HAMPIR semua rumah di dukuh itu, memajang teve. Malah ada lima
di antaranya teve berwarna. Juga sudah tak ada yang
berdinding gedek kebanyakan bertembok, beberapa di antaranya
gedongan atau bertingkat dengan arsitektur masa kini.
"Dikatakan kota, wujudnya desa, disebut desa tapi sudah seperti
kota," begitu gambaran dukuh tersebut seperti diungkapkan oleh
Hartohardiono, Lurah desanya. Dukuh itu bernama Batur, satu di
antara 3 dukuh di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ceper, Kabupaten
Klaten, Ja-Teng.
Letaknya sekitar 13 km dari kota Klaten, kira-kira 2 km sebelah
barat jalan raya Klaten-Sala. Jalan menuju ke sana sudah
beraspal, bisa dilewati sepeda hingga truk. Tanahnya subur,
penduduk umumnya mcmiliki sawah 6 sampai 8 patok.
"Tapi mereka boleh dikata tak pernah melihat sawahnya," tambah
pak lurah. Sebab, begitu biasanya, pemilik sawah lebih suka
menyerahkan penggarapannya kepada buruh tani. Dan jika musim
panen tiba, hasilnya dibagi. Penduduk memang punya pekerjaan
yang diangap lebih banyak menghasilkan uang.
Di sini hampir semua orang bekerja," kata Darmosoekamto, Ketua
RK 7 yang merangkap Kebayan Kelurahan Tegalrejo. "Anak-anak yang
tidak sekolah karena orangtuanya tak mampu, bisa mendapat
penghasilan baik di sini," tambahnya. Batur, sejak dulu, memang
dikenal sebagai tempat pengecoran logam.
Ki Ageng
Setiap hari, pagi hingga petang, bergema bunyi besi-besi tua
ditempa dentang berdentang. Penduduk aslinya sekitar 1.200 jiwa
(225 kk), tapi masih ada lagi sekitar 1.500 buruh pendatang.
Mereka berasal dari Madiun, Pacitan (Ja-Tim), Wonogiri
(Ja-Teng), Wonosari (Yogyakarta) dan desa sekitar Batur.
Kini tercatat 110 pengusaha, semuanya pribumi, 60 orang di
antaranya anggota Koperasi Batur Jaya. Industri rakyat im sudah
hidup di sana turun-temurun. Konon dirintis sejak abad XVIII di
zaman Kerajaan Mataram.
Alkisah, adalah empat bersaudara berasal dari Serang (Ja-Bar).
Seorang di antara mereka, Ki Ageng Serang Kusumo, membimbing
penduduk membuat alat pertanian, di antaranya pacul dan kejen
alias mata bajak. Berkat Ki Ageng itulah, penduduk Batur
turun-temurun menjadi pandai besi. Keahlian itu berkembang
menjadi induntri rumah, makin berkembang sejak zaman merdeka.
Untuk mengecor logam dulu orang menggunakan dapur yng disebut
besalen dengan bahan bakar arang kayu kosambi atau mlandingan.
Sekarang dapurnya disebut tungkih dengan tenaga asing.
Kapasitas produksinya 4-6 ton sehari. Hasilnya macam-macam.
Mulai dari onderdil mobii, alat pertanian, pompa air, kaki mesin
jahit, wajan sampai barang antik.
Menurut Agus Mulyanto, bagian pemasaran Koperasi Batur Jaya,
beberapa latihan pernah diselenggarakan. Misalnya oleh Kanwil
Departemen Perindustrian Ja-Teng. Juga latihan teknologi
pengecoran dan permesinan oleh Metal Industry Development Centre
(Bandung). Sedang Lembaga Pendidikan dan pembinaan Manajemen
(LPPM) Jakarta serta Lembaga Manajemen FE-UGM (Yogya) membina
manajemen.
Sekarang Koperasi Batur Jaya sedang menggarap pompa air pesanan
Departemen Kesehatan untuk Bali, Lombok dan Yogyakarta. Sedang
pesanan Departemen PU untuk Perumnas di Tangerang, Manado dan
Palu. Ada pula pesanan Departemen Nakertrans untuk beberapa
lokasi transmigrasi.
Masjid
Bahan bakunya, menurut Agus Mulyadi harus mendatangkan dari
Jepang dan Taiwan. Sedang besi tua dari dalam negeri, katanya,
mulai sulit. Tapi menurut Ibu Haji Djuwariyah, bahan baku itu
datang sendiri, "saya terima di sini" Sebulan ibu dari 9 anak
itu mengecor 30 ton besi tua.
Ia merupakan seorang di antara 10 pengusaha Batur yang sudah
biasa berdiri sendiri tanpa bantuan koperasi. Malah menantunya
juga merupakan pengusaha cor besi yang berhasil, dengan
bimbingan LPPM (lihat box).
Keberhasilan industri rakyat itu mendorong penduduk membangun
karnpung dengan swadaya. Sebuah masjid raya senilai Rp 100 juta
megah berdiri di tengah dukuh. Ada pula STK sampai SLA, juga
sebuah Madrasah Ibtidaiyah (SD). Ada pula banguran STM "Baru
Jaya" yang hampir selesai. Poliklinik desa juga baru saja
diresmikan.
Sebuah gedung serba guna segera didirikan, Koperasi Batur Jaya
juga tengah membangun gedung induk koperasi di atas tanah 4.500
meter persegi. Nilainya sekitar Rp 90 juta. Adapun listrik sudah
masuk ke dukuh itu sejak 196 langsung dari PLN. Dan
kelebihannyd dari dukuh lain: di sana sudah ada sentral
telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini