Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK di kursi saksi, Suwandojo, 55 tahun, menatap tajam sembilan terdakwa pembobol mesin anjungan tunai mandiri (ATM) Bank Central Asia. Rabu pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dia menceritakan duitnya yang tiba-tiba raib dari rekeningnya. Dia mengetahui kehilangan itu pada 31 Agustus 2009, ketika hendak mengambil uang dari ATM di Perumahan Citra 2, Jakarta Barat. Transaksi gagal karena kartu ATM-nya ternyata diblokir bank.
Suwandojo menghubungi petugas call center BCA dan disarankan mengganti nomor identitas pribadinya (PIN). Setelah PIN diganti, kartunya bisa kembali digunakan. ”Saya langsung cek saldo, ternyata uang saya sudah berkurang Rp 100 juta lebih,” tutur nasabah BCA sejak 2006 ini. Padahal sebelumnya tak ada penarikan sebesar itu. Kartu ATM-nya pun tak berpindah tangan. ”Saya juga tidak kenal mereka,” tuturnya sambil mengarahkan wajahnya ke para terdakwa.
Bank lalu mencetak transaksi rekening Suwandojo. Dari situ terlihatlah 24 kali penarikan pada 28 dan 29 Agustus 2009 yang tidak dilakukan si empunya kartu. Pada sekitar tanggal itu, 500-an nasabah BCA bernasib serupa. Mereka berbondong-bondong mengadu ke bank. Sampai 31 Agustus, duit nasabah yang tergangsir sekitar Rp 700 juta. ”Hari itu juga BCA melaporkan kasus ini ke Polda Metro,” tutur Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Boy Rafli Amar ketika ditemui Tempo di kantornya, Rabu pekan lalu.
Tak sampai sebulan, polisi berhasil membekuk sembilan anggota gerombolan pembobol ATM ini. Awalnya, polisi menangkap Sukirman, yang sedang beraksi menarik uang di ATM bersama di Kampung Gusti, Penjaringan, Jakarta Utara, pada 22 September. Berikutnya polisi mencokok Aseng alias Yusuarno di rumahnya di Jelambar, Jakarta Barat.
Dari Aseng terungkap anggota lain dan berturut-turut ditangkap polisi, yakni Yucuardi, Hendro Basuki, Alex Rusli, Martin Setiawan, Budi Syahputra, Roni Wijaya, Diana Susana. ”Mereka bilang pemimpinnya Alex Rusli,” ujar Boy.
Kuasa hukum komplotan Alex, H.M. Naspudin, membantah kliennya yang merencanakan aksi kejahatan ini. ”Otaknya ada di Australia dan Kanada,” ujarnya kepada Tempo. Dia juga membantah kliennya kenal dengan pelaku pembobol ATM di Bali dan beberapa tempat lain pada Januari lalu. Alasannya, sewaktu mereka ditangkap pada September 2009, semua peralatan untuk membobol ATM telah disita.
Menurut sumber Tempo, kelompok Alex dan kelompok pembobol di Bali adalah dua tim dengan jaringan dan bos yang sama. Bos inilah yang memasok dan mengajarkan penggunaan alat-alat pembobol, yakni skimmer atau alat pembaca data kartu magnetik dan kamera pengintai. ”Bos ini tinggal di Toronto, Kanada,” ujarnya.
Brigadir Polisi Huntal Sibarani saat bersaksi di pengadilan menuturkan, sewaktu Aseng ditangkap bersama Yucuardi, polisi menyita barang bukti 60 kartu ATM palsu putih polos tanpa logo atau nama bank. Di setiap kartu tertera PIN masing-masing. ”Mereka mengaku terima dari Alex Rusli dan Hendra,” Huntal menerangkan.
Polisi lalu bergerak ke Jalan Latumenten, Jakarta Barat. Sasarannya kali ini Hendra. Polisi beruntung karena Alex sedang bersama Hendra menunggu setoran ”hasil kurasan”. Hari itu juga, polisi menangkap Hendra, Alex, dan anak buahnya.
Dari penangkapan itu, kata Huntal, polisi menyita barang bukti, antara lain, mesin penghitung uang, skimmer atau alat pembaca data, netbook, kartu ATM palsu, dan hasil jarahan Rp 200 juta. ”Semua dari rekening BCA,” ucapnya.
Dari barang bukti dan pengakuan Alex, menurut Huntal, terungkap ada pelaku lain di luar negeri. Pelaku inilah yang mengurai data dari skimmer yang dikirimkan Alex. Setelah diolah, data kembali dikirimkan ke Alex, berupa nomor rekening dan PIN. ”Oleh Alex, data itu dimasukkan ke kartu ATM palsu,” tutur Huntal. Berbekal kartu duplikat inilah anak buah Alex menguras isi ATM, termasuk dari rekening milik Suwandojo.
Boy tak menampik keterlibatan warga asing dalam komplotan Alex ini. ”Ada Ming Ming dan Edward di Australia dan Val di Kanada,” ujarnya. Kini polisi sedang mengejarnya dengan bantuan Interpol. Namun Boy belum bisa memastikan apakah pembobol ATM di Bali bagian dari komplotan Alex. Tapi dia membenarkan ada kemiripan modus, yakni sama-sama memakai skimmer dan sebagian besar uang ditarik dari luar negeri.
Wakil Direktur Utama PT Bank Central Asia Jahja Setiaatmadja ketika memberikan keterangan di Bank Indonesia membenarkan bahwa 90 persen dari sekitar Rp 5 miliar yang dibobol dari nasabah di Bali ditarik dari Australia. Dalam kasus yang terjadi pada 2009, ada penarikan dalam jumlah besar dari Toronto, Kanada. ”Kami mengganti semua dana nasabah yang dibobol ini,” tuturnya.
Soal kemungkinan adanya jaringan Rusia, Boy menduga, jaringan yang dimaksud adalah Val, yang punya dua kewarganegaraan, yakni Rusia dan Kanada. Info jaringan Rusia itu sempat membuat konsul kehormatan Rusia di Bali, Nuku Kamka, kerepotan. Dia termasuk yang dimintai keterangan Kepolisian Daerah Bali tentang keberadaan orang Rusia di Pulau Dewata yang jumlahnya memang meningkat ini. ”Tak mungkin ada yang terkait dengan kasus ini,” katanya.
Kecurigaan polisi di Bali agak masuk akal. Pasalnya, penyidikan mengarah ke maling yang orang Rusia, korbannya di Bali, dan kebetulan jumlah turis Rusia di sana memang banyak—salah satunya ditandai dengan bermunculan restoran khusus dengan bahasa Rusia. Namun hal itu tidak menjamin apakah si otak kejahatan ada di Bali. Seperti kata Vedanta Wijaya, pemilik restoran Rusia di Bali, Slavyanka, yang tidak tahu-menahu tentang kelompok Rusia pembobol ATM. Dia pun tidak bisa mengingat apakah ada tamu yang mencurigakan. ”Bisa saja, kalau tamu banyak ada yang terselip,” ujarnya.
Seorang penyidik yang meminta tidak disebutkan namanya menuturkan, perkenalan Alex dengan Ming Ming dan Edward terjadi ketika Alex tinggal di Australia. Menurut dia, mereka ini perancang kejahatan dan yang mengajarkan kepada Alex cara mencuri data dari kartu ATM. Alex lalu membentuk tim. ”Anak buah Alex adalah pekerja bapak Alex yang pengusaha,” katanya.
Menurut penyidik ini, Alex menempelkan skimmer pada mulut lubang kartu ATM hanya dengan double tape. Setiap skimmer mampu menyadap data dari 50 kartu ATM dalam enam jam. Skimmer selalu bekerja berpasangan dengan kamera pengintai sebesar kancing yang mengarah ke papan angka. Kamera ini otomatis bekerja begitu kartu ATM masuk dan mati ketika kartu dicabut. ”Semua alat ini bisa dibeli di Jakarta, harganya Rp 5 juta sampai 15 juta,” katanya.
Selanjutnya, Alex memindahkan data dari skimmer ke dalam netbook. Lantaran tidak mampu membaca data itu, Alex mengirimkannya ke rekannya di Australia melalui Skype—sarana video call sekaligus transfer data—untuk diolah. Nah, data hasil olahan itu, menurut penyidik, diduga tidak dikembalikan semuanya ke Alex. ”Jadi, misalnya Alex mengirim data dari 1.000 kartu ATM, bisa saja yang dikirim balik cuma 700,” kata dia.
Itu sebabnya, menurut dia, uang bisa dicuri dari negara lain melalui ATM bersama seperti Cirrus atau Alto, yang punya koneksi dengan BCA. Buktinya, kata dia, nilai jarahan yang semula dilaporkan bank Rp 700 juta belakangan membengkak hampir Rp 6 miliar. Pelaku, kata penyidik ini, tidak menyasar bank tertentu. ”Yang dia sasar adalah jenis ATM yang bisa dibobol dengan skimmer,” katanya.
Pembobolan ATM yang dilakukan gerombolan Alex, menurut Ruby Alamsyah, ahli forensik digital, tidak termasuk kategori kejahatan dunia maya (cyber crime). Sebab, Alex sama sekali tidak masuk ke sistem banknya. ”Ini hanya pencurian biasa dengan skimmer, tapi lintas negara,” katanya.
Itu pula sebabnya jaksa penuntut umum mengenakan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan dan Pasal 362 tentang pencurian kepada Alex dan delapan temannya. ”Ancaman hukumannya maksimal enam tahun,” kata jaksa Djumadi.
Anne L. Handayani, Sutarto, Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo