Salah satu objek analisa dalam icommon property managementr adalah sumber daya hutan. Seperti diketahui, dalam pemanfaatan hutan berbagai kepentingan muncul, dan sering menimbulkan konflik berkepanjangan. Dalam konsep icommon property management,r semua pihak harus dipertimbangkan secara proposional. Di Indonesia, konflik antarkepentingan dalam pemanfaatan hutan bukan lagi lagu baru. Misalnya, ketegangan antara sukusuku penghuni hutan dan pengusaha HPH. Konflik antara suku Moi dan HPH PT Intimpura Timber Co. (TEMPO, 19 Desember 1992, iLingkunganr), misalnya, hanyalah salah satu contoh bahwa sampai saat ini inti permasalahannya belum mampu diselesaikan. Sering dalam kasus seperti ini pihak yang ''kuat''lah yang menang. Pada dasarnya UUPA 1960 mengakui adanya hak ulayat berdasarkan adat sebagai basis untuk mengklaim lahan. Namun, fakta menunjukkan bahwa kebijakan di tingkat nasional kurang mendukung implementasinya. Contohnya, kegiatan perladangan yang berpindahpindah, yang dilakukan oleh berbagai suku di pedalaman Kalimantan dan pulaupulau lainnya, itu lebih dianggap sebagai kegiatan yang ''merusak'' hutan dan mengganggu aktivitas HPH. Sementara itu penelitian detil menunjukkan bahwa sukusuku itu memiliki ''kearifan ekologi'' yang tinggi. Praktek perladangan mereka terbukti sangat rasional, misalnya bila ditinjau dari produktivitas tenaga kerja: produktivitas tenaga kerja di sawah irigasi di Jawa hanya 2,1 kg per hari kerja, sementara itu di ladang mencapai 7,9 kg per hari kerja (misalnya, penelitian antropolog M.R. Dove terhadap suku Dayak Kantu' di Kalimantan Barat). Dalam penanganan sukusuku itu kebijakan lebih diarahkan ke iresettlementr peladang di luar kawasan hutan daripada mengenali dan mengakui hakhak ulayat mereka terhadap lahan hutan beserta berbagai produknya. Program ini sering tidak mencapai tujuannya, karena setelah beberapa tahun mereka kembali ke praktek perladangan. Dalam hal konflik kepentingan antara HPH dan sukusuku tersebut, penyelesaian sebaiknya dilakukan dengan cara mengakui hak ulayat mereka, dan memenuhi perjanjian adat yang telah disetujui bersama untuk menghindari kasus serupa berulang kembali. Dalam konteks inilah peranan istater (diwakili Departemen Kehutanan) diuji: sejauh mana UUPA 1960 yang mengakui adanya hak ulayat tersebut mampu diterapkan. Solusi lain yang perlu diuji efektivitasnya adalah konsep ibuffer zoner. Konsep ini diusulkan oleh iMan and Biopspherer (MAB program dari UNESCO). Pada prinsipnya konsep ini mengakui pula hak ulayat dari itribal communitiesr. Dalam hal pengusahaan hutan, pemegang HPH seharusnyalah mengalokasikan suatu area tertentu untuk dijadikan ibuffer zoner atau daerah penyangga, dikelola dalam konsep ''icommon property rightsr'' yang digunakan oleh sukusuku di sekitar areal HPH tersebut. Semua kegiatan HPH tidak diperkenankan ''menyentuh'' daerah penyangga ini. Maka sumbersumber kehidupan sukusuku itu akan terjamin dan berbagai potensi konflik sosial bisa dikurangi atau bahkan dihindarkan. Semoga pihak yang berkepentingan lebih bijaksana dalam penanganan konflik antarkepentingan seperti kasus suku Moi tersebut. Pendekatan sosiokultural mungkin akan bisa lebih diterima karena tindakan mereka (suku Moi) bukanlah sematamata kriminal, namun hanya suatu cara mereka dalam menyatakan hakhak mereka yang mungkin selama ini diabaikan dan bahkan tidak dihormati oleh pemegang HPH. INUNG WIRATNO ITC. Enschede The Netherlands
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini