Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda atas rencana standardisasi khatib salat Jumat?
|
||
Ya | ||
9,9% | 323 | |
Tidak Tahu | ||
16% | 526 | |
Tidak | ||
74,1% | 2.430 | |
Total | (100%) | 3.279 |
Pemerintah mengusulkan pemberlakuan standardisasi khatib salat Jumat kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Usul itu, menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dilatarbelakangi informasi adanya penceramah yang dinilai mengancam persatuan umat. "Kami ambil titik paling moderat," ujarnya pada Senin akhir Januari lalu. Lukman mengatakan ada khotbah yang nuansanya menjelek-jelekkan pihak lain, sehingga esensi khotbah untuk menasihati menjadi hilang. "Apalagi dalam konteks Indonesia yang majemuk, ini berpotensi menciptakan disintegrasi," katanya. Untuk standardisasi itu, pemerintah menggandeng sejumlah ulama dari berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia, untuk merumuskan dua hal penting, yaitu batasan seorang khatib salat Jumat dan otoritas yang akan mengeluarkan sertifikasi. "Kami sadar betul ini bukan kewenangan kami," ucap Lukman. Rencana standardisasi itu menuai beragam reaksi. Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang juga anggota Komisi Agama DPR, An'im Falahuddin Mahrus, menilai standardisasi itu merupakan bentuk intervensi negara terhadap kegiatan ibadah. "Negara sudah terlalu jauh turut campur," ujarnya. Meski tak dilakukan standardisasi, An'im yakin ilmu yang diperoleh penceramah sudah sesuai dengan koridor rukun dan syariat. Namun Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Blitar Aminuddin Fahruda menyebutkan standardisasi ini perlu untuk menjaga kualitas ceramah yang disampaikan. Apalagi, menurut dia, belakangan ini tak sedikit laporan umat yang menyebutkan khatib tertentu memasukkan urusan politik dan SARA dengan keras dalam materi ceramah mereka. "Di masjid, mereka justru memprovokasi umat," katanya. Namun dia meminta standardisasi itu melibatkan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Alih-alih membuat sertifikasi, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla mengatakan yang sebenarnya dibutuhkan adalah klasifikasi khatib. Ini pula yang dilakukan DMI melalui aplikasi Masjidku. Dalam aplikasi tersebut, terdapat menu klasifikasi penceramah yang mempunyai keahlian di bidang tertentu, misalnya tafsir dan fikih. "Ini membuat masyarakat yang ingin mengundang penceramah lebih mudah menemukannya," ujar Kalla. Hasil jajak pendapat di Tempo.co menunjukkan sebagian besar responden menolak rencana standardisasi khatib salat Jumat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 11 Februari 2017 PODCAST REKOMENDASI TEMPO surat-pembaca surat-dari-redaksi angka kutipan-dan-album kartun etalase event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |