Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menghindari Sindrom Gayus

Membaca berita rubrik Ekonomi berjudul "Akibat Beda Cara Berhitung" di majalah Tempo edisi 1-7 Agustus lalu, saya jadi mengelus dada. Tampak sekali kisruh antara aparat penegak hukum (Komisi Pemberantasan Korupsi), Badan Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Migas, dan kontraktor migas mengenai besaran pajak yang harus dibayar industri migas—topik yang disorot dalam artikel itu—berpangkal pada tidak samanya pemahaman pejabat kita mengenai cara menghitung pajak, terutama tentang besaran laba kena pajak. Mereka sulit membedakan aspek administrasi pajak dan sengketa pajak. Akibatnya, pemerintah pun tampak gamang menegakkan aturan untuk kemakmuran rakyat.

Inilah salah satu sebab mengapa masih banyak pegawai pajak yang mengidap sindrom Gayus. Nama sindrom ini merujuk pada kasus pegawai pajak golongan rendah, Gayus Halomoan Tambunan, yang menjadi kaya raya dengan mengurusi pajak perusahaan besar dan mengakali hukum perpajakan di kantornya sendiri. Bayangkan, seorang pegawai pajak golongan IIIa saja mampu menjadi dirigen dari orkestra manipulasi pajak, mulai mengatur cincai penerbitan surat ketetapan pajak, membuatkan surat keberatan untuk kliennya ke Pengadilan Pajak, sampai mengatur keluarnya restitusi pajak.

Sindrom ini berawal dari jurang ketidakpahaman yang saya sebut di awal. Para pegawai kantor pajak merasa superior karena mereka menguasai hukum pajak, sedangkan sebagian besar dari kita—termasuk pengusaha—tidak. Untuk itu, sudah saatnya para petinggi universitas membuka jurusan hukum perpajakan (belastingrecht) untuk masyarakat luas.

Pemerintah jangan cepat menuduh perusahaan asing tidak mau bayar pajak di sini. Kalau ternyata perbedaan perhitungan pajak itu salah kita sendiri—misalnya karena traktat pajak yang tidak menguntungkan pemerintah—tentu seperti menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.

M.E.D. Ngantung
Setiabudi, Jakarta Selatan

Protes Foto Vaksin

KAMI keberatan atas penayangan foto produk kami, yakni vaksin avian influenza Bird Close 5.1 di majalah Tempo edisi 8-14 Agustus lalu. Foto vaksin kami itu dimuat di artikel rubrik Ekonomi berjudul "Riuh Bisnis Vaksin", yang mengisahkan adanya kongkalikong dalam pengadaan vaksin flu burung. Selain itu, foto vaksin kami dimuat di halaman daftar isi dan artikel rubrik Opini berjudul "Kongkalikong Vaksin Flu Burung", keduanya di edisi majalah yang sama.

Kami ingin menegaskan bahwa produk itu dan perusahaan kami sama sekali tidak terkait dengan substansi pemberitaan di kedua artikel itu. Pemuatan foto vaksin kami di kedua artikel itu mengesankan bahwa kami, PT IPB-Shigeta Animal Pharmaceuticals, ikut bermain dalam kasus yang ditulis itu.

Kami khawatir pemberitaan itu menimbulkan persepsi keliru mengenai produk kami. Padahal vaksin avian influenza Bird Close 5.1 yang kami buat adalah vaksin avian influenza inaktif (oil based adjuvant) yang diproduksi menggunakan teknologi reverse gene­tic yang direkomendasikan oleh pakar flu burung dunia yang tergabung dalam OFFLU.

Untuk itu, kami mohon Tempo bisa memberikan penjelasan kepada publik untuk mengklarifikasi posisi perusahaan kami dalam pemberitaan masalah vaksin flu burung ini. Terima kasih.

Drh Kamaluddin Zarkasie, PhD
Vice President Director
PT IPB-Shigeta Animal Pharmaceuticals

Terima kasih atas penjelasan Anda. Kami tak pernah menganggap, apalagi menyebut, vaksin avian influenza Bird Close 5.1 yang diproduksi PT IPB-Shigeta Animal Pharmaceuticals terlibat kongkalikong yang kami beritakan.
—Redaksi

Penggusuran yang Manusiawi

SAYA amat prihatin setiap kali menyaksikan penggusuran paksa bangunan liar atau pedagang kaki lima. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja begitu beringas menghancurkan bangunan, sementara pemiliknya tak kalah keras membela propertinya. Semua marah, berteriak, saling caci maki, dan menangis. Padahal para petugas Satpol PP hanya menjalankan tugas. Para pemilik bangunan liar juga sekadar membela apa yang jadi haknya. Seharusnya tidak ada bentrokan fisik macam-macam selama penggusuran bisa dilakukan dengan manusiawi.

Untuk menggusur secara manusiawi, dibutuhkan beberapa cara. Pertama, pemerintah daerah harus rajin mensosialisasi peraturan penggunaan lahan kosong di dalam kota, kepada para penghuni bangunan liar. Mereka harus disadarkan bahwa mereka melanggar hukum karena mendirikan rumah di atas tanah milik orang lain.

Kedua, memastikan ada pengawasan yang melekat atas tanah-tanah kosong itu, agar tidak digunakan kembali sebagai lokasi bangunan liar. Mereka yang membandel harus diberi sanksi tegas. Selain itu, petugas pemerintah lain, semacam PLN, dilarang memberikan fasilitas listrik kepada pemilik rumah yang ser­tifikat tanahnya masih bermasalah. Pejabat yang memberikan izin hunian sementara, atau menerbitkan dokumen kependudukan dengan alamat di lokasi bermasalah, harus ditegur dan diberi sanksi.

Jika pemerintah bisa bersikap adil, tegas, dan transparan, penggusuran dan penertiban bangunan apa pun seharusnya tidak perlu berakhir dengan kerusuhan.

Lie Gan Yong
Pulogadung, Jakarta Timur

Konflik Tanah di Muara Enim

Saya mewakili delapan kelompok tani dan Pesantren Akhlaqul Karimah di Desa Tempirai, Kecamatan Penukai Utara, Kabupaten Muara Enim. Sejak tiga tahun lalu, tanah kami seluas 1.720,5 hektare telah dikuasai secara sepihak oleh PT Proteksindo Utama Mulia.

Awalnya, PT Proteksindo menawarkan skema plasma (mitra usaha) untuk membuka area perkebunan kelapa sawit di desa kami. Namun, sebelum ada kesepakatan dengan warga, perusahaan itu bergerak sendiri menggusur lahan kami. Sebagian warga yang bersedia menjual tanahnya tidak pernah mendapat ganti rugi sebesar Rp 170 per meter persegi seperti yang disepakati. 

Kami menduga PT Proteksindo sudah mendapat restu dari oknum pejabat di desa kami, yang didukung oleh sejumlah preman lokal. Padahal kami selaku warga tidak pernah mengikat perjanjian apa pun dengan kepala desa. Kami mohon pihak yang berwenang bisa memberikan perhatian dan mencari solusi untuk persoalan kami. Terima kasih.

Ruslan Umar
Prabumenang, Muara Enim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus