UNTUKMU INDONESIAKU
Sutradara: Ami Priyono
Penata kisah: Ikranegara
Poduksi: PT Nusantara Film
FILM ini tidak mencatat peristiwa politik atau gemuruhnya
pembangunan. Ia sekedar merekam peristiwa kesenian,
Pergelaran Karya Cipta Guruh Soekarno Putra II, di panggung
gemerlapan Balai Sidang Senayan, September lalu. Lumayan
mahalnya. Tapi film ini bisa juga menyedot banyak duit.
Untukmu Indonesiaku, judul pementasan Guruh dengan Swara
Maharddhika itu tetap dipakai. Tentu saja tidak selalu sama
pergelaran di panggung itu dengan yang tersaji di film. Ada
tampak kegiatan di belakang panggung, persiapan pentas dan
latihan berulang-ulang di dalam filmnya. Lalu ada "cerita",
setidaknya mengingatkan penonton bahwa ini film. Ada kisah
perjalanan Guruh yang panjang sebelum menghasilkan karyanya yang
besar itu.
Dan ada pembelaan. Maklum, setelah pementasan di Senayan itu,
banyak orang menuding putra Bung Karno ini tukang mimpi yang
penuh glamour, kemewahan, jauh dari derita hidup masyarakat.
Guruh seolah berkata lantang bahwa semua yang dikerjakannya itu
berakar pada kesenian tradisional, dan bahwa ia tidak lari dari
masyarakat Indonesia. Lewat tangan Ami Priyono, diperlihatkan
bagaimana Guruh secara tekun dan serius mendatangi guru-guru
tari terkenal di Bali. Lewat "suara", putra Bung Karno ini
disebut banyak berkelana di Sumatera, Jawa dan daerah lain,
menimba ilmu pada seniman tari tersohor. Dikisahkan lagi latar
belakang keluarga Guruh yang begitu dekat dengan seni. Hingga
muncullah di film potret Guruh kecil bersama ibu, bapak dan
saudaranya.
Gerak tari dan kostum yang terlihat di panggung Senayan adalah
perakitan berbagai ragam tari daerah. Busana tari itu tidaklah
menyeleweng dari konsep seni pertunjukan tradisional. Janger,
Arja, Prembon, dan berjenis-jenis tari lepas Bali, misalnya,
kostumnya begitu gemerlapan untuk lingkungan asalnya. Kuda
lumping dan reyog dan serimpi dan sejenisnya -- semua itu
berbusana yang melebihi petani desa yang menontonnya.
Memang penonton di Senayan bukanlah kelas gelandangan. Maka
Guruh merasa tak apa-apa jika busana pementasannya sebagian
dibeli di Paris, menandingi gemerlapan Jakarta. Tapi kesenian
tradisional yang harus lebih gemerlapan dari penontonnya itu
menimbulkan jarak. Lagi pula, kesenian Guruh berangkat dari akar
kesenian tradisional yang lebih kecil lagi, yaitu tari daerah,
bukan teater daerah seperti drama gong (Bali), ludruk (Ja-Tim),
ketoprak (Yogya), lenong (Jakarta). Kelompok terakhir ini
busananya menyesuaikan cerita, ada kalanya mewah, ada waktunya
seperti pakaian penonton -- atau malah lebih buruk.
Film ini dibumbui juga dengan proses berdirinya Swara
Maharddhika. "Bermula dari sekelompok pelajar sebuah SMA di
Jakarta yang bergabung dalam paduan suara, seperti yang banyak
terjadi di sekolah-sekolah negara kita," begitu terdengar suara.
Kemudian Guruh sendiri bersuara. "Memang, saya tantang mereka
untuk melahirkan sesuatu yang tidak kepalang tanggung . . .
tidak saja paduan suara, tapi suatu hal yang besar untuk
Indonesia."
Suatu ketika film usang hitam putih muncul (lihat box) dan
Bung Karno tampak sedang pidato berapi-api dalam sebuah rapat
umum "Percayalah, tidak ada suatu bangsa . . . yang tidak
memesankan kepada saya, doa, agar supaya Indonesia lekas
menjadi bangsa yang kuat." Pidato Bung Karno yang disambut
tepuk sorak ini disambung komentar berapi-api: "maka lahirlah
Swara Maharddhika . . . "
Kerja keras dan disiplin yang ditanamkan Guruh diperlihatkan.
Misalnya mengerjakan peralatan pentas, latihan seperti menyiksa,
juga urusan mencuci piring dan menyapu -- dengan kikuk.
Dalam sebuah pertemuan anggota, Guruh duduk di kursi, anak
buahnya bersila di lantai. Ada kesan keangkuhan Guruh
menonjolkan kefeodalannya, "tidak merakyat".
Namun Guruh (atau Ami Priyono) mmperhatikan kritik. Patriotisme
yang berlebihan di Senayan tidak terulang dalam film. Tokoh Anu
dan Polan, misalnya, dimunculkan sekilas saja, tanpa
berkata-kata. Lagu patriotik, Untukmu Indonesiaku yang
dinyanyikan gegap gempita, diselang-seling barisan tentara,
terjun payung, panser dan pesawat tempur terbaru yang diambil
pada HUT ABRI di Jagorawi. Semangat remaja di gedung dengan
semangat prajurit di terik matahari bagai manunggal. Begitu
pula lagu Melati Suci, dengan komposisi tari kipas yang banyak
dipuji itu, lebih mengharukan dalam film, lantaran adegan
tibanya jenasah ibu Fatmawati di Halim.
Bisa diduga, film pementasan Swara Maharddhika yang dibumbui
penjelasan Guruh tentang konsepsi keseniannya, akan laris di
daerah tempat Guruh mencari "modelnya". Maklum, berkali-kali
rencana membawa grup ini ke Semarang atau Yogya tak pernah
kesampaian. Di Yogya -- tempat GSNI (Gerakan Siswa Nasional
Indonesia) masih berjaya dan sering muncul dengan slogan yang
sama dengan Swara Maharddhika: menari, menyanyi, belajar,
berjuang dan bekerja -- film ini dapat keplokan tak
henti-henti. Juga orang tua yang "rindu" pada almarhum Presiden
Soekarno riuh bertepuk.
Gadis Penakluk, film remaja yang dinilai serius dan cukup bobot,
tak sampai seminggu bertahan di Yogya, tapi Untukmu
Indonesiaku bisa tahan dua minggu dengan 3 bioskop yang
masing-masing memutar 5 kali sehari termasuk pagi. Di Semarang
ia malah diputar di 6 bioskop, di antaranya 3 meneruskannya di
minggu kedua.
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini