HARUM bunga kembang kenanga banyak disukai orang. Dan bunga ini
hampir tak mengenal musim, selalu berkembang. Bagi penduduk desa
Langon, Blitar Jawa,Timur dan desa-desa sekitarnya, kenanga
punya arti lain. Katakanlah sebagai sumber hidup pokok mereka.
Di desa-desa tersebut, hampir semua penduduk memiliki puluhan
pohon yang telah berumur ratusan tahun.
Di saat-saat musim kemarau, tatkala palawija tak dapat tumbuh
karena kekeringan, pohon berbunga semerbak itu, tetap menghijau
dan besar-besar. Bertebaran di sela-sela rumah rakyat atau
batu-batu gunung yang disebut gunung Pedot. Rata-rata 1 bulan
dengan setia setiap pohon mampu memunculkan 50 kg kembang.
Lagipula menanamnya tak perlu repot-repot. Cukup dengan
mencangkok atau menebarkan bijinya. Punya keistimewaan pula,
pohon ini kabarnya tak pernah diserang hama. Kecuali bila
terjadi hujan untuk pertama kali dan di malam hari, bunga-bunga
yang belum menguning akan berguguran. Lebih menggembirakan,
dalam setahun bisa panen besar sebanyak 4 kali. Pada waktu itu,
seperti juga hari-hari biasa sambil bersantai, gadis-gadis atau
para wanita dengan sebuah galah yang di ujungnya diberi pisau
kecil, ramai memetiki kembang-kembang yang sedang mekar. Ini
dilakukan pada pohon-pohon yang berketinggian 10-15 M. Yang
lebih tinggi dari itu, pemetikan dilakukan oleh laki-laki,
dengan memanjat dan menggunakan galah. Kembang kenanga tampaknya
juga tahan lama. Hingga setelah dipetik bukan saja tak cepat
rusak, harumnya terasa lebih semerbak.
Setiap hari dari desa Langon, diangkut puluhan kg ke seluruh
Jawa Timur. Bahkan juga sampai ke Bali. Cuma perkara harga yang
tak tentu. Ini tergantung bersamaan atau tidak penduduk desa
memetik kembang-kembang itu. Namun biasanya berkisar antara Rp
150-Rp 250 se kg. Mereka tak terganggu oleh para makelar. Karena
umumnya penduduk berfungsi rangkap, sebagai penanam dan
sekaligus sebagai pedagang yang langsung membawa hasil
petikannya ke kota-kota sekitar desa. Atau langsung membawanya
ke pabrik-pabrik minyak wangi yang banyak bermunculan di sekitar
desa-desa itu.
Keadaan ini menggugah para petani kembang kenanga itu berfikir
lebih jauh. Mencoba mengolah sendiri. Ternyata lumayan berhasil.
Mereka kini mengetahui bahwa untuk membikin minyak wangi,
kembang-kembang tersebut cukup cuma direbus. Tentu saja hasilnya
hanyalah minyak wangi yang sederhana. Namun benar-benar asli.
Dan harganya pun jadi mahal. Tapi para petani kembang kenanga
itu tak perlu khawatir bab pemasaran. Karena pesanan-pesanan
dari Singapura, Hongkong dan beberapa negara Eropa kabarnya
banyak berdatangan. Dengan memakai literan sebagai takaran atau
botol tertentu yang dijadikan standar, cairan yang semerbak itu
dijual dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 150.000. Keaslian minyak
bikinan rakyat itu dengan mudah diketahui, dengan menciumnya
atau meneteskannya di tangan.
Kegiatan yang menggembirakan itu ternyata tak selalu melegakan
semua fihak. Sebab para pedagang jadi risau juga melihat
perkembangan usaha rakyat ini. Mereka tak jemu-jemunya membujuk
para petani itu agar mempercayainya sebagai makelar atau
pengijon. Apalagi pohon-pohon itu kini bagaikan berfungsi
sebagai sawah. Bahkan lebih lagi. Karena selain dapat disewakan,
juga kabarnya bisa dijadikan jaminan mendapatkan kredit dan
lain-lainnya.
Suatu uluran tangan yang bermaksud membimbing ke arah
peningkatan tampaknya memang diperlukan. Hingga usaha rakyat
desa itu tak cuma berdasarkan tradisi. Atau dibiarkan karena
kebetulan alam menganugerahi desa Langon dan desa-desa
sekitarnya dengan pohon yang bisa hidup serasi dalam segala
cuaca. Atau pemerintah setempat tak cuma gesit mengutip pungutan
seperti yang selama ini berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini