Dalam tulisan "Balap di Sirkuit PPh" (TEMPO, 26 Januari 1991, Ekonomi & Bisnis) dinyatakan ada sepasang suami istri, masing-masing menduduki peringkat ke-23 dan ke-77 dari 200 pembayar pajak terbesar. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sebab, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan kita, hal seperti ini tak boleh terjadi. Lihat pasal 8, UU PPh 1984 dan dipertegas dengan Surat Edaran Nomor: SE-20/PJ.9/1990, 2 Agustus 1990. Di situ, dinyatakan bahwa kewajiban memasukkan SPT Tahunan PPh ( Perseorangan) bagi satu keluarga (suami-istri), adalah tanggung jawab suami sepenuhnya. Penghasilan yang tertuang dalam SPT yang atas nama suami tersebut merupakan gabungan antara penghasilan suami dan istri, atau bahkan penghasilan anaknya yang belum dewasa. Bila suami-istri masing-masing menyampaikan SPT-nya, selain bertentangan dengan peraturan perpajakan yang ada, negara juga dirugikan. Seharusnya negara memperoleh pajak sebesar 35% dari penghasilan istri. Tapi, karena istri menyampaikan SPT sendiri, negara hanya menerima pajak yang dihitung mulai dengan tarif 15%, 25%, dan baru 35% dari penghasilan kena pajak. PURWANTO Alumnus Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini