ROMBONGAN mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia sudah sering berkunjung ke kantor kami. Tapi, dua pekan lalu, kami menerima tamu mahasiswa yang lain dari biasanya. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa pada Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh (Pasifik) Universitas Hamburg, yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Rombongan yang berjumlah 12 orang itu (sembilan orang Jerman dan tiga orang Indonesia) dipimpin Profesor Rainer Carle. Salah seorang di antara tiga orang Indonesia itu adalah Mohamad Agav, pemuda berdarah Sakai (Riau), yang telah bermukim lama di Jerman, dan juga menuntut ilmu di Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh tersebut. Ketika mahasiswa-mahasiswa Lembaga Ilmu Sastra dan Lautan Teduh ini merancang lawatan studi ke Malaysia dan Indonesia, beberapa waktu lalu, Agav termasuk salah seorang yang mengusulkan agar rombongan berkunjung ke TEMPO. Di TEMPO, rombongan mahasiswa dari Jerman ini diterima oleh Redaktur Eksekutif Herry Komar, Redaktur Senior Goenawan Mohamad, Redaktur Pelaksana Bambang Bujono, Redaktur Bahasa Slamet Djabarudi, dan Staf Redaksi Leila S. Chudori. Hampir dua jam tamu-tamu itu mencecar kami dengan berbagai pertanyaan (hampir semua disampaikan dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata) mulai dari soal politik dalam negeri sampai masalah sastra, termasuk ribut-ribut majalah Horison. Tentang soal yang terakhir ini, para mahasiswa itu mendapat penjelasan langsung dari mereka yang terlibat dalam penanganan Horison (baru) tersebut, yaitu Goenawan Mohamad dan Bambang Bujono. Mengapa rombongan mahasiswa dari Jerman ini memilih TEMPO untuk dikunjungi? ''Majalah TEMPO adalah sumber utama kami untuk belajar tentang Indonesia,'' kata Profesor Carle. Ia menambahkan bahwa kliping TEMPO yang ada di perpustakaan Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh itu tidak hanya digunakan sebagai referensi oleh mahasiswa Universitas Hamburg, tapi juga dimanfaatkan mahasiswa Indonesia yang ada di sekitar Hamburg. Ketika pada akhir pertemuan kami menyerahkan kenang-kenangan berupa plaket TEMPO, Profesor Carle, selaku pimpinan Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh, membalasnya dengan sebuah tekad. ''Kami dari Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh hanya bisa menyerahkan semangat untuk belajar mengenai sastra Indonesia di negara kami, Jerman,'' katanya. Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh, menurut Profesor Carle, adalah salah satu lembaga yang paling tua di Universitas Hamburg. Minat mereka yang ingin belajar pada lembaga yang berdiri sejak 75 tahun lalu itu, katanya lebih lanjut, cukup besar. Mereka yang saat ini menuntut ilmu pada Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh tercatat 80 orang 14 orang di antaranya kandidat doktor. Apa yang mendorong mereka ramai-ramai belajar sastra Indonesia? ''Negara Indonesia yang demikian besar ini cukup menarik untuk dipelajari,'' kata Arndt Graf, salah seorang pengajar pada Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh, memberikan alasan. Seperti biasanya tamu-tamu yang berkunjung ke kantor kami, rombongan mahasiswa Lembaga Ilmu Sastra Indonesia dan Lautan Teduh ini juga meninjau ruang kerja redaksi dan perpustakaan TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini