Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ralat Keluarga Tjokroaminoto
KAMI mengucapkan terima kasih atas perhatian majalah Tempo kepada keluarga kami dengan dimuatnya sejarah perjuangan eyang kami, H.O.S. Tjokroaminoto, dalam edisi khusus yang terbit pada 15-21 Agustus lalu. Kami berharap penerbitan edisi khusus ini bermanfaat untuk bangsa Indonesia.
Hanya, ada satu hal yang perlu kami luruskan, yakni soal silsilah keluarga H.O.S. Tjokroaminoto. Tempo hanya menyebutkan ada empat anak Tjokroaminoto, yakni Utari binti Tjokroaminoto, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, dan Ahmad Sujud Tjokroaminoto. Sebenarnya ada lima anak Tjokroaminoto. Yang tidak disebutkan Tempo adalah anak keempat—sebelum Ahmad Sujud—yaitu Islamiyah binti Tjokroaminoto. Kami mohon Tempo bisa meralat informasi soal silsilah keluarga ini karena penting artinya buat kami. Terima kasih.
Harjono Sigit
(Atas nama Keluarga Besar Tjokroaminoto)
Jalan Sisingamangaraja 29,
Jakarta Selatan
Terima kasih atas koreksi Anda.
—Redaksi
Berbeda Soal 1 Syawal
SAYA setuju keanekaragaman merupakan anugerah Tuhan, asalkan perbedaan itu saling melengkapi dan tidak menyentuh esensi kebenaran. Tapi bila keanekaragaman sudah memasuki wilayah ”benar” dan ”tidak benar”, tentu kita harus mencari yang mana yang lebih benar. Dalam ilmu logika, tidak ada dua kebenaran yang memiliki derajat kebenaran yang identik.
Prinsip ini penting diterapkan dalam menyikapi perbedaan mengenai penetapan 1 Syawal, akhir Agustus lalu. Memang benar, perbedaan soal ini sudah berlangsung puluhan tahun. Tidak salah juga kalau perbedaan itu disebut tidak mempengaruhi akidah. Tapi, kenyataannya, perbedaan mengenai penentuan kapan Idul Fitri ini berpotensi menimbulkan gesekan dan riak sosial di tingkat akar rumput. Ini tentu tidak baik.
Karena itu, saya mengimbau pemerintah memfasilitasi pertemuan di antara para tokoh muslim yang masih berbeda pendapat dalam hal metode penentuan 1 Syawal ini. Pertemuan ini amat penting agar para ulama panutan umat bisa duduk bersama mencari titik temu, supaya perbedaan penentuan akhir Ramadan tidak lagi berulang. Ada baiknya juga ahli astronomi dan pakar teknologi diundang untuk didengarkan pendapatnya. Perbedaan mengenai penentuan hari Lebaran, menurut saya, bisa dijembatani.
Hariyanto Imadha
BSD Nusaloka Sektor XIV-5
Jalan Bintan 2 Blok S-1/11
Tangerang Selatan
Rayuan Pulau ‘Kenapa’
SETIAP warga negara wajib berkontribusi dalam gerakan besar pemberantasan korupsi di negeri ini. Izinkan saya berpartisipasi dengan menyumbangkan sebuah puisi berjudul Rayuan Pulau Kenapa. Lirik lagu ini pelesetan dari lagu nasional Rayuan Pulau Kelapa.
Tanah Airku entah kenapa
Negeri Elok jadi merana
Tanah dahulu yang sangat mulia
T’lah dijarah sepanjang masaTanah airku kini t’lah uzur
Tempat korupsi nan amat subur
Tempat kolusi para mafia
Ada dimana-manaMelambai-lambai
Menggoda hati
Berbisik-bisik, untuk kuasaMembuat malu
Dan rendah diri
Tanah airku, Oh... kenapa...
Soen’an Hadi Poernomo
Jalan Tawes Dalam No. 1,
Pasar Minggu
Jakarta Selatan
Tanya Rubrik Arsip
MAJALAH Tempo edisi 1-7 Agustus 2011 memuat informasi sejarah yang agak membingungkan saya. Pada rubrik Arsip disebutkan bahwa pada 7 Agustus 1945, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Inkai yang diketuai Ir Sukarno. Pada referensi lain disebutkan bahwa nama badan itu dalam bahasa Jepang adalah Dokuritsu Jumbi Inkai. Perhatikan perbedaan antara ”Junbi” dan ”Jumbi”.
Kebingungan yang sama saya alami ketika membaca sejarah soal pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 28 Mei 1945. Pada satu buku, lembaga itu disebut Dokuritsu Jumbi Tjosakai, sementara di literatur lain disebut Dokuritsu Juinbi Gosakai. Mana yang benar?
L.E. Harsito
Jalan Bhayangkara Dalam
No. 17, RT 04
Nunukan, Kalimantan Timur
Dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia pada 1995, Badan Penyelidik diterjemahkan menjadi Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, sedangkan Panitia Persiapan tidak diterjemahkan ke bahasa Jepang.
—Redaksi
Solidaritas untuk TKI
KESETIAKAWANAN sebagian besar warga Indonesia akan nasib buruk yang menimpa buruh migran kita di luar negeri patut dipuji. Namun, pada titik tertentu, solidaritas itu bisa menimbulkan kesalahkaprahan yang fatal.
Lihat saja nasib Darsem, tenaga kerja Indonesia asal Subang, Jawa Barat, yang semula terancam hukuman pancung di Arab Saudi karena kasus pembunuhan. Menurut hukum negara itu, Darsem bisa diampuni dan dipulangkan ke Indonesia setelah membayar uang diyat–kompensasi hukuman mati—Rp 4,7 miliar.
Melalui media massa, banyak orang lalu berbondong-bondong mengumpulkan sumbangan untuk menebus Darsem. Terkumpul uang sampai Rp 1,2 miliar. Belakangan ketahuan bahwa uang diyat untuk Darsem ditanggung Kementerian Luar Negeri, sehingga sumbangan warga pun kemudian diserahkan ke keluarga Darsem.
Ini yang tidak masuk akal. Seharusnya sumbangan publik itu diserahkan ke negara, yang sudah membayar kompensasi untuk hukuman mati Darsem. Bagaimana mungkin, orang yang sudah jelas mengaku membunuh di negeri orang justru diberi hadiah di negeri sendiri?
Lie Gan Yong
Pulogadung, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo