Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kemana Beras Samosir ?

Beras yang ditumpuk di pinggir jalan, hilang, ketika samosir sedang makan di kedai di kota aek kanopan, sumatera utara. polisi tak mau turun tangan sebelum samosir sendiri yang menangkap pencurinya.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JONI Samosir, 42 tahun, sehari-hari hidup sebagai petani di Kampung Parsaoran Simangalam, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu di bagian belakang daerah Sumatera Timur. Karena hasil pertanian tak mencukupi, untuk menghidupi keluarganya, lelaki setengah tua itu berusaha pula sebagai agen menjual padi. Padi hasil kampung itu dijualnya ke lain daerah, tapi pekerjaan ini hanya dilakukan Samosir ketika musim panen. Pada masa panen awal tahun ini, persisnya 15 Pebruari 1976, Samosir ada memiliki 22 goni beras atau lebih kurang 2 ton. Beras ini berasal dari tiga orang petani sekampung: 13 goni dari F. Siahagan, 5 dari Saut Aruan dan 4 dari Sihombing. Bahan pangan itu belum dibayarnya tunai. Masih terhutang Rp 16 ribu kepada Siahagan dan Rp 3 ribu pada Saut Aruan. Mujur bagi Samosir. Hari itu juga datanglah calon pembeli, yang kebetulan momang sudah pernah berurusan dengan Samosir. Seorang bernama SP pemilik sebuah kilang padi di kampung Pon, Tebing tinggi Deli (80 km di selatan Medan) dan temannya, JN. Kedua pihak, singkat cerita, memperoleh kesepakatan bahwa beras milik Samosir akan dibawa ke Tebingtinggi, dan pembayaran akan dilakukan di kota Aek Kanopan, sebuah kota kecil sekitar 10 km dari kampung mereka. F & S Dengan sebuah mobil prah, beras tadi diangkut ke Aek Kanopan sekitar jam 00.00, dan besok subuhnya baru diangkut dengan bis menuju ke Tebing. Dalam kendaraan itu, selain Samosir, turut pula Siahagan beserta kedua calon pembeli tadi. Lebih kurang pukul 4 dinihari mereka tiba di Aek Kanopan. Biasanya bis terpagi berangkat pukul 5.30. Menunggu waktu itu Samosir dan Siahagan pergi minum kopi ke sebuah lepau, sementara beras tersebut dibiarkan saja menumpuk di pinggir jalan, ditunggui SP dan JN. Sekitar satu jam kemudian, Joni dan Siallagan kembali, tapi mereka tak menemui beras mereka di tempat semula. Sibuklah keduanya mencari barang tersebut di seputar kota kecil itu. Namun sia-sia. Sampai jam 07.00 kedua orang ini masih terus dalam kebingungan. Untunglah tiba-tiba muncul suatu pemikiran di benak Samosir. Kali ini mereka merazia kedai-kedai beras di pasar Aek Kanopan. Betul dugaan Samosir, di kedai beras milik Dj. Siagian terlihat tumpukan beras dalam goni. Goni beras itu mereka periksa, dan segera F. Siallagan megenalinya karena goni itu sebahagian bermerek F dan sebahagian lagi bermerek S. Memang mereka memberikan tanda F untuk singkatan nama F. Siallagan dan tanda S untuk singkatan nama Sihombing. Hal itu semula dimaksud untuk menjaga agar goni mereka jangan saling tertukar. Dj.Siagian, pemilik kios beras bersikeras, bahwa semua beras yang berjumlah 22 goni itu tadi pagi dibelinya dari dua orang lelaki seharga Rp 315 ribu, jadi dia tidak mengetahui kalau beras itu milik Samosir. Begitupun dia bersedia mengembalikan itu beras bila Samosir mengembalikan uangnya sejumlah harga pembelian tersebut. Perang mulut terjadi, tapi tetap tak diperoeh persesuaian sehingga pagi hari itu Samosir memburu kantor polisi Komdis 2073, Aek Kanopan, membuat pengaduan tentang berasnya yang hilang itu. Kopral Satu A. Nasution yang menerima pengaduan Samosir -- dan kemudian setelah melapor kepada atasannya -- bersama dengan dua anggota polisi lain segera berangkat ke kios Dj. Siagian. Samosir sebagai penunjuk jalan. Beras itu segera disegel polisi. Masih sempat didengar Samosir ucapan Koptu Nasution kepada Siagian: "Saudara penadah barang hasil kejahatan, beras ini tak boleh saudara jual atau geser dari sini karena sudah kami lak. Tunggu saja panggilan ya . . ." Siagian hanya mengangguk saja dengan wajah pucat lesi. Hari itu juga Samosir dan temannya F. Siallagan diperiksa di kantor polisi sebagai saksi. Mereka menjelaskan kisah itu dari awal tanpa ada yang tertinggal. "Bagaimana soal beras saya?" tanya Samosir pada A. Nasution. "Itu nanti akan dikembalikan, menunggu keputusan komandan", demikian jawaban Nasution seperti diceritakan Samosir pada TEMPO . Tolonglah Saudara Tunggu punya tunggu, seminggu sudah. Namun beras tersebut tak kunjung dikembalikan polisi seperti janji Koptu Nasution, bahkan panggilan pun tak ada datang dari polisi. Akhirnya karena tak sabar lagi Samosir menyusul ke kantor polisi, kembali menemui Nasution. Dia mendapat jawaban bahwa soalnya belum selesai dan masih di tangan Komandan Distrik. Besoknya jawaban masih serupa. Demikianlah setiap harinya sampai seminggu Samosir berulang ke kantor polisi, Jawaban terakhir diterimanya tari Kepala Seksi Reserse Komdis 2073 Aek Kanopan Lettu N Sipayung: "Beras saudara baru bisa pulang kalau pencurinya sudah tertangkap". Karena itu "tolonglah saudara cari di mana pencurinya itu" ujar N. Sipayung kepada Samosir. Mernang ia heran mendengar ucapan-perwira polisi ini. "Masak saya yang harus mencari pencuri, bukan polisi", pikirnya dalam hati. Tapi karena hendak cepat berasnya kembali, saran letnan polisi ini diturutinya. Diapun berangkat ke kampung Pon Tebingtinggi mencari SP. Dua hari di sana namun orang yang dicari tak kunjung dapat. Sekembali dari sana Samosir memperoleh informasi bahwa orang buruan polisi itu berada di Tanjung Leidong (Kabupaten Labuhan Batu). Berangkatlah Samosir ke sana dengan motor boat, ditemani seorang anggota polisi, Sersan Satu Napitupulu yang diperintahkan Komandan Distrik Aek Kanopan, Kapten Abdullah Siregar. Seluruh biaya perongkosan, termasuk uang makan dan rokok polisi ditanggung Samosir. Pakai Ini Dua hari pula di sana. Si buruan tak tersua juga. Merekapun pulang kembali karena didesak si polisi. Setelah itu Samosir mulai berputus asa akan bisa menemukan kembali orang yang diperkirakan melego berasnya, apalagi biaya yang dikeluarkannya untuk pencaharian itu sudah cukup besar. Akhirnya dia jadi pasrah saja pada nasib, apalagi setelah melihat ada ketidak beresan dalam kasus berasnya ini. Begini. Suatu hari -- masih di bulan Pebruari -- datang pada Samosir Kepala Kampungnya yang bernama R. Sitorus. "Buat apa susah-susah pak Samosir", kata Kepala Kampung yang mengaku mendapat mandat dari Lettu N. Sipayung untuk menyelesaikan kasus itu. "Beras pak Samosir itu bisa kembali tapi dengan perdamaian", ucapnya setelah bercerita panjang lebar. "Bagaimana damainya", tanya Samosir serius. "Kalau Pak Samosir mau, beras itu dikembalikan polisi tapi jumlahnya hanya separoh yaitu 11 goni", kata si Kepala Kampung sambil menjelaskan yang separoh lagi untuk ongkos ongkos urusan pada polisi. "Sekarang mana ada urusan yang tak pakai ini", ujar Kepala Kampung itu lagi sambil menggosokkan ibu jarinya dengan telunjuk. Perdamaian tak jadi karena Samosir keberatan berasnya dikurangi separoh. "Terserah pak Samosir lah", tukas Sitorus yang nampak kecewa. Pada 22 Pebruari, datang pula dua orang Hansip memanggil Joni Samosir menghadap ke kantor Kepala Kampung. Samosir segera bergegas karena Hansip itu mengatakan panggilan ini urusan berasnya. Di kantor dia bertemu Kepala Kampung R. Sitorus beserta seorang berpakaian seragam Jaksa yang mengaku jaksa dari Kejaksaan Negeri Rantau Perapat. Meja Berdentam Jaksa yang kemudian diketahuinya bermarga Damanik ini bersama Kepala Kampung memaksanya agar menandatangani sepucuk surat di atas kertas segel yang sudah diketik. Ketika dibacakan oleh Kepala Kampung, isinya berupa penyerahan sawah miliknya seluas 12 rante di kampung itu kepada F. Siallagan sebagai pembayar hutang berasnya. Seperti dijelaskan pada awal laporan ini, uang kekurangan pembayarannya kepada Siallagan tak sempat dibayar karena keburu berasnya dilarikan orang. Samosir tak mau menandatangani surat tersebut, dengan alasan beras itu sekarang berada di tangan polisi dan belum dikembalikan. Akan tetapi si oknum Jaksa dan Kepala Kampung jadi berang, meja berdentam-dentam ditumbuk mereka. Samosir diancam akan dimasukkan penjara, bila ia masih membangkang. Akhirnya tandatangan terpaksa diturunkannya di kertas segel itu, yang sekaligus berarti sawah untuk pemberi makan anak bininya ludes sudah. Keesokan harinya, Samosir yang jadi panik itu, segera buat pengaduan pada Camat Kecamatan Kualuh Hulu, Nurdin Latif BA tentang perlakuan Kepala Kampung itu terhadapnya. Namun di kantor Camat pun dia tak mendapat layanan semestinya, sehingga Samosir tambah panik. Pulang dari sana semangat Samosir jadi putus. Dia bermaksud bunuh diri saja dengan cara meminum endrin (racun tikus). Begitu Samosir mulai menggelepar, kejadian ini ketahuan isterinya, yang segera menjerit. Samosir dibawa ke rumahsakit. Syukur nyawanya masih tertolong. "Saya sudan silap pada waktu itu. Beras saya hilang dan sawah tergadai pula. Bagaimana saya mengasih makan anak dan bini saya", keluh Samosir pada penulis yang menemuinya pada 3 Agustus yang lalu. "Ke mana pun saya mengadu tak ada hasilnya", sambung Samosir lagi dengan nada putus asa. Kepada Komandan Resort Kepolisian 207 Labuhan Batu sudah dicoba Samosir juga membuat laporan melalui seorang familinya, namun hasilnya tak kunjung ada. Ke mana sebenarnya beras Samosir? "Yang jelas saya ketahui di tangan polisi", ujar Samosir tegas. Lettu N. Sipayung, Kepala Reskrim Kepolisian Distrik Aek Kanopan menyatakan bahwa beras itu telah mereka serahkan kepada Dj. Siagian. Karena kalau lama-lama dilak beras itu akan jadi busuk' Soal beras yang bakalan busuk itu ada benarnya, tapi mengapa beras itu jatuh ke tangan Dj. Siagian yang seperti diakui oleh Sipayung, jelas sebagai penadah? Yang lebih aneh lagi, dengan alasan pencurinya tidak tertangkap, maka tak pernah perkara Siagian diteruskan kepengadilan, bahkan sampai ke kejaksaan pun tidak, seperti diakui Komandan Distrik Polri Komdis 2073 Aek Kanopan, Kapten Abdullah Siregar kepada TEM PO, 4 Agustus yang lalu. "Habis pencurinya belum tertangkap", ujar kapten polisi itu. Disambung pula oleh Lettu N. Sipayung bahwa mereka tidak kenal dengan tersangka pencuri beras yang bernama SP dan JN itu. "Kami tak pernah jumpa dengan orang itu, jadi tak kenal rupanya. Sedangkan si Samosir yang kenal pada orangnya itu tak mau mencarinya", Sipayung mengeluh dan seakan tidak mau mengerti bagaimana Samosir boleh menangkap pencuri karena dia bukan polisi. Kemudian seakan curiga Sipayung berkata pula: "Jangan-jangan si Samosir itu berkomplot dengan itu pencuri, kalau tidak mengapa dia tak tahu di mana itu orang berada?" Benarkah sinyalemen letnan polisi itu? "Kalau saya sekongkol (maksudnya kerjasama) dengan pencuri itu mengapa saya tidak diperiksa dan dihadapkan saja ke pengadilan agar soalnya cepat selesai", tangkis Samosir mendengar tuduhan polisi itu. "Ternyata saya hanya diperiksa selaku saksi saja, kemudian tak pernah dipanggil lagi", sambungnya. "Soalnya mereka sudah ada main", Samosir membalas menuduh. Kalau Dia Mati Ada main atau tidak memang nyatanya banyak keanehan dalam soal ini. Komandan Resort 207 Labuhan Batu Letkol B. Siahaan ternyata belum menerima laporan dari polisi Aek Kanopan tentang kasus itu. Dia terkejut ketika menerima pertanyaan TEMPO 5 Agustus yang lalu di kantornya. Tapi ia berjanji akan menyelesaikan kemelut itu sesuai dengan hukum yang berlaku. "Siapa yang salah dalam soal ini akan saya tindak, walaupun dia anak buah saya sendiri", janji Danres. Sedangkan Camat Nurdin Latif, ditanya tentang Kepala Kampung yang main ancam terhadap Samosir, mengatakan: "Sebagai Kepala Kampung, dia harus melindungi rakyatnya, tapi ini kok malah menakut-nakuti pula", ujar Nurdin Latif BA. "Saya akan mengambil tindakan terhadapnya", sebut Camat serius sambil menyatakan pula bahwa percobaan bunuh diri Samosir itu juga didengarnya dari laporan bawahannya. "Kalau sampai dia mati waktu itu kan soalnya jadi heboh", katanya. Yang agaknya masih perlu juga didengar dalam soal ini ialah keterangan Siagian. "Kalau ada uang RP 315 ribu, beras si Samosir saya kembalikan kepadanya. Biarlah saya sudah keluar uang banyak dalam mengurus soal ini", tuturnya pada TEMPO. Kepada siapa uangnya yang banyak keluar itu tak diperjelasnya pada penulis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus