Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mari Melanggar Lalu Lintas di Jakarta
Satu hal paling konsisten di Jakarta adalah kesemrawutan lalu lintas. Siapa pun gubernurnya atau kepala kepolisian daerahnya, persoalan ini tak pernah bisa diselesaikan. Para pengendara sepeda motor menjejali celah-celah sempit, menikung seenaknya, melawan arus lalu lintas, dan selalu ingin menang sendiri. Pengemudi mobil berperilaku serupa: pindah-pindah jalur sesuka hati, tak mau antre, sering main klakson begitu rupa.
Para pejalan kaki tak pernah mendapat tempat di Ibu Kota. Banyak ruas jalan tak dilengkapi jalur pedestrian. Kalaupun ada, sarana publik ini dijadikan tempat berjualan pedagang kaki lima atau berubah fungsi menjadi pangkalan ojek. Banyak pula pengendara sepeda motor yang menjajah jalur pedestrian ini pada jam-jam macet.
Yang lebih parah, jalur bus khusus alias busway kini tak ada bedanya dengan jalan reguler. Polisi mengabaikan saja para pengemudi mobil atau pengen dara sepeda motor memasuki jalur untuk Transjakarta. Padahal di setiap ujung jalan, tanda larangan masuk selalu dipacak besar-besar. Saya sungguh bangga menjadi warga Jakarta: bisa melanggar lalu lintas seenaknya.
Zufar Bahauddin
Wisma Boedhi
Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Klarifikasi TNI
ARTIKEL ”Memanfaatkan Laskar Menganggur” pada majalah Tempo edi si 31 Agustus-6 September 2009 merupakan rangkuman wawancara dengan saya. Namun saya sungguh kecewa terhadap pemberitaan tersebut. Beberapa hal tidak sesuai dengan pernyataan saya. Selain bisa menjadi informasi yang keliru bagi pembaca setia majalah Tempo, dapat mengganggu soliditas antara Tentara Nasional Indonesia dan institusi serta anggota polisi. Karena itu, perlu dikoreksi:
a. Mengenai judul berita, saya tidak pernah mengucapkan bahwa TNI saat ini menganggur. Judul tersebut merugikan institusi dan segenap prajurit TNI. Timbul kesan, seolah-olah prajurit TNI makan gaji buta. Yang saya jelaskan, TNI selaku alat negara di bidang pertahanan memiliki struktur dari pusat hingga tingkat desa. Prajurit dapat membantu menanggulangi terorisme. Setidaknya untuk pendeteksian dan pencegahan. Untuk tahap penindakan dan rehabilitasi, jelas tidak bisa dilakukan TNI sebelum ada aturan pelibatan yang baku.
b. Pada alinea kedua tercantum: empat skenario: Polri menangani masalah secara mandiri, Polri didukung tentara, TNI mengambil alih, dan TNI memegang kendali. Skenario ini sama sekali bukan bersumber dari saya. Saya hanya menjelaskan bahwa TNI dan Polri sudah melaksanakan latihan bersama pada 2008 di Jakarta dan Sulawesi Utara serta merencanakan latihan serupa pada akhir 2009. Hasilnya akan dijadikan ma sukan dalam penyusunan aturan pelibatan TNI pada penanganan terorisme.
c. Pada alinea keempat terdapat kalimat: ”Undang-Undang Pertahanan menga takan...,” yang benar adalah ”Undang-Undang TNI mengatakan….”
d. Pada alinea ketujuh dicantumkan kalimat: ”Untuk itu TNI punya aparat: komando teritorial organik sampai tingkat desa. Sekarang komando ini menganggur karena tugasnya diambil alih polisi.” Saya tidak menyebut komando teritorial, tapi komando kewilayahan atau ko mando utama TNI. Juga tidak mengata kan komando ini menganggur, apalagi men de kla rasikan tugas komando kewilayahan TNI diambil alih oleh Polri.
Kepala Pusat Penerangan TNI
Marsekal Muda TNI Sagom Tamboen, SIP
–Terima kasih atas penjelasan dan masukan Anda. Judul memang bukan kami kutip dari pernyataan Anda melainkan dari narasumber lain. Soal sejumlah skenario penanganan terorisme, diambil dari berita Puspen TNI di www.tni.mil.id pada 22 Desember 2008.
Koreksi Singapore Airlines
BERKAITAN dengan artikel ekonomi pada majalah Tempo edisi 31Agustus-6 September 2009 berjudul ”Trayek Lokal Membawa Nikmat”, kami ingin menginformasikan bahwa dalam tulisan tersebut terdapat kesalahan faktual yang perlu diluruskan. Kesalahan itu terletak pada:
a. ”Sampai akhir Juni 2009, maskapai milik pemerintah Singapura ini telah rugi sekitar US$ 212 juta (Rp 2 triliun)”. Seharusnya: S$ 271 juta.
b. ”… Singapore Airlines terpaksa mengandangkan semua Boeing 747 lantaran kurang efisien.” Sebenarnya: Si ngapore Airlines sampai saat ini masih mengoperasikan sembilan pesawat B747 400.
c. ”Kini, Singapore Airlines hanya menerbangkan dua jenis pesawat Boeing 777 dan Superjumbo A320 untuk terbang jarak jauh.” Sebenarnya: Singapore Airlines mengoperasikan beberapa jenis pesawat untuk penerbangan jarak jauh, yaitu 31 unit B777-200, sembilan unit superjumbo A380-800, dan lima unit A340-500. Adapun jenis pesawat A320 tidak termasuk armada Singapore Airlines.
Kami sangat berharap redaksi majalah Tempo dapat meralat berita tersebut.
Glory Henriette
Manajer Hubungan Masyarakat
–Terima kasih atas penjelasannya. Pemuatan surat ini sekaligus sebagai ralat atas kesalahan data.
Air Bersih Bermasalah
SELAMA 10 tahun, warga RT 13 RW 04 Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, belum bisa menikmati fasilitas air bersih. Padahal instalasi perusahaan air minum telah terpasang. April lalu, warga menyampaikan keluhan ini kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat mengunjungi Kalibaru. Gubernur memberi respons positif dengan memerintahkan PT Thames Pam Jaya untuk mengupayakan air bersih di Kalibaru dalam waktu enam bulan sejak kunjungan.
Tak lama kemudian, perusahaan memang memasang pipa-pipa untuk melaksanakan instruksi gubernur itu. Namun air bersih ini tak bisa digunakan warga dengan baik. Informasi yang kami peroleh, air itu diperjualbelikan oleh sejumlah oknum.
Air yang mengalir pun sangat kecil. Akhirnya sebagian warga menggunakan mesin pompa. Hal ini tentu menambah pengeluaran. Malah di RW 4 dan 5 air bersih sama sekali belum mengalir.
Syamsudin
Pengurus RT 13 RW 04
Jalan Kalibaru Barat, Jakarta Utara
Andaikan Budaya Korupsi Juga Diklaim
BANYAK produk budaya asli bangsa Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia, di antaranya lagu Rasa Sa yange, reog Ponorogo, batik Jawa, angklung Jawa Barat, dan tari pendet dari Bali. Beberapa produk makanan, seperti rendang dan tempe, juga diklaim.
Rupanya Malaysia lupa bahwa Indonesia masih punya produk ”budaya” lain, yaitu korupsi. Disebut produk karena fakta menunjukkan korupsi telah bertumbuh sejak negeri ini merdeka, berurat akar ke berbagai sendi kehidupan bangsa. Hampir setiap rezim memiliki tekad sama, yaitu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya tapi belum juga tercapai.
Nah, kalau saja Malaysia mau mengklaim korupsi sebagai produk budaya mereka, saya kira tidak ada satu pun anak bangsa di negeri ini yang keberatan. Bahkan, dengan senang hati kita akan menyerahkannya lengkap dengan para pelakunya. Kalau ”budaya” korupsi dirampas Malaysia, pemberantasannya akan lebih cepat karena di negeri jiran itu hukuman bagi koruptor adalah mati ditiang gantungan.
Sarjito
Lhok Seumawe, Aceh
Kecil Jumlah Ataksia di Inggris
KETIKA saya membaca rubrik Gaya Hidup tentang penyakit ataksia pada majalah Tempo edisi 24-30 Agustus 2009, saya sempat terpesona. Baru kali ini mendapat keterangan tentang penyakit degeneratif itu.
Namun, ketika tulisan itu menyebutkan penderita ataksia di Kerajaan Ing gris 7 persen, sedangkan di Amerika Serikat cuma 150 ribu, saya terperanjat. Mana mungkin 7 persen penduduk Inggris yang 60 juta jiwa terkena penyakit ini, sedangkan Amerika yang berpenduduk 300 juta hanya 0,05 persen. Informasi yang saya peroleh, penderita di Inggris ternyata hanya sekitar 5.000 orang.
Marcus Susanto
81/25 Market Street, Sydney, Australia
—Terima kasih atas informasinya.
Bangsa Salah Kaprah
PARA pemimpin bangsa ini sering salah kaprah, antara lain:
a. Mempersepsikan seolah-olah Indonesia memiliki kekayaan minyak dan gas melimpah-ruah. Padahal produksi minyak kita hanya 1,4 persen dari total produksi dunia dan produksi gas hanya 2,6 persen. Akibat persepsi yang salah, kebijak an dan strategi pengelolaannya menjadi salah. Dampak lebih jauh, kita menjadi bangsa boros energi dan resisten terhadap upaya pengurangan subsidi bahan bakar.
b. Penjualan gas pipa dari Jambi untuk power plant di Singapura. Seharusnya Indonesia membangun power plant di Batam kemudian listriknya (bukan gasnya) dijual ke Singapura.
c. Sebagai negara kepulauan, visi, strategi, dan kebijakannya sama sekali tidak mencerminkan negara maritim. Seharusnya sistem pendidikan, teknologi, pembangunan ekonomi, industri, dan transportasi berorientasi ke laut, termasuk kekuatan militernya.
Sugriwan Soedarmo
Prabumulih, Sumatera Selatan
Perbaikan Tak Kunjung Usai
SETIAP mendekati Lebaran, selalu saja Departemen Pekerjaan Umum sibuk memperbaiki sarana umum. Di Jakarta, puluhan pekerja sibuk menambal aspal jalan setiap malam. Beberapa yang telah ditebalkan seperti di Jalan Sudirman, Tanah Kusir, sebagian Jalan Kesehatan, Sultan Agung, dan Arteri Pondok Indah.
Sejumlah jalur mudik pun demikian. Karena pengerjaan di Jakarta dilakukan malam hari, dampak macet bisa ditekan. Yang jadi masalah, yang di luar Jakarta. Biarpun malam dikebut, sering tak kunjung selesai. Akibatnya, separuh badan jalan tak bisa digunakan sehingga menyebabkan kemacetan.
Saya heran, mengapa perbaikan sarana umum ini hampir selalu menjelang Lebaran. Mengapa tidak dilakukan awal tahun? Begitu juga dengan saran lain, seperti perbaikan saluran air, jembatan, dan aliran sungai. Bila dikerjakan di awal tahun, bukankah dapat mengge rakkan ekonomi rakyat sebagai bentuk kerja padat karya? Juga meminimalkan efek macet menjelang Lebaran.
Perbaikan-perbaikan ini juga terkesan tak serius. Bayangkan, setelah diaspal, lima atau tujuh bulan kemudian banyak lubang muncul di sana-sini. Bila ditambah terpaan hujan, jalan itu langsung hancur. Hal ini mengindikasikan dua kemung kinan: bahan yang digunakan tak berkualitas atau pengerjaannya asal-asalan. Jangan-jangan ini hanya jadi proyek tahunan untuk mengeruk uang negara. Maklum, ini lahan basah karena dana pembangunan infrastruktur mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.
Asep Hartono
Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo