TAHUN-TAHUN akhir ini, riset jadi sebuah kesibukan baru di
Indonesia. Semenjak patokan-patokan kwantitatip menjadi penting,
statistik mulai diutamakan, data dan angka dianggap hampir serba
benar, riset juga sekonyong-konyong tumbuh subur. Semenjak ilmu
dianggap tidak hanya berurusan dengan perluasan dan pengembangan
pengetahuan, dan aplikasinya dalam penentuan kebijaksanaan
pemerintah sudah tak mungkin diabaikan, riset akhirnya menjadi
urusan yang tak dapat tinggal diam. Pintu ilmu dibuka untuk
kepentingan servis, dan yang ikut masuk adalah manipulasi.
Pesan Sumitro, Menteri Riset pada 29 Juli 1976 di depan rektor
Universitas seluruh Indonesia di Jakarta, langsung atau tidak,
berbicara tentang manipulasi tersebut. Yakni bahwa hasil riset
jangan dipakai hanya untuk menyenangkan sang bapak. Tentu saja!
Dan dapat dimaklumi. Urusan senang menyenangkan tidak termasuk
ruang-lingkup kepentingan ilmu, dan untuk menyenangkan hati
seseorang, bukankah masih tersedia amat banyak cara lain?
Sumitro berbicara di tahun 1976 Di tahun 1938 seorang ahli
sosiologi Robert K. Merton telah menerbitkan buku yang termasyur
tentang etos ilmu pengetahuan. Bukunya itu diilhami oleh
pengamatannya tentang soal bagaimana nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat puritan di Inggeris abad 17, telah menjadi
iklim yang amat membantu perkembangan ilmu di negeri itu. Dan
sibuklah Merton dengan penyelidikannya yang kemudian memberi
bentuk tegas kepada sociology of science. Ketika terbit buku
Science, Technology and Society in Seventeenth-Century England,
maka persoalan tentang etos ilmu pengetahuan mendapat perumusan
yang sungguh-sungguh.
TANPA PAMRIH
Konon etos itu penting karena mempunyai kepentingan yang cukup,
bahkan amat fungsionil terhadap perkembangan ilmu itu sendiri.
Maka apakah komponen-komponennya kalau begitu? Merton menjawab
dengan menunjuk kepada empat macam nilai. Pertama adalah
universalisme, yakni kepercayaan bahwa fenomena alam-semesta
akan selalu sama di mana saja, dan bahwa benarnya pernyataan
tentang serba gejala itu tidak bergantung pada dan tidak
ditentukan oleh siapa yang mengucapkannya. Nilai kedua
dinamakannya komunalitas, yaitu prinsip bahwa pengetahuan harus
bebas dipergunakan oleh siapa saja yang mampu menggunakannya,
dan tidak menjadi monopoli kelompok yang satu atau yang lain.
Komponen ketiga adalah ketanpa pamrihan (disiteresteless),
yang memberi kewajiban kepada ahli ilmu untuk tidak menggunakan
pengetahuannya dan mengexploitir penemuan-penemuannya demi
kepentingan, keuntungan atau kehormatan pribadi. Unsur keempat
dengan nama skeptisisme teratur (orgarized skepticism) menunjuk
tanggungjawab ahli ilmu untuk berani menilai karya
rekan-rekannya yang lain dan kemudian mengumumkan penilaiannya.
Kalau Sumitro berbicara tentang penggunaan hasil-hasil riset
secara tepat maka nampaknya prinsip ketanpapamrihan itulah yang
hendak ditegaskannya kembali. Dan di sini persoalannya jadi
mendua. Ilmu yang tanpa pamrih sepertinya tidak halal menarik
manfaat dan memberi keuntungan. Tetapi kalau begitu, bagaimana
mungkin seorang ilmiahwan dapat menghabiskan masa-hidupnya dalam
karier sebagai ahli ilmu? Kalau ilmu tak boleh 'dimanfaatkan',
bagaimana mungkin dia dapat dijadikan suatu sarana pelayanan,
instansi bantuan dalam pengambilan keputusan, penentuan target,
pilihan sarana bagi pelaksanaan suatu program dari, sebutlah,
pemerintah misalnya?
KORUPSI
Tapi di sinilah letak persoalannya. Kita perlu menarik garis
perbedaan antara manfaat dan keuntungan, antara pragmatisme dan
utilitarianisme, antara sikap teknokrat dan sikap tukang cari
untung. Yang satu menunjuk kepada aplikasi ilmu pengetahuan,
yang lain kepada manipulasinya. Yang satu memperhatikan
kepentingan ilmu yang memang 'kebetulan' juga bisa mendatangkan
manfaat bagi bidang-bidang kehidupan lainnya. Sampai sedemikian
rupa sehingga dia misalnya lambat-laun makin diterima sebagai
salah satu unsur dalam produksi, di samping modal dan tenaga
kerja atau yang lain. Sementara itu, yang lain hanya
memperhatikan kepentingan diri dan bagaimana ilmu dimanfaatkan
untuk menunjang kepentingan itu.
Ilmu sebagai suatu yang murni dalam artian pure art tidak lagi
merupakan jenis satu-satunya yang ada sekarang. Bulan karena
sifatnya yang murni sudah terkelupas dari kodratnya, tetapi
karena hasil dan penemuannya hampir senantiasa membuktikan diri
sebagai dapat terpakai secara bermanfaat. Seperti juga dana,
fasilitas atau kesempatan, ilmu membuka dirinya bagi penggunaan.
Dan umum diketahui, bila pintu dibuka bagi kepentingan
penggunaan, maka yang ikut-masuk adalah penyalahunaan. Korupsi
dan pembocoran hampir menjadi ingredient dalam penggunaan dana
atau fasilitas serta kesempatan-kesempatan baik. Yang diharapkan
ialah bahwa unsur-unsur buruk itu tidak menyusup masuk juga ke
dalam kehidupan ilmu pengetahuan. Bukan hanya karena tuntutan
moral atau apa. Tetapi nampaknya, bila suatu unsur asing
menghalangi ilmu untuk bertumbuh menurut hukum dan kodratnya
yang tanpa pamrih, maka dengan itu dimulai juga keadaan tak
berdaya dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dia dikebiri menjadi
suatu yang aneh dan asing bagi dirinya dan mandul pada akhirnya.
Terang ini tidak hanya terbatas pada data-data ilmu eksak,
tetapi juga kepada data sejarah, yang bisa diputarbalikkan untuk
mempertahankan kepentingan fihak yang satu atau yang lain.
Penggunaan ilmu hanya berkembang bila dia masih tetap merupakan
penggunaan yang ilmiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini