Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berdirilah Bersama Rakyat, Jokowi

Demonstrasi mahasiswa selama dua pekan terakhir boleh jadi sudah surut.

5 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Berdirilah Bersama Rakyat, Jokowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun Presiden Joko Widodo semestinya tidak menjadikannya sebagai indikasi bahwa “situasi telah baik-baik saja”. Harap diingat, kecuali berdialog sana-sini, ia sama sekali belum berbuat apa pun dalam menanggapi protes terpenting publik atas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Yang tampak justru Jokowi seperti setuju dengan—bahkan menjadi bagian dari—kelompok yang hendak melemahkan komisi antikorupsi. Dalam pernyataan publik yang disampaikannya setelah menemui 41 tokoh pro-penguatan KPK, ia mengatakan akan melakukan kalkulasi (politik) sebelum menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)—produk hukum yang bisa menyelamatkan KPK. Padahal pilihannya sudah sangat jelas: ia bisa memilih berdiri bersama publik atau partai politik. Jokowi tak punya banyak waktu untuk mengambil keputusan. Sebab, pertaruhannya sangat besar: nasib Komisi Pemberantasan Korupsi kini dipertaruhkan.

KPK berada di ujung tanduk. Akal-akalan di hari-hari terakhir Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 membuat komisi itu tak lagi memiliki kekuatan besar untuk menghadapi koruptor. Patut disayangkan, Jokowi menyetujui langkah DPR itu dengan mengirimkan wakil dalam sidang pembahasan revisi undang-undang.

Dalam pembahasan itu, Dewan dan pemerintah telah melegalkan campur tangan mereka dalam proses proyustisia melalui dewan pengawas. Keduanya juga mengubah status penyidik menjadi aparatur sipil negara—posisi yang membuat mereka tak lagi independen.

Walhasil, setelah undang-undang baru berlaku, komisi antikorupsi hanya akan menjadi institusi biasa yang kehilangan taring. Dunia internasional, terutama penanda tangan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Memerangi Korupsi, ikut menyoroti pelemahan KPK ini.

Protes atas persekongkolan DPR dan pemerintah dalam melemahkan KPK itu menjadi pemicu demonstrasi besar di berbagai kota. Apalagi Istana dan Senayan sebelumnya juga mengabaikan keberatan publik dalam seleksi calon pemimpin KPK. Inspektur Jenderal Firli Bahuri, perwira tinggi kepolisian yang menurut berbagai lembaga antikorupsi memiliki catatan buruk, dipilih menjadi ketua. Kini, untuk pertama kalinya sejak lembaga itu berdiri pada 2003, KPK dipimpin jenderal polisi aktif.

Revisi undang-undang yang juga berisi pasal kontroversial, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, membangkitkan protes mahasiswa. Presiden memang telah menunda pengesahan rancangan undang-undang ini. Tapi, pada saat yang sama, pemerintah menggunakan berbagai cara untuk menggembosi gerakan mahasiswa terbesar sejak 1998 itu. Pendekatan ekstrarepresif juga diambil kepolisian untuk memberangus unjuk rasa yang dijamin konstitusi itu. Dua mahasiswa Universitas Haluoleo, Kendari, gugur sebagai korban.

Presiden Jokowi semestinya menjadikan tragedi ini sebagai situasi darurat untuk segera menerbitkan perpu KPK. Ia perlu mengembalikan ketentuan undang-undang lama. Perubahan untuk “menyesuaikan perkembangan zaman”—seperti klaim DPR dan pemerintah—tak boleh dilakukan dengan diam-diam. Pembahasan revisi harus dilakukan dengan mengikuti tata cara penyusunan undang-undang: melalui kajian akademis dan melibatkan banyak pihak, termasuk publik.

Jokowi perlu diingatkan bahwa hukum yang tertera dalam undang-undang hasil revisi tidak mencerminkan semangat memerangi korupsi. Penggarongan uang negara tak kunjung berhenti bahkan ketika undang-undang lama yang kuat masih berlaku. Sebagian pelaku korupsi adalah anggota Dewan, jenderal polisi aktif, pejabat tinggi pemerintahan, dan pemimpin tertinggi badan usaha milik negara.

Jokowi tak perlu gentar terhadap ancaman elite partai politik pendukungnya. Kemungkinan pe-makzulan jika ia menerbitkan perpu, seperti dilontarkan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, hanyalah gertak sambal. Konstitusi memberikan legitimasi kuat kepada Presiden untuk mengambil tindakan, termasuk menyelamatkan negara dari bahaya korupsi. Jokowi juga menggenggam kekuatan besar setelah terpilih kembali dengan 55,45 persen suara pada pemilihan presiden April lalu.

Indonesia membutuhkan negarawan: pemimpin yang tegak berdiri menentang koruptor. Bukan politikus yang sibuk menghitung konsekuensi politik—sementara para pelancung dengan berbagai cara terus menjarah kekayaan Ibu Pertiwi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus