Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selamat Ulang Tahun, Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERIMA kasih, Tempo edisi 8-14 Maret 2021 telah menulis Laporan Khusus “Di Balik Ruang Redaksi”. Laporan seperti ini sepertinya sudah tiga kali Tempo tulis untuk pembaca setianya. Kalau dulu, namanya “Dapur Tempo”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan membaca laporan dari dapur Tempo, pembaca jadi ikut merasakan bagaimana berat dan sungguh memeras keringat untuk membuat sebuah tulisan di Tempo. Saya sebagai pembaca setia Tempo jadi makin merasakan kedekatan dan mencintai Tempo. Untuk mengenang 50 tahun Tempo, bagaimana jika Tempo membagikan atau menjual kaus peringatan 50 tahun Tempo kepada pembaca setianya?
Yang lebih penting, pertahankanlah majalah Tempo edisi cetak. Generasi seumur saya ini lebih ngeh membaca Tempo yang fisik. Ada nostalgia dan gereget dengan memegang dan mencium bau majalah baru. Sentimen ini tidak bisa digantikan dengan apa pun.
Apalagi orang seumur saya yang sudah old ini pusing dan tidak nyaman jika membaca majalah yang terbit digital. Biarlah Koran Tempo saja yang bermigrasi ke platform digital. Bravo Tempo dan selamat ulang tahun yang ke-50 dari pembaca setiamu di daerah yang jauh dari rumahmu. Semoga Tempo makin maju dan sukses.
Muhidom Setiaki
Temanggung, Jawa Tengah
Terima kasih telah setia mendukung kami. Semoga Anda selalu sehat dan sejahtera. Ihwal pembuatan kaus akan kami timbang dan jika sudah ada biasanya diumumkan di majalah.
Mencegah Korupsi Legislasi
PEMBUATAN undang-undang sepanjang 2020 menjadi salah satu catatan penting yang harus segera dibenahi. Permasalahan klasik kembali muncul dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Daftar 33 rancangan undang-undang tidak kunjung disahkan. Permasalahan ini menjadi batu sandungan bagi peramu kebijakan jika ingin memperbaiki produk hukum.
Ada dua catatan penting dalam proses legislasi pada 2020 yang harus segera dibenahi. Secara kuantitas, produk legislasi yang diundangkan tidak mencapai setengah dari daftar rancangan undang-undang yang terdapat dalam Prolegnas Prioritas 2020. Dari sisi kualitas, minimnya pelibatan masyarakat dalam proses legislasi menjadi hal yang harus diperbaiki pada 2021 hingga tahun-tahun berikutnya. Jika tidak, proses pembentukan peraturan perundang-undangan akan cenderung bersifat represif.
Pada 2020, Dewan Perwakilan Rakyat hanya mampu mengesahkan 13 undang-undang. Lima di antaranya ratifikasi perjanjian internasional antara Indonesia dan beberapa negara. Selain itu, ada satu undang-undang perubahan pada rumpun kekuasaan kehakiman, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dari 14 produk legislasi, hanya tiga yang masuk daftar 37 RUU dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Tahun 2020, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Artinya, proses legislasi dilakukan tanpa merujuk pada daftar RUU prioritas yang telah disusun.
Permasalahan yang muncul saat peramu kebijakan menentukan skala prioritas dapat ditemukan dalam perubahan Undang-Undang Minerba dan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. Kedua undang-undang tersebut tidak perlu disahkan secara terburu-buru di tengah pandemi Covid-19. Sebab, masih terdapat beberapa pasal yang dianggap bermasalah serta hanya menguntungkan kelompok tertentu. Selain itu, muncul dugaan konflik kepentingan dalam pengesahan kedua undang-undang tersebut.
Timpangnya prioritas kepentingan dalam muatan isi beberapa produk legislasi seperti perubahan Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja bisa dicegah melalui pelibatan masyarakat. Melalui langkah itu, pemerintah dapat menampung pelbagai bentuk kehendak dari beragam individu ataupun kelompok masyarakat. Juga membatasi ruang bagi pemerintah untuk membuat tafsir sendiri yang berpotensi hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Mahfud Md. dalam Politik Hukum di Indonesia (2009) telah menegaskan bahwa produk hukum yang berkarakter responsif terlihat dari proses pembentukannya yang bersifat partisipatif, dalam arti menyerap partisipasi kelompok sosial ataupun individu-individu dalam masyarakat. Namun, dalam proses legislasi saat ini, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu konservatif atau represif.
Keterbatasan akses informasi hingga pembentukan peraturan perundang-undangan yang hanya melibatkan sekelompok orang tertentu akan membuka ruang terjadinya korupsi legislasi. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang membuat tujuan pembentukan sebuah aturan hukum tidak tercapai, yang seharusnya bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta tetap berpedoman pada ketentuan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Demi menghindari dampak buruk tersebut, ada beberapa jalan yang bisa ditempuh untuk membuat sebuah aturan hukum yang responsif. Salah satunya: menyusun daftar prolegnas prioritas tahunan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Sebab, percuma saja jika puluhan RUU direncanakan akan dibahas tapi prosesnya berjalan tidak efektif dan jumlah yang ditargetkan tak bisa tercapai. Lebih baik prolegnas prioritas hanya berisi beberapa RUU krusial, tapi dibahas dengan lebih terfokus dan substantif.
Hemi Lavour Febrinandez
Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo