Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

28 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jangan Tergiur Lomba Komodo

SAYA ingin berterima kasih atas liputan majalah Tempo mengenai kongkalikong di balik kompetisi tujuh keajaiban dunia yang diadakan Yayasan New7Wonders. Investigasi Tempo itu telah menjawab pertanyaan saya yang dilandasi kecurigaan: betulkah keajaiban dunia bisa ditentukan lewat mobilisasi pesan pendek? Bagaimana bisa keajaiban dunia ditentukan tanpa upaya membandingkan secara ilmiah dan obyektif berbagai keajaiban dunia yang dijagokan, termasuk Pulau Komodo?

Dalam pengamatan saya, semua keajaiban dunia yang dicalonkan sudah lama ada. Bagaimana bisa Yayasan New7Wonders ini bersaing dengan daftar World Heritage Unesco yang dipilih dengan kajian ilmiah?

Sayang sekali, banyak orang Indonesia, termasuk tokoh-tokoh penting di negeri ini, terkecoh dan menyumbang pulsa. Lomba keajaiban dunia ini tak lebih dari upaya mendulang uang dari rakyat Indonesia yang nasionalistis yang ingin Pulau Komodo kebanggaan kita menjadi bintang New7Wonders.

Inke Maris
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan


Diskriminasi Hukum untuk Koruptor

SAYA menilai masih ada bias agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. Masih ada perlakuan istimewa untuk tersangka korupsi yang kebetulan merupakan orang berkuasa di daerah masing-masing. Karena itu, wajar jika publik masih saja mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Lihat saja bagaimana sejumlah kasus korupsi di Palembang. Ada kepala daerah yang penahanannya ditangguhkan. Ada kepala dinas yang sudah dijatuhi vonis penjara tapi justru dipromosikan. Meski sudah jelas dinyatakan bersalah oleh pengadilan, si pejabat terus-menerus mengaku tak bersalah dan siap melakukan kasasi, meski tanpa bukti baru (novum).

Semua kasus itu diamati publik dengan cermat. Masyarakat sadar bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum akan menimbulkan efek jera jika penerapannya seperti sekarang. Korupsi seharusnya dianggap sebagai kejahatan luar biasa, yang dampaknya lebih besar daripada terorisme atau narkoba.

Ivan Iskandar
Jalan Balayudha 1057/XI
Palembang


Salut Laporan Indonesianis

SAYA menikmati laporan khusus majalah Tempo edisi 14-20 November 2011 mengenai para Indonesianis dan lembaga-lembaga di luar negeri yang mengkaji Indonesia. Salah satu lembaga yang ditulis Tempo adalah KITLV di Leiden, Belanda, tempat saya pernah belajar dan menelusuri data yang berlimpah.

Saya punya banyak kenangan di KITLV. Di ruang baca lembaga itu, kita bisa bertemu dengan para peneliti dari berbagai belahan dunia. Di kantinnya (ketika masih ada), saya pernah berjumpa dengan Sitor Situmorang dan Kees Snoek, yang sedang mendiskusikan suasana pascareformasi di Tanah Air.

Saya pun pernah berkesempatan melongok tempat penyimpanan arsip di bawah tanah dan melihat koleksi tulisan tangan RA Kartini atas budi baik Dr Roger Tol (ketika itu beliau masih bertugas di Leiden). Saya berharap dalam hati semoga koleksi berharga ini tetap terjaga.

Perpustakaan dan ruang baca KITLV inilah tempat yang selalu saya kunjungi jika pergi ke Belanda. Tentunya sambil mencari dan menelusuri data untuk penelitian serta menyapa pustakawan dan pustakawati yang selalu menyambut kami dengan ramah.

Sayangnya, ada kesalahan kecil yang mengganggu dalam artikel yang berjudul "Suatu Hari di Kantor Prof Henk". Di sana disebutkan waktu penyerahan kedaulatan Indonesia adalah 27 Oktober 1949, padahal seharusnya 27 Desember 1949. Semoga di masa yang akan datang kesalahan macam ini tak terjadi lagi.

Achmad Sunjayadi
Koordinator Program Studi Belanda
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Terima kasih atas koreksi Anda.
—Redaksi


Jangan Lupakan Peneliti Indonesia

Sebagai lulusan Cornell University dan peneliti pluralisme dan peran kelompok minoritas di Indonesia, khususnya mengenai orang Tionghoa di Indonesia, saya sempat tertegun ketika menyimak liputan khusus mengenai Indonesianis di Tempo edisi 14-20 November 2011. Saya turut merasa senang karena program Cornell Modern Indonesia Project telah bangkit kembali.

Saya ingin memberi informasi bahwa sejak 1998 peneliti muda dari Indonesia mulai menekuni negara mereka sendiri, baik para lulusan luar maupun dalam negeri. Sayangnya, riset yang mereka lakukan belum banyak yang terbit dalam jurnal internasional atau dicetak menjadi buku dalam bahasa Inggris.

Saya yakin, jika lebih banyak riset mereka di era reformasi diterbitkan dalam bahasa Inggris, para peneliti kita akan lebih mendapat sorotan dunia akademis secara internasional. Seperti yang dikatakan oleh Profesor Anthony Reid, "Asians should study Asia."

Sebagai peneliti asal Indonesia, kita harus bangga akan negara kita dan harus terus menulis mengenai perkembangan fenomenal dalam era reformasi ini, dari segi sosial-politik, budaya, pemerintahan, dan lain-lain.

Aimee Dawis, PhD
Dosen Pascasarjana FISIP Jurusan Ilmu Komunikasi dan FIB
Universitas Indonesia


Klarifikasi Hakim Tipikor

Saya ingin memberikan klarifikasi sehubungan dengan berita majalah Tempo edisi 14-20 November 2011 di rubrik Hukum yang menyangkut diri saya sebagai hakim dan Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Klarifikasi ini penting agar pembaca tidak salah dan berat sebelah memandang persoalan yang diangkat.

Pertama, ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara dengan terdakwa Bupati Subang (non-aktif) Eep Hidayat adalah I Gusti Lanang D. SH, MH. Sedangkan ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara dengan terdakwa Wali Kota Bekasi (non-aktif) Mochtar Mohamad adalah R. Azharyadi Pria Kusuma SH, MH. Tidak benar jika saya yang menjadi ketua majelis hakim untuk kedua perkara itu.

Kedua, perlu kami tegaskan bahwa semua hakim karier di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung telah mempunyai sertifikat hakim tindak pidana korupsi, dan lulus ujian dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jadi, tidak benar jika setiap hakim bisa bebas ditunjuk mengadili perkara korupsi.

Ketiga, sehubungan dengan tuduhan bahwa saya menerima suap Rp 500 juta. Tuduhan itu benar-benar keji dan menyakiti saya dan keluarga. Saya minta siapa pun yang punya bukti mengenai tuduhan itu, entah itu rekaman, foto, pesan pendek, saksi, dan penjelasan tentang kapan dan di mana saya bertemu dan menerima gratifikasi dari terdakwa atau utusannya, untuk menyerahkan bukti itu ke penyidik dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika tuduhan itu terbukti, saya akan mundur dari jabatan saya sebagai hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Bandung.

Saya menyesalkan tuduhan tanpa dasar, yang hanya bertujuan merusak kredibilitas seseorang, disiarkan di media massa. Terima kasih.

Joko Siswanto, SH
Hakim, Ketua Pengadilan Negeri Bandung
Jawa Barat

Terima kasih. Bantahan Anda telah termuat dalam berita yang dimaksud. Kekeliruan mengenai nama ketua majelis hakim perkara Bupati Subang dan Wali Kota Bekasi telah kami ralat dalam edisi lalu.
—Redaksi


Pelesetan Gugur Bunga

PAHLAWAN di mana pun adalah orang yang berjuang dan bersedia berkorban untuk bangsa dan negaranya. Pada masa penjajahan, Indonesia memiliki banyak pahlawan yang mempertaruhkan segalanya, hidup dan matinya, untuk kemerdekaan. Pada masa sekarang, tentu dibutuhkan pahlawan dari kategori perjuangan berbeda. Ketika Indonesia dirundung masalah korupsi, rakyat kita menanti munculnya pahlawan antikorupsi.

Untuk itu, saya tergerak untuk memelesetkan lagu nasional Gugur Bunga, agar sesuai dengan tema penantian kita akan lahirnya para pejuang antikorupsi.

Betapa hatiku tak kan rindu, kehadiran Pahlawanku
Betapa hatiku tak akan sedih, merenung derita Pertiwi
Siapa kini pahlawan Bangsa, nan setia dan perwira
Siapa kini pejuang sakti, miliki nyali lawan korupsi.

Telah banyak noda hati, mengingkari janji suci
Untuk kuasa tumbuh seribu, demi harta penuh nafsu.

Gugur bungaku di taman bhakti, di haribaan Pertiwi
Semoga Tuhan membuka hati, pahlawan jujur jaya sakti.

Soen'an Hadi Purnomo
Pasar Minggu, Jakarta Selatan


RALAT

Pada Tempo edisi lalu, di rubrik Seni, ada artikel berjudul "Tintin di Tanah Batak". Di situ kami mengutip pendiri Komunitas Tintin Indonesia, Surjorimba Suroto, dan menyebutnya sebagai karyawan PT Surveyor Indonesia. Yang benar, Surjorimba kini bekerja di PT Energi Mega Persada. Selain itu, keterangan gambar "Komunitas Tintin Indonesia di Facebook" di halaman 53 juga keliru. Gambar tersebut adalah halaman resmi penggemar Tintin di Facebook. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.

Pada edisi yang sama, dalam rubrik Pokok & Tokoh, kami memuat profil Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo. Di situ tertulis bahwa Widjajono berencana pergi ke Antartika pada akhir tahun ini. Seharusnya, rencana itu akan dia lakukan pada akhir 2012. Kami mohon maaf atas kesalahan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus