga menyedot banyak duit. Untukmu Indonesiaku, judul pementasan Guruh dengan Swara Maharddhika itu tetap dipakai. Tentu saja tidak selalu sama pergelaran di panggung itu dengan yang tersaji di film. Ada tampak kegiatan di belakang panggung, persiapan pentas dan latihan berulang-ulang di dalam filmnya. Lalu ada "cerita", setidaknya mengingatkan penonton bahwa ini film. Ada kisah perjalanan Guruh yang panjang sebelum menghasilkan karyanya yang besar itu. Dan ada pembelaan. Maklum, setelah pementasan di Senayan itu, banyak orang menuding putra Bung Karno ini tukang mimpi yang penuh glamour, kemewahan, jauh dari derita hidup masyarakat. Guruh seolah berkata lantang bahwa semua yang dikerjakannya itu berakar pada kesenian tradisional, dan bahwa ia tidak lari dari masyarakat Indonesia. Lewat tangan Ami Priyono, diperlihatkan bagaimana Guruh secara tekun dan serius mendatangi guru-guru tari terkenal di Bali. Lewat "suara", putra Bung Karno ini disebut banyak berkelana di Sumatera, Jawa dan daerah lain, menimba ilmu pada seniman tari tersohor. Dikisahkan lagi latar belakang keluarga Guruh yang begitu dekat dengan seni. Hingga muncullah di film potret Guruh kecil bersama ibu, bapak dan saudaranya. Gerak tari dan kostum yang terlihat di panggung Senayan adalah perakitan berbagai ragam tari daerah. Busana tari itu tidaklah menyeleweng dari konsep seni pertunjukan tradisional. Janger, Arja, Prembon, dan berjenis-jenis tari lepas Bali, misalnya, kostumnya begitu gemerlapan untuk lingkungan asalnya. Kuda lumping dan reyog dan serimpi dan sejenisnya -- semua itu berbusana yang melebihi petani desa yang menontonnya. Memang penonton di Senayan bukanlah kelas gelandangan. Maka Guruh merasa tak apa-apa jika busana pementasannya sebagian dibeli di Paris, menandingi gemerlapan Jakarta. Tapi kesenian tradisional yang harus lebih gemerlapan dari penontonnya itu menimbulkan jarak. Lagi pula, kesenian Guruh berangkat dari akar kesenian tradisional yang lebih kecil lagi, yaitu tari daerah, bukan teater daerah seperti drama gong (Bali), ludruk (Ja-Tim), ketoprak (Yogya), lenong (Jakarta). Kelompok terakhir ini busananya menyesuaikan cerita, ada kalanya mewah, ada waktunya seperti pakaian penonton -- atau malah lebih buruk. Film ini dibumbui juga dengan proses berdirinya Swara Maharddhika. "Bermula dari sekelompok pelajar sebuah SMA di Jakarta yang bergabung dalam paduan suara, seperti yang banyak terjadi di sekolah-sekolah negara kita," begitu terdengar suara. Kemudian Guruh sendiri bersuara. "Memang, saya tantang mereka untuk melahirkan sesuatu yang tidak kepalang tanggung . . . tidak saja paduan suara, tapi suatu hal yang besar untuk Indonesia." Suatu ketika film usang hitam putih muncul (lihat box) dan Bung Karno tampak sedang pidato berapi-api dalam sebuah rapat umum "Percayalah, tidak ada suatu bangsa . . . yang tidak memesankan kepada saya, doa, agar supaya Indonesia lekas menjadi bangsa yang kuat." Pidato Bung Karno yang disambut tepuk sorak ini disambung komentar berapi-api: "maka lahirlah Swara Maharddhika . . . " Kerja keras dan disiplin yang ditanamkan Guruh diperlihatkan. Misalnya mengerjakan peralatan pentas, latihan seperti menyiksa, juga urusan mencuci piring dan menyapu -- dengan kikuk. Dalam sebuah pertemuan anggota, Guruh duduk di kursi, anak buahnya bersila di lantai. Ada kesan keangkuhan Guruh menonjolkan kefeodalannya, "tidak merakyat". Namun Guruh (atau Ami Priyono) mmperhatikan kritik. Patriotisme yang berlebihan di Senayan tidak terulang dalam film. Tokoh Anu dan Polan, misalnya, dimunculkan sekilas saja, tanpa berkata-kata. Lagu patriotik, Untukmu Indonesiaku yang dinyanyikan gegap gempita, diselang-seling barisan tentara, terjun payung, panser dan pesawat tempur terbaru yang diambil pada HUT ABRI di Jagorawi. Semangat remaja di gedung dengan semangat prajurit di terik matahari bagai manunggal. Begitu pula lagu Melati Suci, dengan komposisi tari kipas yang banyak dipuji itu, lebih mengharukan dalam film, lantaran adegan tibanya jenasah ibu Fatmawati di Halim. Bisa diduga, film pementasan Swara Maharddhika yang dibumbui penjelasan Guruh tentang konsepsi keseniannya, akan laris di daerah tempat Guruh mencari "modelnya". Maklum, berkali-kali rencana membawa grup ini ke Semarang atau Yogya tak pernah kesampaian. Di Yogya -- tempat GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) masih berjaya dan sering muncul dengan slogan yang sama dengan Swara Maharddhika: menari, menyanyi, belajar, berjuang dan bekerja -- film ini dapat keplokan tak henti-henti. Juga orang tua yang "rindu" pada almarhum Presiden Soekarno riuh bertepuk. Gadis Penakluk, film remaja yang dinilai serius dan cukup bobot, tak sampai seminggu bertahan di Yogya, tapi Untukmu Indonesiaku bisa tahan dua minggu dengan 3 bioskop yang masing-masing memutar 5 kali sehari termasuk pagi. Di Semarang ia malah diputar di 6 bioskop, di antaranya 3 meneruskannya di minggu kedua. Putu Setia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus