Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Surat Pembaca

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Resah Pesan THR

AKHIR bulan lalu, sebuah pesan pendek dari 9291 masuk ke telepon seluler saya (Telkomsel): ”Selamat, Anda masuk daftar yang akan kami berikan THR di akhir bulan. Untuk mengaktifkan, ketik REG THR kirim ke 9168, Rp 10 juta menanti Anda.” Saya pun mendaftar sesuai dengan yang diminta dan dikirimi pertanyaan sekitar hukum Islam. Saya jawab semua pertanyaan hingga berbalas: ”Selamat, Anda telah jawab semua soal. Silakan lanjutkan, ketik THR SOAL ke 9168. Tambah poin dan raih hadiahnya.”

Saya dikirimi pertanyaan lanjutan yang sama hingga tiga kali pada hari itu. Kesal, saya ketik unreg. Pertama gagal, yang kedua berhasil. Berhenti sampai di situ? Tidak. Saya masih dikirimi pertanyaan sampai tiga kali. Lalu saya menelepon bagian pelayanan di 0217202930 tetapi tidak ada yang menjawab. Wah, berapa banyak kerugian saya. Satu sms dikenai biaya Rp 2.200.

Beberapa waktu lalu PT Telkomsel mendapat penghargaan sebagai salah satu BUMN terbaik dengan laba besar. Saya khawatir, keuntungannya didapat dengan cara seperti itu, mungkin bekerja sama dengan jasa content layanan seluler. Berapa ribu orang bernasib seperti saya? Berapa ribu orang terpaksa mengganti nomornya agar tidak dikirimi sms seperti ini.

Yang saya herankan, kenapa pemerintah tidak melindungi warganya dari penipuan ini. Ke mana larinya pajak yang saya bayar kalau saya tidak dilindungi? Kementerian Komunikasi getol mengurus hal yang tidak penting seperti content Internet, yang akibatnya malah merugikan sebagian orang.

Amir Fadillah
Pangkalan Susu, Sumatera Utara

Layanan Dompet Dhuafa

SAYA terharu melihat kiprah lembaga amil zakat Dompet Dhuafa dalam membantu masyarakat miskin, khususnya di bidang kesehatan. Lembaga itu antara lain mendirikan layanan kesehatan cuma-cuma. Ternyata, masih ada lembaga sosial yang memikirkan masyarakat miskin. Mereka memberikan layanan kesehatan gratis ketika layanan kesehatan swasta dengan tarif tinggi menjamur.

Sukses dan selamat berkarya untuk Dompet Dhuafa. Kami menunggu lebih banyak program untuk kemajuan Indonesia, bukan hanya di kesehatan, melainkan juga di bidang lainnya.

Nurlaila Maulina
Jalan Pisangan Raya 2
Cireuende, Ciputat

Perlindungan buat Agus Condro

DALAM pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada 2004, terjadi skandal suap yang diterima oleh beberapa politikus Senayan dengan nilai sekitar Rp 24 miliar. Salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang jadi tersangka adalah Agus Condro, politikus asal PDI Perjuangan. Agus membeberkan kesaksiannya di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi sehubungan dengan penerimaan cek pelawat Rp 500 juta.

Kesaksian Agus Condro layak jadi titik tolak dalam mengungkap kasus tersebut. Kesaksian ini yang menyeret anggota Dewan lainnya. Awal September lalu, Komisi menetapkan 26 politikus dan bekas politikus DPR sebagai tersangka (Tempo, 6-12 September 2010). Menurut kami, Agus Condro harus dilindungi. Pemberian perlindungan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang bisa dipakai sebagai landasan yuridis. Lembaga Perlindungan Saksi, sesuai dengan kewenangannya, wajib memberikan perlindungan terhadap Agus, juga keluarganya.

Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan, ”Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.” Maka, sejatinya, hakim dapat mengambil kesaksian Agus untuk memberikan keringanan hukuman baginya.

Apabila Agus tidak diberi perlakuan dan perlindungan khusus yang menjamin keselamatan dirinya, kita akan sulit menemukan ”peniup peluit”. Padahal, orang seperti Agus Condro membantu mengungkap perkara-perkara pidana.

M. Afif Abdul Qoyim
Peneliti Bela Keadilan Institute
Jalan KH Abdullah Syafei 21-D
Jakarta Selatan

Teror ke Tetangga Pengutang

KITA sering mendengar aksi para debt collector yang ditugasi bank untuk menagih nasabah yang lalai membayar utang kartu kredit. Kami mengalami modus dari penagih HSBC baru-baru ini. Para debt collector bukan saja mengejar nasabahnya, melainkan juga meneror saya sekeluarga, tetangga nasabah itu.

Teror tersebut berlangsung beberapa pekan. Penagih awalnya menelepon ke rumah, meminta saya memanggilkan nasabah itu. Penelepon menggunakan nada memerintah dan ditambah kalimat ejekan. Kami pun menolak permintaannya. Tapi penagih terus menelepon dengan makian kasar kepada anak dan pembantu saya. Semua dilakukan ketika saya bekerja.

Lalu saya minta mereka memberikan nomor telepon seluler saya kepada penelepon. Keesokan harinya sang debt collector yang mengaku bernama Edison dari PT Cakrawala menelepon saya dan menuduh saya bersekongkol dengan nasabahnya. Ia bicara dengan kalimat tidak sopan. Mailbox telepon rumah juga berisi enam pesan dengan perintah dan kata-kata kasar.

Sungguh, semua ini membuat kami terganggu. Kami tidak mengenal tetangga kami, yang tidak pernah memperkenalkan diri sebagai pendatang baru. Kami tidak pernah menjadi nasabah HSBC, tidak pernah tahu tetangga kami mengajukan aplikasi kartu kredit ke HSBC, dan tidak pernah dihubungi HSBC saat persetujuan aplikasi kartu kredit tetangga tersebut. Lalu mengapa kami yang diteror?

Saya minta Bank HSBC menangani masalah ini dengan serius. Saya menuntut penjelasan serta permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan teror mental yang kami hadapi.

DIANA ANGGRAINI
Jalan Elang Malindo, Jatiwaringin
Jakarta Timur

Fenomena Sang Kolonel

Beberapa waktu lalu, Kolonel Penerbang Adji Suradji menulis opini berjudul ”Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan” di harian Kompas. Ia menguraikan seorang pemimpin dengan upaya pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas. Dia menulis, Indonesia sudah dipimpin oleh lima presiden yang masing-masing mempunyai ciri kepemimpinan tersendiri. Dia menyinggung SBY yang selama dua periode belum mampu membalikkan kenyataan perilaku korup para elite negeri ini.

Kritik terbuka kepada panglima tertinggi seperti yang dilakukan oleh perwira TNI aktif, Kolonel Penerbang Adji Suradji, bisa dibilang sangat tabu. Banyak yang memberikan apresiasi kepada sang kolonel tapi tak sedikit yang mengecamnya. Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menyatakan Kolonel Adji Suradji melanggar kode etik.

Kritik merupakan masukan positif dan sangat berharga bagi setiap persoalan. Namun, ketika kritik datangnya dari seorang tentara yang masih aktif, itu menjadi sebuah hal yang luar biasa. Muncul kekhawatiran dari beberapa kalangan, karena seorang tentara aktif berani mengkritik pemimpinnya. Semoga semua bisa berpikir jernih, berkata, bertindak, dan berdoa untuk Indonesia.

Sofyan bin Kamal
Pal Merah Utara, Grogol
Jakarta Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus