Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bibit Radikalisme di Sekitar Kita

Sekitar 49 persen penduduk Indonesia intoleran dan 7,7 persen setuju pada radikalisme. Perlu penguatan etika dalam pendidikan.

5 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERCOBAAN bom bunuh diri oleh seorang pemuda saat kebaktian di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan, pekan lalu mencemaskan terutama karena ia bukan sel kelompok teroris. Kepada polisi, remaja 17 tahun itu mengaku menjadi simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) setelah berselancar di warung Internet milik kakaknya.

Lewat dunia maya, pelaku belajar merakit bom karena kagum kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, setelah membaca sepintas ideologinya. ISIS adalah sempalan Al-Qaidah yang lebih radikal membunuh orang yang berbeda paham dengan mereka.

Teror gereja di Medan menunjukkan bahwa menjadi radikal tak harus menjadi anggota kelompok teroris—anggapan yang selama ini diyakini sebagai sumber penyebaran radikalisme. Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, pemuda tersebut merupakan pelaku teror bom pertama yang tak terkait dengan jaringan teroris mana pun.

Gejala itu sebetulnya telah direkam oleh Wahid Foundation, yang menggelar survei pada April-Mei 2016 dengan mewawancarai 1.520 responden di seluruh Indonesia. Kesimpulannya, 7,7 persen responden bersedia dan mendukung radikalisme. Yang mencengangkan adalah 49 persen muslim intoleran terhadap mereka yang berbeda dan hanya 0,6 persen yang toleran. Lesbian, gay, biseksual, dan transeksual (LGBT) menjadi kelompok yang paling tak disukai oleh responden ini.

Intoleransi adalah bibit radikalisme. Dan intoleransi lahir dari kebencian kepada mereka yang berbeda. Setiap saat kita menemukan dengan mudah ungkapan-ungkapan kebencian di media sosial. Provokasi berbasis suku, agama, dan ras kian menjadi lazim. Adapun sikap radikal dalam survei itu diukur antara lain dari kesediaan menyumbang terhadap kelompok yang memperjuangkan syariat Islam, meyakinkan orang lain untuk mengikuti ajaran ini, dan menyetujui penyerangan tempat ibadah agama lain.

Remaja seperti pelaku teror gereja Medan mungkin masih labil dalam menerima informasi. Tapi bagaimana memahami kelompok Aliansi Cinta Keluarga, sekumpulan guru besar dan orang terpelajar, yang ingin LGBT dihukum dengan mengajukan permohonan peninjauan undang-undang ke Mahkamah Konstitusi? Dari hasil survei Yayasan Wahid, level pendidikan dan tingkat pendapatan seseorang memang tidak berkorelasi dengan sikap tak toleran.

Para responden yang intoleran dalam survei Yayasan Wahid itu mengaku terpengaruh pandangannya oleh acara-acara dakwah di televisi, ceramah di masjid, dan omongan para ustad. Demokrasi telah melahirkan sisi gelap dampak kebebasan berpikir dan berpendapat.

Hasil survei ini harus menjadi perhatian pemerintah secara serius. Cara paling pokok adalah melawannya dengan menguatkan fondasi logika setiap orang. Karena sekolah dan kampus juga menjadi sumber radikalisme, kurikulum pendidikan harus didesain agar paham itu tak bertambah subur. Pendidikan etika, lewat ilmu-ilmu humaniora, harus ditambah sebagai basis logika.

Etika yang kuat akan melahirkan sikap terbuka terhadap perbedaan di tengah kebebasan dan arus deras informasi seperti sekarang. Dengan pemahaman dan logika yang kuat, demokrasi yang menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat akan menjadi senjata ampuh menangkal radikalisme dan intoleransi dari akarnya, dan berpeluang melahirkan kreativitas.

Indonesia membutuhkan kreativitas untuk menempuh demokrasi yang bertujuan pada kesejahteraan orang banyak. Terutama ikhtiar buat mengikis radikalisme karena bibitnya ada di sekitar kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus