JONI Samosir, 42 tahun, sehari-hari hidup sebagai petani di
Kampung Parsaoran Simangalam, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten
Labuhan Batu di bagian belakang daerah Sumatera Timur. Karena
hasil pertanian tak mencukupi, untuk menghidupi keluarganya,
lelaki setengah tua itu berusaha pula sebagai agen menjual padi.
Padi hasil kampung itu dijualnya ke lain daerah, tapi pekerjaan
ini hanya dilakukan Samosir ketika musim panen.
Pada masa panen awal tahun ini, persisnya 15 Pebruari 1976,
Samosir ada memiliki 22 goni beras atau lebih kurang 2 ton.
Beras ini berasal dari tiga orang petani sekampung: 13 goni dari
F. Siahagan, 5 dari Saut Aruan dan 4 dari Sihombing. Bahan
pangan itu belum dibayarnya tunai. Masih terhutang Rp 16 ribu
kepada Siahagan dan Rp 3 ribu pada Saut Aruan.
Mujur bagi Samosir. Hari itu juga datanglah calon pembeli, yang
kebetulan momang sudah pernah berurusan dengan Samosir. Seorang
bernama SP pemilik sebuah kilang padi di kampung Pon, Tebing
tinggi Deli (80 km di selatan Medan) dan temannya, JN. Kedua
pihak, singkat cerita, memperoleh kesepakatan bahwa beras milik
Samosir akan dibawa ke Tebingtinggi, dan pembayaran akan
dilakukan di kota Aek Kanopan, sebuah kota kecil sekitar 10 km
dari kampung mereka.
F & S
Dengan sebuah mobil prah, beras tadi diangkut ke Aek Kanopan
sekitar jam 00.00, dan besok subuhnya baru diangkut dengan bis
menuju ke Tebing. Dalam kendaraan itu, selain Samosir, turut
pula Siahagan beserta kedua calon pembeli tadi. Lebih kurang
pukul 4 dinihari mereka tiba di Aek Kanopan. Biasanya bis
terpagi berangkat pukul 5.30. Menunggu waktu itu Samosir dan
Siahagan pergi minum kopi ke sebuah lepau, sementara beras
tersebut dibiarkan saja menumpuk di pinggir jalan, ditunggui SP
dan JN.
Sekitar satu jam kemudian, Joni dan Siallagan kembali, tapi
mereka tak menemui beras mereka di tempat semula. Sibuklah
keduanya mencari barang tersebut di seputar kota kecil itu.
Namun sia-sia. Sampai jam 07.00 kedua orang ini masih terus
dalam kebingungan. Untunglah tiba-tiba muncul suatu pemikiran di
benak Samosir. Kali ini mereka merazia kedai-kedai beras di
pasar Aek Kanopan. Betul dugaan Samosir, di kedai beras milik
Dj. Siagian terlihat tumpukan beras dalam goni. Goni beras itu
mereka periksa, dan segera F. Siallagan megenalinya karena goni
itu sebahagian bermerek F dan sebahagian lagi bermerek S. Memang
mereka memberikan tanda F untuk singkatan nama F. Siallagan dan
tanda S untuk singkatan nama Sihombing. Hal itu semula dimaksud
untuk menjaga agar goni mereka jangan saling tertukar.
Dj.Siagian, pemilik kios beras bersikeras, bahwa semua beras
yang berjumlah 22 goni itu tadi pagi dibelinya dari dua orang
lelaki seharga Rp 315 ribu, jadi dia tidak mengetahui kalau
beras itu milik Samosir. Begitupun dia bersedia mengembalikan
itu beras bila Samosir mengembalikan uangnya sejumlah harga
pembelian tersebut. Perang mulut terjadi, tapi tetap tak
diperoeh persesuaian sehingga pagi hari itu Samosir memburu
kantor polisi Komdis 2073, Aek Kanopan, membuat pengaduan
tentang berasnya yang hilang itu.
Kopral Satu A. Nasution yang menerima pengaduan Samosir -- dan
kemudian setelah melapor kepada atasannya -- bersama dengan dua
anggota polisi lain segera berangkat ke kios Dj. Siagian.
Samosir sebagai penunjuk jalan. Beras itu segera disegel polisi.
Masih sempat didengar Samosir ucapan Koptu Nasution kepada
Siagian: "Saudara penadah barang hasil kejahatan, beras ini tak
boleh saudara jual atau geser dari sini karena sudah kami lak.
Tunggu saja panggilan ya . . ." Siagian hanya mengangguk saja
dengan wajah pucat lesi.
Hari itu juga Samosir dan temannya F. Siallagan diperiksa di
kantor polisi sebagai saksi. Mereka menjelaskan kisah itu dari
awal tanpa ada yang tertinggal. "Bagaimana soal beras saya?"
tanya Samosir pada A. Nasution. "Itu nanti akan dikembalikan,
menunggu keputusan komandan", demikian jawaban Nasution seperti
diceritakan Samosir pada TEMPO .
Tolonglah Saudara
Tunggu punya tunggu, seminggu sudah. Namun beras tersebut tak
kunjung dikembalikan polisi seperti janji Koptu Nasution, bahkan
panggilan pun tak ada datang dari polisi. Akhirnya karena tak
sabar lagi Samosir menyusul ke kantor polisi, kembali menemui
Nasution. Dia mendapat jawaban bahwa soalnya belum selesai dan
masih di tangan Komandan Distrik. Besoknya jawaban masih serupa.
Demikianlah setiap harinya sampai seminggu Samosir berulang ke
kantor polisi, Jawaban terakhir diterimanya tari Kepala Seksi
Reserse Komdis 2073 Aek Kanopan Lettu N Sipayung: "Beras saudara
baru bisa pulang kalau pencurinya sudah tertangkap". Karena itu
"tolonglah saudara cari di mana pencurinya itu" ujar N. Sipayung
kepada Samosir. Mernang ia heran mendengar ucapan-perwira polisi
ini. "Masak saya yang harus mencari pencuri, bukan polisi",
pikirnya dalam hati. Tapi karena hendak cepat berasnya kembali,
saran letnan polisi ini diturutinya. Diapun berangkat ke kampung
Pon Tebingtinggi mencari SP. Dua hari di sana namun orang yang
dicari tak kunjung dapat.
Sekembali dari sana Samosir memperoleh informasi bahwa orang
buruan polisi itu berada di Tanjung Leidong (Kabupaten Labuhan
Batu). Berangkatlah Samosir ke sana dengan motor boat, ditemani
seorang anggota polisi, Sersan Satu Napitupulu yang
diperintahkan Komandan Distrik Aek Kanopan, Kapten Abdullah
Siregar. Seluruh biaya perongkosan, termasuk uang makan dan
rokok polisi ditanggung Samosir.
Pakai Ini
Dua hari pula di sana. Si buruan tak tersua juga. Merekapun
pulang kembali karena didesak si polisi. Setelah itu Samosir
mulai berputus asa akan bisa menemukan kembali orang yang
diperkirakan melego berasnya, apalagi biaya yang dikeluarkannya
untuk pencaharian itu sudah cukup besar. Akhirnya dia jadi
pasrah saja pada nasib, apalagi setelah melihat ada ketidak
beresan dalam kasus berasnya ini.
Begini. Suatu hari -- masih di bulan Pebruari -- datang pada
Samosir Kepala Kampungnya yang bernama R. Sitorus. "Buat apa
susah-susah pak Samosir", kata Kepala Kampung yang mengaku
mendapat mandat dari Lettu N. Sipayung untuk menyelesaikan kasus
itu. "Beras pak Samosir itu bisa kembali tapi dengan
perdamaian", ucapnya setelah bercerita panjang lebar. "Bagaimana
damainya", tanya Samosir serius. "Kalau Pak Samosir mau, beras
itu dikembalikan polisi tapi jumlahnya hanya separoh yaitu 11
goni", kata si Kepala Kampung sambil menjelaskan yang separoh
lagi untuk ongkos ongkos urusan pada polisi. "Sekarang mana ada
urusan yang tak pakai ini", ujar Kepala Kampung itu lagi sambil
menggosokkan ibu jarinya dengan telunjuk. Perdamaian tak jadi
karena Samosir keberatan berasnya dikurangi separoh. "Terserah
pak Samosir lah", tukas Sitorus yang nampak kecewa.
Pada 22 Pebruari, datang pula dua orang Hansip memanggil Joni
Samosir menghadap ke kantor Kepala Kampung. Samosir segera
bergegas karena Hansip itu mengatakan panggilan ini urusan
berasnya. Di kantor dia bertemu Kepala Kampung R. Sitorus
beserta seorang berpakaian seragam Jaksa yang mengaku jaksa dari
Kejaksaan Negeri Rantau Perapat.
Meja Berdentam
Jaksa yang kemudian diketahuinya bermarga Damanik ini bersama
Kepala Kampung memaksanya agar menandatangani sepucuk surat di
atas kertas segel yang sudah diketik. Ketika dibacakan oleh
Kepala Kampung, isinya berupa penyerahan sawah miliknya seluas
12 rante di kampung itu kepada F. Siallagan sebagai pembayar
hutang berasnya. Seperti dijelaskan pada awal laporan ini, uang
kekurangan pembayarannya kepada Siallagan tak sempat dibayar
karena keburu berasnya dilarikan orang.
Samosir tak mau menandatangani surat tersebut, dengan alasan
beras itu sekarang berada di tangan polisi dan belum
dikembalikan. Akan tetapi si oknum Jaksa dan Kepala Kampung jadi
berang, meja berdentam-dentam ditumbuk mereka. Samosir diancam
akan dimasukkan penjara, bila ia masih membangkang. Akhirnya
tandatangan terpaksa diturunkannya di kertas segel itu, yang
sekaligus berarti sawah untuk pemberi makan anak bininya ludes
sudah.
Keesokan harinya, Samosir yang jadi panik itu, segera buat
pengaduan pada Camat Kecamatan Kualuh Hulu, Nurdin Latif BA
tentang perlakuan Kepala Kampung itu terhadapnya. Namun di
kantor Camat pun dia tak mendapat layanan semestinya, sehingga
Samosir tambah panik. Pulang dari sana semangat Samosir jadi
putus. Dia bermaksud bunuh diri saja dengan cara meminum endrin
(racun tikus). Begitu Samosir mulai menggelepar, kejadian ini
ketahuan isterinya, yang segera menjerit. Samosir dibawa ke
rumahsakit. Syukur nyawanya masih tertolong. "Saya sudan silap
pada waktu itu. Beras saya hilang dan sawah tergadai pula.
Bagaimana saya mengasih makan anak dan bini saya", keluh Samosir
pada penulis yang menemuinya pada 3 Agustus yang lalu. "Ke mana
pun saya mengadu tak ada hasilnya", sambung Samosir lagi dengan
nada putus asa. Kepada Komandan Resort Kepolisian 207 Labuhan
Batu sudah dicoba Samosir juga membuat laporan melalui seorang
familinya, namun hasilnya tak kunjung ada.
Ke mana sebenarnya beras Samosir? "Yang jelas saya ketahui di
tangan polisi", ujar Samosir tegas. Lettu N. Sipayung, Kepala
Reskrim Kepolisian Distrik Aek Kanopan menyatakan bahwa beras
itu telah mereka serahkan kepada Dj. Siagian. Karena kalau
lama-lama dilak beras itu akan jadi busuk' Soal beras yang
bakalan busuk itu ada benarnya, tapi mengapa beras itu jatuh ke
tangan Dj. Siagian yang seperti diakui oleh Sipayung, jelas
sebagai penadah?
Yang lebih aneh lagi, dengan alasan pencurinya tidak tertangkap,
maka tak pernah perkara Siagian diteruskan kepengadilan, bahkan
sampai ke kejaksaan pun tidak, seperti diakui Komandan Distrik
Polri Komdis 2073 Aek Kanopan, Kapten Abdullah Siregar kepada
TEM PO, 4 Agustus yang lalu. "Habis pencurinya belum
tertangkap", ujar kapten polisi itu. Disambung pula oleh Lettu
N. Sipayung bahwa mereka tidak kenal dengan tersangka pencuri
beras yang bernama SP dan JN itu. "Kami tak pernah jumpa dengan
orang itu, jadi tak kenal rupanya. Sedangkan si Samosir yang
kenal pada orangnya itu tak mau mencarinya", Sipayung mengeluh
dan seakan tidak mau mengerti bagaimana Samosir boleh menangkap
pencuri karena dia bukan polisi. Kemudian seakan curiga Sipayung
berkata pula: "Jangan-jangan si Samosir itu berkomplot dengan
itu pencuri, kalau tidak mengapa dia tak tahu di mana itu orang
berada?"
Benarkah sinyalemen letnan polisi itu? "Kalau saya sekongkol
(maksudnya kerjasama) dengan pencuri itu mengapa saya tidak
diperiksa dan dihadapkan saja ke pengadilan agar soalnya cepat
selesai", tangkis Samosir mendengar tuduhan polisi itu.
"Ternyata saya hanya diperiksa selaku saksi saja, kemudian tak
pernah dipanggil lagi", sambungnya. "Soalnya mereka sudah ada
main", Samosir membalas menuduh.
Kalau Dia Mati
Ada main atau tidak memang nyatanya banyak keanehan dalam soal
ini. Komandan Resort 207 Labuhan Batu Letkol B. Siahaan ternyata
belum menerima laporan dari polisi Aek Kanopan tentang kasus
itu. Dia terkejut ketika menerima pertanyaan TEMPO 5 Agustus
yang lalu di kantornya. Tapi ia berjanji akan menyelesaikan
kemelut itu sesuai dengan hukum yang berlaku. "Siapa yang salah
dalam soal ini akan saya tindak, walaupun dia anak buah saya
sendiri", janji Danres.
Sedangkan Camat Nurdin Latif, ditanya tentang Kepala Kampung
yang main ancam terhadap Samosir, mengatakan: "Sebagai Kepala
Kampung, dia harus melindungi rakyatnya, tapi ini kok malah
menakut-nakuti pula", ujar Nurdin Latif BA. "Saya akan mengambil
tindakan terhadapnya", sebut Camat serius sambil menyatakan pula
bahwa percobaan bunuh diri Samosir itu juga didengarnya dari
laporan bawahannya. "Kalau sampai dia mati waktu itu kan
soalnya jadi heboh", katanya.
Yang agaknya masih perlu juga didengar dalam soal ini ialah
keterangan Siagian. "Kalau ada uang RP 315 ribu, beras si
Samosir saya kembalikan kepadanya. Biarlah saya sudah keluar
uang banyak dalam mengurus soal ini", tuturnya pada TEMPO.
Kepada siapa uangnya yang banyak keluar itu tak diperjelasnya
pada penulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini