Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

1 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koreksi Thomas Americo

Tempo edisi 25-31 Januari 2010, dalam laporan utamanya menuliskan, ”Petinju pertama yang ia promotori adalah Saoul Mamby, yang saat itu akan bertanding dengan juara dunia tinju kelas ringan WBC dari Amerika, Thomas Americo.” Seingat saya justru Thomas Americo petinju Indonesia dan Saoul Mamby yang juara WBC asal Amerika Serikat. Mungkin karena memakai nama Americo, ia disangka orang Amerika. Kekeliruan ini pernah terjadi juga di salah satu acara kuis di sebuah stasiun televisi pada 1980-an. Ketika itu peserta kuis mengira Thomas Americo adalah salah satu penjelajah yang menemukan Benua Amerika.

CHANDRA ENDROPUTRO
Tangerang, Banten

Terima kasih, Anda benar. Surat ini sekaligus sebagai ralat. — Redaksi


Lelucon ala Tempo

BAGI saya, Tempo adalah indikator demokrasi. Ketika orang lain tak ada yang mempersoalkan korupsi Soeharto, Tempo menulis impor kapal perang bekas dari Jerman Timur. Hasilnya Soeharto membredel Tempo. Kematian Tempo adalah kematian demokrasi. Setelah hidup lagi, majalah ini kembali menyajikan lelucon-lelucon pengasah otak, seperti kasus Tenabang dan yang terbaru soal penjara mewah Artalyta Suryani. Bravo Tempo!

IBRAHIM
Ganggeng, Jakarta

Terima kasih, Pak Ibrahim. — Redaksi


Gurita tanpa Indeks

KARENA penasaran, saya mencari buku Gurita Cikeas dan Cikeas Menjawab yang bikin heboh politik nasional itu di pasar buku Palasari, Bandung. Saya buka-buka, keduanya cuma kliping media massa. Saya urung membeli buku itu karena tak mencantumkan indeks. Padahal indeks buku amat penting untuk memudahkan pencarian saat membaca kembali. Di Barat, indeks sudah jadi kewajiban para penulis buku. Di kita, indeks sering kali disepelekan keberadaannya.

SUNGKOWO SOKAWERA
Rancamanyar, Bandung


100 Hari yang Kacau

SEPERTI di atas, begitu pula di bawah. Elite mencuri uang lewat Bank Century, rakyat mencuri uang lewat mesin penarik uang otomatis. Seratus empat hari yang lalu, dengan mantap Susilo Bambang Yudhoyono berbicara soal pemberantasan korupsi. Kini pemerintah mengklaim telah berhasil mewujudkan kesejahteraan ekonomi, hukum, dan seterusnya.

Faktanya, kesejahteraan menurun, hukum makin kacau, pembangunan tak berjalan. Harga-harga naik, lapangan pekerjaan menyempit akibat perdagangan bebas, pendidikan mahal dan kesehatan makin tak terjangkau. Walau pemerintah menutup-nutupi semua ini dengan segala cara, hal tersebut akan menjadi pengetahuan rakyat.

M. YUDHIE HARYONO
Direktur Eksekutif Nusantara Center


100 Hari Bukan Ukuran

SERATUS hari pemerintahan bukan ukuran kerja lima tahun. Apakah pemerintah gagal karena belum menyelesaikan seluruh program dalam waktu seratus hari? Belum tentu. Perlu waktu menyelesaikan agenda-agenda besar di negara ini. Rakyat akan menilai apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil atau tidak. Indikatornya, pemilihan umum mendatang Partai Demokrat akan dipilih atau dicampakkan rakyat. Kemarin ribuan orang melakukan unjuk rasa mengkritik 100 hari pemerintahan Yudhoyono-Boediono. Unjuk rasa berjalan damai. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat dapat memahami pemerintahan Yudhoyono.

RIRIEN ANDANU
Nunukan Barat, Sulawesi Selatan


Tak Perlu Revolusi

DEMONTRASI 28 Januari lalu makin membikin pusing rakyat yang sudah capek dengan keadaan. Rakyat sudah jenuh dengan kelakuan Dewan Perwakilan Rakyat soal Bank Century. Yudhoyono-Boediono mungkin banyak kekurangan, tapi mereka dipilih rakyat kebanyakan, suka atau tak suka. Lagi pula, mereka memperhatikan perbaikan demokrasi dan penegakan hukum. Silakan berdemo, tapi jangan menakut-nakuti dengan revolusi segala.

RIDHO KALAM
Bojonggede, Jawa Barat

Surat senada dikirim Linda Surachman dari Lebak Bulus, Jakarta Selatan; Rosa Susanti dari Jakarta Pusat; Jenifer Woworuntu dari Lenteng Agung, Jakarta Selatan; Woro Sembodhro dari Baciro, Yogyakarta; dan Jusuf Sani di Bogor, Jawa Barat. —Redaksi


Aksi 28 Januari Loyo

SEPERTI diprediksi semula, aksi 28 Januari loyo. Itu karena demonstrasi yang bisa mengarah ke gerakan sosial tersebut tak memenuhi dua syarat aksi massa: sumbangan dana oleh pengusaha dan dukungan tentara. Para pengusaha masih gamang, misalnya jika Boediono diganti oleh figur lain, justru malah memperburuk keadaan. Adapun pensiunan tentara yang tak suka dengan pemerintahan belum menunjukkan dukungan terhadap people power.

Karena itu, pemerintah tak perlu khawatir demonstrasi seperti ini bakal memakzulkan pemerintah yang dipilih rakyat. Lagi pula, parlemen sudah dikuasai partai koalisi sejak awal. Jadi Yudhoyono punya kekuatan ampuh untuk bekerja menyejahterakan kita, rakyatnya.

FAREL KUTO
Depok, Jawa Barat


Terima Kasih PT Pos

SURAT saya yang dimuat Tempo, 3 Januari 2010, soal kiriman-kiriman pos yang sering tak sampai tujuan rupanya ditindaklanjuti dengan sigap oleh PT Pos Indonesia. Kepala Kantor Pos Depok dua kali ke rumah saya untuk menjelaskan soal paket itu. Saya ucapkan terima kasih kepada PT Pos atas perhatiannya terhadap keluhan pelanggan ini. Saya minta maaf telah merepotkan Kepala Kantor Pos Depok.

H SLAMAT M.
Depok, Jawa Barat


Mau ke Mana Pendidikan Indonesia?

SEBAGAI guru saya kecewa atas keputusan Mahkamah Agung soal ujian nasional yang bukan lagi tolok ukur kelulusan siswa. Soalnya, dampaknya banyak. Pertama, melukai perasaan para pendidik yang telah bekerja keras mencerdaskan siswa. Kedua, tak ada tolok ukur pendidikan dan keberhasilan belajar sehingga tak ada kenaikan peringkat sekolah dari rendah menjadi menengah dan tinggi menjadi favorit. Ketiga, motivasi belajar siswa akan loyo, terutama di sekolah berperingkat rendah. Empat, tak ada lagi bumper bagi guru tak meluluskan siswa yang memang tak cukup alasan untuk lulus.

Karena itu, ujian nasional harus tetap jadi tolok ukur. Mengapa hukum berpihak kepada penggugat yang cuma 10 persen karena alasan hak asasi, sedangkan ada 90 persen yang mendukung ujian nasional? Mau dibawa ke mana masa depan bangsa ini? Jika kasus ini sampai ada peninjauan kembali, semoga keputusannya adalah ujian nasional tetap menjadi tolok ukur keberhasilan siswa dan sekolah.

DWIYANTO A.H.
Sleman, Yogyakarta


Pemakzulan Tak Perlu

NEGARA ini tidak pernah beranjak dari keterpurukan. Setelah sepuluh tahun lebih reformasi, tidak ada tanda-tanda baik dalam perpolitikan Indonesia. Perebutan kekuasaan dengan dalih-dalih yang tak masuk akal terus diwacanakan kepada masyarakat, seperti pemakzulan. Walau semua menolak terhadap apa yang disebut pemakzulan kepada pemimpin saat ini, gerak-gerik dan aksi yang mendukung gerakan pemakzulan terlihat jelas dan sangat nyata.

Para calon pemimpin negeri ini hanya haus kekuasaan, tapi tidak haus memberikan pembelajaran politik yang sehat. Selama ini politik terus dicampuri dengan balas dendam. Para tokoh muda berwacana bagus akan membangun bangsa dan negara ini, tapi berperilaku seperti preman dalam merebut lahan parkir atau daerah kekuasaannya. Hendaknya para politikus muda lebih berpikir positif terhadap kelangsungan negara ini, bukan hanya memikirkan bagaimana cara merebut kekuasaan dengan wacana yang membuat rakyat jadi bingung.

Rakyat sudah cukup mengerti dan dapat menilai siapa yang hanya haus kekuasaan dan siapa yang bersungguh-sungguh menjaga negara ini tetap utuh berdiri. Rakyat tidak mudah percaya pada beberapa lembaga swadaya masyarakat dan para tokoh yang sering mengatakan atas nama rakyat. Nyatanya, perjuangan mereka hanya untuk kepentingan sendiri dan kelompok.

HENDRIWAN ANGKASA
Tambora, Jakarta Barat

Rizal Mappaseng dari Bogor mengirimkan surat senada bahwa pemakzulan presiden itu tak mudah. Lalu Satya Nugraha mengirim surat yang menyarankan menunggu pemilihan umum sebagai pemakzulan yang sah. —Redaksi


Segalanya Adalah Uang

JIN qian wang neng adalah kiat Raja Gula abad ke-19, Oei Tiong Ham, yang artinya ”seribu macam hal bisa dibeli dengan uang”. Itulah rupanya yang dilakukan Artalyta Suryani atau Anggodo Widjojo. Artalyta menyulap kamar penjara menjadi kamar hotel. Lalu Anggodo membela kakaknya yang kini hidup enak di negara tetangga padahal dia tersangka korupsi. Hal yang sama agaknya bakal terjadi terhadap kasus Bank Century. Uang adalah segalanya.

F.S. HARTONO
Sinduadi, Yogyakarta


Soal Penembakan di Papua

Aksi penembakan di area pertambangan PT Freeport yang berlangsung sejak Juli 2009 hingga kini sungguh mengkhawatirkan. Belum jelas siapa pelaku teror tersebut, apakah kelompok Organisasi Papua Merdeka atau bukan. Para pelakunya dapat dikatakan tidak bermoral karena mengorbankan masyarakat yang tidak mengerti apa pun sebagai target. Kita berharap aksi penembakan ini segera diungkap dan ditangkap para pelakunya.

MAXIMUS MERE
Tambak, Jakarta


RALAT

DALAM laporan utama Tempo edisi 25-31 Januari 2010 halaman 118 tertulis, ”Di Markas Besar TNI, Cijantung....” Seharusnya, ”Di Markas Besar TNI, Cilangkap....”

Mohon maaf atas kesalahan ini. —Redaksi

lll

Inforial Wirausaha Mandiri edisi 25-31 Januari halaman 34-35 mencantumkan Pemenang I Alumni & Pascasarjana Bidang Boga adalah Tririan Arianto, wirausahawan Jamur Organik Crispy. Seharusnya, Pemenang I Alumni & Pascasarjana Bidang Boga, Tririan Arianto, wirausahawan Mushroom Factory.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus