Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jangan Disingkat

Gubernur daerah istimewa Aceh, Prof. A. Majid Ibrahim minta agar dalam penulisan nama daerahnya jangan disingkat dengan D.I. Aceh. nama itu kurang enak, apa lagi di Aceh pernah ada gerakan DI/TII.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROF. A. Madjid Ibrahim, 51 tahun, Gubernur Aceh pengganti A. Muzakkir Walad pekan lalu minta agar sebutan atau tulisan nama Daerah Istimewa Aceh jangan disingkat "D.I. Aceh". Hal itu tidak dibenarkan tambahnya. Sebab "kesannya juga tak enak." Propinsi di ujung paling utara Indonesia itu menurut Madjid mesti disebut lengkap dengan "Daerah Istimewa Aceh". Pernyataan Gubernur Aceh itu agaknya dimaksudkan untuk menghapus asosiasi ke masa silam yang pernah dialami daerah yang juga disebut Tanah Rencong itu. Bahwa meletusnya Peristiwa Aceh tahun 1953, di sana kemudian memang pernah ada gerakan yang dikenal sebagai DI/TII. Akibat peristiwa itu daerah Serambi Mekkah tersebut, sampai pulihnya keamanan di sana, nasib getir tetap terasa sampai berlarut. Aceh jadi terkebelakang dalam pembangunan fisik, sedang dunia pendidilan ikut berantakan -- karena rumah sekolah banyak yang dibakar dan jalan-jalan raya bertambah parah. Ingin Istimewa Ketika Panglima KDMA I (sekarang Kodam I) dijabat Kolonel (kini Brigjen Purnawirawan) Sjammaun Gaharu dan gubernurnya waktu itu Ali Hasjmi, keadaan di Aceh dapat ditenangkan kembali. Berdasarkan Undang-Undang no. 24 Tahun 1954 Aceh memperoleh hak otonomi dari Pemerintah Pusat, sementara daerah tersebut pelan-pelan kembali membenahi diri. Dengan keputusan Gubernur Aceh tahun 1963 nama Propinsi Aceh disebut dengan Daerah Istimewa Aceh. Tapi sejak beberapa waktu lalu sebutan kepada propinsi tersebut kelihatan agak tak tertib. Ada yang menyebut "dista", juga ada yang "daista". Tetapi koran-koran lebih banyak dengan "D.I. Aceh". Kacaunya sebutan ini juga masih berlaku terhadap nama Kota Banda Aceh. Meski nama Banda Aceh adalah resmi, anehnya surat-surat di beberapa instansi, misalnya di Kodam I dalam setiap kepala surat tetap disebut "Kutaraja". Juga di dinding-dinding bus umum, kini nama Banda Aceh telah ditukar menjadi Kutaraja kembali. Padahal nama Banda Aceh yang jadi ibukota propinsi itu, justru ditabalkan berdasarkan surat keputusan dari Gubernur Aceh juga yang waktu itu dipegang oleh Ali Hasjmi yang kini masih terus membuat sajak itu. Madjid sebelum ke Aceh adalah Deputy Ketua Bappenas dan ketika masih sebagai Ketua Bappeda Aceh di zaman Muzakkir Walad gubernur, telah lebih dahulu menyusun dasar-dasar pembangunan di propinsi tersebut. Tetapi perhatiannya yang utama seperti dinyatakan di depan Presiden Soeharto yang datang ke Lhokseumawe meresmikan kilang gas alam Arun September lalu, adalah soal prasarana jalan. Terutama di sepanjang Aceh sebelah barat dan selatan. Apa lagi yang namanya "jalan" itu bertambah hancur setelah Mei lalu diserang banjir, khususnya di kabupaten Aceh Barat. Madjid bukan saja masih banyak menerima tantangan alam dalam membenahi pembangunan di daerahnya, bersama Panglima Kodam I Iskandar Muda Brigjen R.A. Saleh dia juga diharapkan turut menciptakan suatu warna dalam menjaga perimbangan kestabilan dan keamanan. Ia tentu tak mungkin bekerja tuntas apabila di daerahnya masih ada gangguan-gangguan kecil. Daerah dengan luas 55.390 km persegi dan dihuni 2.276.037 jiwa itu tentu tidak diharapkan kucar-kacir lagi seperti tempo hari. Sementara apa yang namanya gerakan gerombolan liar Hasan Tiro, meski tak mampu mempengaruhi situasi stabil di Aceh, ternyata beberapa di antara penggerak utamanya selama ini diketahui ada yang berasal dari Medan. Sebab itu pula kenapa Brigjen (Pur) Sjammaun Gaharu pada malam perkenalan masyarakat Aceh di Medan dengan Madjid belum lama ini mengetuk hati yang hadir. "Hendaknya anggota masyarakat Aceh yang ada di Sumatera Utara tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan peraturan Pemerintah," katanya. "Kita menginginkan Aceh itu istimewa, terutama dalam wajah pembangunannya. Sementara itu sebuah sumber TEMPO di Medan pada 3 Nopember lalu mengatakan, "apa yang mereka lakukan bersama Hasan Tiro itu lebih banyak kerugiannya bagi rakyat dan daerah Aceh sendiri." Disebutkannya juga tentang kemungkinan adanya anggota gerakan perusuh itu yang ayahnya berasal dari eksponen Peristiwa 1953, semestinya anak-anak muda itu telah belajar dari pengalaman-pengalaman pahit ayah mereka dulu." Apa lagi gerakan gerombolan Hasan Tiro yang "diproklamirkan" pada 4 Desember 1976 sama sekali tidak mendapat sambutan dan secara ideologis jelas bertolak belakang dengan kasus tahun 1953. Waktu itu Hasan Tiro juga ikut dan mengaku "Duta Aceh" di PBB -- tapi tidak berada di dalam hutan Aceh dan enak-enak di Amerika Serikat. "Kalau kini dia mau berbuat hal yang sama seperti dulu, pantas tak dapat pasaran di Aceh. Karena rakyat Aceh sudah melek dan tidak mudah dipengaruhi lagi," tukas sumber itu lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus