PROF. A. Madjid Ibrahim, 51 tahun, Gubernur Aceh pengganti A.
Muzakkir Walad pekan lalu minta agar sebutan atau tulisan nama
Daerah Istimewa Aceh jangan disingkat "D.I. Aceh". Hal itu tidak
dibenarkan tambahnya. Sebab "kesannya juga tak enak." Propinsi
di ujung paling utara Indonesia itu menurut Madjid mesti
disebut lengkap dengan "Daerah Istimewa Aceh".
Pernyataan Gubernur Aceh itu agaknya dimaksudkan untuk menghapus
asosiasi ke masa silam yang pernah dialami daerah yang juga
disebut Tanah Rencong itu. Bahwa meletusnya Peristiwa Aceh tahun
1953, di sana kemudian memang pernah ada gerakan yang dikenal
sebagai DI/TII. Akibat peristiwa itu daerah Serambi Mekkah
tersebut, sampai pulihnya keamanan di sana, nasib getir tetap
terasa sampai berlarut. Aceh jadi terkebelakang dalam
pembangunan fisik, sedang dunia pendidilan ikut berantakan --
karena rumah sekolah banyak yang dibakar dan jalan-jalan raya
bertambah parah.
Ingin Istimewa
Ketika Panglima KDMA I (sekarang Kodam I) dijabat Kolonel (kini
Brigjen Purnawirawan) Sjammaun Gaharu dan gubernurnya waktu itu
Ali Hasjmi, keadaan di Aceh dapat ditenangkan kembali.
Berdasarkan Undang-Undang no. 24 Tahun 1954 Aceh memperoleh hak
otonomi dari Pemerintah Pusat, sementara daerah tersebut
pelan-pelan kembali membenahi diri. Dengan keputusan Gubernur
Aceh tahun 1963 nama Propinsi Aceh disebut dengan Daerah
Istimewa Aceh.
Tapi sejak beberapa waktu lalu sebutan kepada propinsi tersebut
kelihatan agak tak tertib. Ada yang menyebut "dista", juga ada
yang "daista". Tetapi koran-koran lebih banyak dengan "D.I.
Aceh". Kacaunya sebutan ini juga masih berlaku terhadap nama
Kota Banda Aceh. Meski nama Banda Aceh adalah resmi, anehnya
surat-surat di beberapa instansi, misalnya di Kodam I dalam
setiap kepala surat tetap disebut "Kutaraja". Juga di
dinding-dinding bus umum, kini nama Banda Aceh telah ditukar
menjadi Kutaraja kembali. Padahal nama Banda Aceh yang jadi
ibukota propinsi itu, justru ditabalkan berdasarkan surat
keputusan dari Gubernur Aceh juga yang waktu itu dipegang oleh
Ali Hasjmi yang kini masih terus membuat sajak itu.
Madjid sebelum ke Aceh adalah Deputy Ketua Bappenas dan ketika
masih sebagai Ketua Bappeda Aceh di zaman Muzakkir Walad
gubernur, telah lebih dahulu menyusun dasar-dasar pembangunan di
propinsi tersebut. Tetapi perhatiannya yang utama seperti
dinyatakan di depan Presiden Soeharto yang datang ke Lhokseumawe
meresmikan kilang gas alam Arun September lalu, adalah soal
prasarana jalan. Terutama di sepanjang Aceh sebelah barat dan
selatan. Apa lagi yang namanya "jalan" itu bertambah hancur
setelah Mei lalu diserang banjir, khususnya di kabupaten Aceh
Barat.
Madjid bukan saja masih banyak menerima tantangan alam dalam
membenahi pembangunan di daerahnya, bersama Panglima Kodam I
Iskandar Muda Brigjen R.A. Saleh dia juga diharapkan turut
menciptakan suatu warna dalam menjaga perimbangan kestabilan dan
keamanan.
Ia tentu tak mungkin bekerja tuntas apabila di daerahnya masih
ada gangguan-gangguan kecil. Daerah dengan luas 55.390 km
persegi dan dihuni 2.276.037 jiwa itu tentu tidak diharapkan
kucar-kacir lagi seperti tempo hari. Sementara apa yang namanya
gerakan gerombolan liar Hasan Tiro, meski tak mampu mempengaruhi
situasi stabil di Aceh, ternyata beberapa di antara penggerak
utamanya selama ini diketahui ada yang berasal dari Medan. Sebab
itu pula kenapa Brigjen (Pur) Sjammaun Gaharu pada malam
perkenalan masyarakat Aceh di Medan dengan Madjid belum lama ini
mengetuk hati yang hadir. "Hendaknya anggota masyarakat Aceh
yang ada di Sumatera Utara tidak berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan peraturan Pemerintah," katanya. "Kita
menginginkan Aceh itu istimewa, terutama dalam wajah
pembangunannya.
Sementara itu sebuah sumber TEMPO di Medan pada 3 Nopember lalu
mengatakan, "apa yang mereka lakukan bersama Hasan Tiro itu
lebih banyak kerugiannya bagi rakyat dan daerah Aceh sendiri."
Disebutkannya juga tentang kemungkinan adanya anggota gerakan
perusuh itu yang ayahnya berasal dari eksponen Peristiwa 1953,
semestinya anak-anak muda itu telah belajar dari
pengalaman-pengalaman pahit ayah mereka dulu." Apa lagi gerakan
gerombolan Hasan Tiro yang "diproklamirkan" pada 4 Desember 1976
sama sekali tidak mendapat sambutan dan secara ideologis jelas
bertolak belakang dengan kasus tahun 1953. Waktu itu Hasan Tiro
juga ikut dan mengaku "Duta Aceh" di PBB -- tapi tidak berada di
dalam hutan Aceh dan enak-enak di Amerika Serikat. "Kalau kini
dia mau berbuat hal yang sama seperti dulu, pantas tak dapat
pasaran di Aceh. Karena rakyat Aceh sudah melek dan tidak mudah
dipengaruhi lagi," tukas sumber itu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini