DI luar masalah dalam negeri, Cina termasuk sering menjadi Laporan Utama majalah ini. Ini bukan saja karena di negeri yang disebut-sebut bakal menjadi superkuat itu sering terjadi peristiwa yang layak menjadi berita berskala internasional, tapi juga karena TEMPO pernah mempunyai dua wartawan yang berlatar belakang sinologi. Dalam rapat-rapat perencanaan, bila diusulkan menulis tentang Cina oleh salah satu atau keduanya sekaligus, biasanya sulit dibantah apalagi bila dibumbui dengan omong Cina, hingga pemimpin rapat, biasanya Pemimpin Redaksi atau Redaktur Eksekutif, tak mampu membalas dengan bahasa yang sama. Tapi Laporan Utama kali ini diluluskan oleh rapat perencanaan bukan karena Mohamad Cholid, salah seorang sinolog itu, menyampaikannya dalam bahasa Cina yang fasih hingga anggota rapat tak paham. Melainkan dengan kriteria berita layak TEMPO yang dimaklumi oleh semua anggota redaksi. Kriteria itu, antara lain, adalah yang dinamakan newspeg, atau cantolan berita. Cholid, demikian di TEMPO dia dipanggil, mengusulkan agar ulang tahun ke-89 Deng Xiaoping, Ahad 22 Agustus, tak dilewatkan begitu saja. Masalahnya, kabar tentang ''kaisar'' reformis Cina itu belakangan simpang-siur. Di Hong Kong, Deng dikabarkan sudah dying alias tak ada harapan lagi. Meski segera muncul penjelasan resmi dari Beijing, sang sesepuh dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa. Justru, kata sang pengusul dengan suara agak naik, penjelasan Beijing itu patut diwaspadai sebagai pembenaran bahwa Deng, menjelang ulang tahunnya itu, kesehatannya diragukan. Ini memang ironis. Deng, yang disebut-sebut sebagai pembawa reformasi Cina, kabar tentang dirinya malah tak ikut ''direformasi'', tapi ditutup-tutupi, seperti gaya Cina masa pra-reformasi dalam memberitakan kesehatan para pemimpin penting mereka. Tapi tentu saja Cholid tak sedang mengusulkan sebuah obituari. Tentang Deng, sudah beberapa kali majalah ini menyajikannya, bukan hanya di rubrik Luar Negeri, tapi juga di Selingan. Yang diusulkannya, bagaimana kalau Cina ditinggalkan Deng, yang, meskipun tak lagi menjabat apa pun dan dikabarkan kesehatannya memburuk, tetap saja dianggap ''sesepuh tertinggi''. Adakah sepeninggalnya Cina akan tetap stabil, atau sebaliknya? Ini menarik karena belakangan ini sejumlah warga negara Indonesia menanamkan modalnya di sana. Singkat kata, disetujuilah usul wartawan yang sudah tiga kali mengunjungi Cina, dan sudah pula menulis sejumlah hal menarik tentang Cina, antara lain tentang Islam dan Lebaran di Cina itu. Adapun ahli Cina di TEMPO yang pertama adalah A. Dahana, yang, sayangnya, sejak September tahun lalu doktor sinologi itu meninggalkan TEMPO untuk menjadi direktur eksekutif Aminef, sebuah lembaga kerja sama Indonesia-Amerika. Tapi Dahana, di samping pekerjaannya yang baru, tak melupakan TEMPO, apalagi Deng. Rupanya, dari kantornya yang berjarak sekitar 4 km dari kantor TEMPO, ia mendengar rencana ini. Tiba-tiba saja datang artikelnya tentang Cina pasca-Deng, sebelum kami memintanya. Biasanya Laporan Utama dikerjakan keroyokan. Kali ini hanya Cholid yang menuliskannya, bukan karena ia mau gagah-gagahan sebagai satu-satunya ahli Cina di TEMPO, tapi karena Cholid sudah menuliskannya beberapa minggu sebelumnya. Seperti para pembaca menyimaknya, sudah beberapa waktu ini Cholid dimutasikan dari rubrik Ekonomi & Bisnis ke Luar Negeri, bergabung dengan Didi Prambadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini