Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari 8.000 orang mengungsi dari Wamena ke Jayapura. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, pendekatan pemerintah lewat pembangunan infrastruktur dan ekonomi dalam menangani berbagai isu di Papua masih tak tepat. “Untuk Papua yang masih tradisional, mesti pendekatan budaya,” katanya, Selasa, 1 Oktober lalu.
Tiga dekade lalu, suasana di Wamena tak seseram sekarang. Semua orang hidup tenteram. Artikel Tempo edisi 14 Juni 1980 berjudul “Sore Hari di Wamena” merekam keseharian orang-orang asyik menonton berbagai siaran di televisi sejak Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal M. Jusuf meresmikan stasiun relay di sana.
Menjelang malam, pasar di Kota Wamena penuh orang berkerumun—lebih ramai dari jam-jam orang berbelanja. Kebanyakan dari mereka anak-anak. Beberapa yang dewasa masih berkoteka—atau -mengenakan more (rok dari umbai-umbai) bagi wanita.
Sebuah pesawat televisi 20 inci telah dipasang di sana oleh Kantor Wilayah -Departemen Penerangan Jayawijaya. Tanpa mempedulikan angin malam yang menusuk dari Pegunungan Jayawijaya yang bersalju abadi, mereka asyik menikmati- acara demi acara, sampai larut malam. Andreas, Opaselek, dan Helalege dari Desa Pikhe selama dua jam berjalan kaki menuju pasar Wamena. Bahkan Theo dari Desa Aikima harus berjalan selama empat jam. Semua hanya untuk menonton siaran -televisi.
Kabar adanya pesawat televisi di Wamena segera tersebar dari mulut ke mulut, meluas di 12 kecamatan dalam wilayah Kabupaten Jayawijaya. Ini segera mengundang penduduk di desa-desa sekitar Wamena berdatangan hanya untuk menyaksikan “kotak ajaib” itu. “Utusan para camat sudah berdatangan minta di kantor -kecamatan mereka segera dipasang televisi umum,” kata Endang Djumhana, Kepala Kanwil Deppen Jayawijaya.
Dibangun di atas tanah 2.500 meter persegi dengan biaya Rp 67 juta lebih, stasiun ini berantena setinggi 35 meter. Memang belum semua kecamatan di Jayawijaya bisa dijangkau stasiun yang terletak di jantung Irian Jaya itu. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, pesawat televisi yang akan dibagikan ke kecamatan-kecamatan belum tiba,” ujar Djumhana.
Dalam tahun anggaran 1980-1981 direncanakan 16 televisi dikirim ke sana, lengkap dengan generatornya. Pemakaian generator memang lebih praktis dibanding aki. Selain harganya sangat mahal, sulit menyetrum aki kalau sudah lemah. Tapi siapa yang kelak menanggung biaya bensin generator yang di sana mencapai Rp 700 per liter?
Karena tak ada anggaran khusus, Djumhana berharap para camat bersedia membantu membeli bahan bakar itu. Sedangkan pemeliharaan televisi dan generatornya menjadi tanggung jawab para juru penerang. “Kini sudah siap sembilan juru penerang. Tinggal tunggu latihan sedikit tentang pemeliharaan pesawat teve dan generator,” Djumhana menambahkan.
Di Wamena sendiri baru sebagian penduduk yang memakai listrik dari pembangkit tenaga air berkekuatan 150 kilovolt ampere di Sungai Wamena. Kini, tak kurang dari 200 pelanggan listrik dapat dilayani selama 24 jam.
Sementara di kalangan penduduk asli mulai berjangkit demam menonton televisi, di kalangan pegawai negeri terjadi perlombaan memilikinya. Dengan cara mencicil, “Sekarang sudah banyak pegawai pemerintah daerah memiliki pesawat televisi,” tutur John Alilyama, juru bicara Pemerintah Kabupaten Jayawijaya di Wamena. “Setelah ada televisi, para petugas kita di daerah terpencil jadi lebih betah dan dapat mengikuti perkembangan. Juga ada hiburannya,” kata Dorus Rumbiak, Sekretaris Wilayah Daerah Jayawijaya.
Di kalangan penduduk asli di pedalaman memang belum terdengar ada yang sudah memiliki pesawat televisi. Dan, agaknya, untuk beberapa tahun mendatang pun belum mungkin dijumpai pesawat televisi masuk honai. Kecuali honai yang meng-hiasi Hotel Baliem, yang dibangun Pertamina.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 14 Juni 1980. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://majalah.tempo.co/edisi/1809/1980-06-14
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo