Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis Listrik di Pekanbaru

SEKITAR sebulan terakhir warga Kota Pekanbaru dirundung musibah akibat krisis listrik. Pemadaman bergilir hingga 12 jam per hari. Ini tentu sangat kontraproduktif dalam meningkatkan iklim investasi. Pemadaman juga sangat mengganggu mahasiswa dan pelajar serta sektor usaha kecil.

Beberapa peralatan elektronik seperti televisi, kulkas, dan komputer rusak. Bahkan, secara tidak langsung, pemadaman itu menjadi penyebab meningkatnya kebakaran rumah di Pekanbaru akhir-akhir ini. Sebab, kebakaran disebabkan genset meledak, lilin meleleh, dan sebagainya.

Bagaimana tanggung jawab PLN? Apakah frekuensi pemadaman tidak menjadi alat untuk menilai kinerja petingginya? Semestinya PLN memiliki database kapasitas pasokan, kebutuhan listrik masyarakat, peningkatan kebu-tuhan listrik jangka panjang, dan langkah antisipatif jika suplai listrik berkurang.

Riau memiliki sumber energi yang melimpah, antara lain batu bara dan minyak bumi. Itu semua bisa untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga uap atau tenaga diesel.

RUDY RAMON POHAN Perumahan Bumi Rezki Permai Blok H No. 10, Pekanbaru, Riau

Iri dengan Daerah Bintang

MEMBACA majalah Tempo edisi 17-23 Agustus 2009 tentang Sembilan Daerah Bintang, saya merasa iri. Kreativitas dan inovasi bupati atau wali kota di daerah itu memungkinkan rakyatnya mendapat hak-hak mereka yang paling hakiki, salah satunya hak pendidikan.

Berbeda dengan kota saya, Pematangsiantar, pejabat daerahnya malah menukar guling gedung SMA Negeri 4 Pematangsiantar dan sebuah SD negeri untuk dijadikan pusat bisnis. Tentu saja ini mendapat tentangan luas dari masyarakat terutama guru, siswa, dan orang tua murid.

Kondisi itu tentu saja memprihatinkan. Ini hendaknya dijadikan pelajaran bersama bahwa tanpa supervisi pemerintah pusat dan penegakan hukum yang baik, otonomi daerah berpotensi menciptakan raja-raja kecil yang bisa bertindak sewenang-wenang.

Nama dan alamat di redaksi

Mengebiri Pemberantasan Korupsi

PEMBENTUKAN Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi hingga saat ini belum jelas. Apabila pembuatan itu melewati batas akhir, 19 Desember, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan berakhir. Tanpa pengadilan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi hanyalah pistol tanpa peluru. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat malah mengatakan Komisi tidak berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan tanpa Antasari Azhar, ketua nonaktif.

Apakah benar-benar terjadi proses penghangusan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis? Belum sadar dan lupakah kita akan dampak korupsi di Indonesia? Iklim investasi menjadi sulit, pendidikan semakin mahal, akses kesehatan tidak dirasakan semua golongan, dan mental menjadi bobrok.

DYAN YUSTISIA Jl. Roda 54, Bogor

Pesantren Bukan Pencetak Teroris

DALAM sebuah diskusi, dosen Universitas Islam Negeri Jakarta Bachtiar Effendy menegaskan bahwa pondok pesantren tidak menghasilkan teroris. Menurutnya, sejak zaman kolonial, kurikulum di pesantren tak pernah berubah. Yang dipelajari santri dulu seperti Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi sama dengan pelajaran santri saat ini.

Penegasan ini patut kita perhatikan. Sebagai lembaga pendidikan formal agama Islam, pesantren berperan penting meningkatkan sumber daya manusia dan kualitas moral anak bangsa. Sayangnya, beberapa alumni tergalang oleh penganut ideologi ekstrem sehingga terlibat dalam beberapa peledakan bom di Tanah Air. Mereka telah dicuci otaknya lalu menjalani beberapa latihan militer di Malaysia, Pakistan, Afganistan, atau Filipina Selatan.

Belajar dari beberapa kasus, para pengasuh pesantren perlu menanamkan pemahaman yang benar mengenai perbedaan antara jihad, iman, dan Islam. Hal ini juga berlaku di sekolah-sekolah umum lainnya. Selain itu, juga banyak kondisi sosial kita yang harus dibenahi seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan, dan aksi-aksi kekerasan.

ANGGI ASTUTI Parung Permai Blok I-2/ No. 15, Bogor

Terorisme dan Media Massa

KEJAHATAN terorisme semakin santer diberitakan berbagai media massa sejak bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton. Buntutnya adalah sensasi dan drama penyergapan teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Sebuah stasiun televisi mewartakan bahwa teroris yang tewas ditembak Detasemen 88 Antiteror adalah Noor Din M. Top. Ternyata dia Ibrohim, tersangka pelaku pengeboman di kedua hotel.

Sebagian masyarakat merasa terkecoh oleh pemberitaan media massa terutama televisi yang menyebut kematian Noor Din. Kredibilitas media dipertaruhkan saat siaran langsung. Saya kira terlalu dini menyimpulkan Noor Din berhasil disergap. Berbagai kalangan kemudian mempertanyakan cara kerja media yang dinilai lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi.

Peristiwa itu akhirnya hanya sebagai tontonan, bukan tuntunan untuk menggugah tekad melakukan perlawanan terhadap terorisme. Malah, dalam berbagai kesempatan, tidak jarang wartawan mewawancarai teroris ibarat tokoh, bintang film, bahkan pahlawan. Hendaknya media massa, terutama televisi, tidak menelan mentah-mentah sumber berita.

JENIFER WOWORUNTU Lenteng Agung Persada Kav. 54A Jakarta Selatan

Cegah Teroris di Masyarakat

TEMPAT yang paling aman bagi para teroris adalah berlindung di masyarakat. Selama ini kelompok Noor Din M. Top membaur di masyarakat dengan penampilan yang baik, ramah, dan memiliki rasa sosial yang tinggi. Beberapa bulan sebelum bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton, Ibrohim sempat mengontrak rumah di Mampang, Jakarta Selatan.

Saya setuju dengan langkah masyarakat Mampang meningkatkan pengawasan terhadap penghuni kontrakan dan kos-kosan agar tak kembali kecolongan. RT/RW seluruh Indonesia sebaiknya melakukan pendataan warga secara intensif dan terus-menerus.

PRIBADI ADI PARINGGO Jl. Kalisari, Jakarta Timur

Rakyat Butuh Rasa Aman

BEBERAPA waktu lalu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah tak perlu meniru langkah negara lain yang membuat perundang-undangan keras buat menangkal terorisme. Ketua Komisi Ifdhal Kasim meminta pemberantasan terorisme tetap menghormati prinsip hak asasi manusia.

Menurut saya, alasan tersebut sungguh suatu ironi. Para terorislah yang justru melanggar hak asasi manusia berat. Mereka jelas-jelas melukai, menutup mata pencaharian, membuat cacat, sampai menghabisi nyawa orang lain yang tidak berdosa dengan cara-cara keji dan brutal di luar perikemanusiaan.

CRISTOPER SIMANJUNTAK Cilandak, Jakarta Selatan

Merdeka dari Kemiskinan dan Korupsi

ADA peristiwa unik dalam perayaan kemerdekaan Indonesia kali ini, seperti sekitar 2.000 penyelam mengibarkan bendera merah putih di dasar laut Malalayang, Manado. Delapan anggota pencinta alam Politeknik Negeri Ujungpandang juga mengibarkan bendera di tebing Enrekang, Sulawesi Selatan. Semangat nasionalisme yang tersirat dalam aktivitas mereka adalah rasa cinta terhadap kekayaan alam yang terkandung di laut dan di balik dinding bukit.

Namun, kalau hanya berhenti di situ, dampaknya terasa kurang. Semangat itu mesti berujung pada keinginan yang kuat untuk memanfaatkan secara bertanggung jawab potensi kekayaan yang terkandung di bumi pertiwi guna memerdekakan bangsa dari kemiskinan. Hal itu baru terwujud kalau laut dan gunung dijauhkan dari campur tangan asing.

SARJITO Volunteer NGO di NAD

Selamatkan Tangkuban Perahu

TAMAN Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu sebagai ikon Jawa Barat sedang terancam kelestariannya. Menteri Kehutanan M.S. Kaban memberikan surat izin kepada PT. Graha Rani Putra Persada (GRPP) untuk menguasai cagar alam seluas 250,7 hektare itu selama 30 tahun. Di sana GRPP rencananya akan membangun tempat wisata terpadu yang dilengkapi hotel dan kolam renang.

Pada Mei 2007, dengan berbagai alasan, Menteri Kaban mencabut penguasaan hutan Tangkuban Perahu dari Perhutani. Hebatnya, hanya dalam waktu dua bulan semenjak diajukan, surat izin prinsip sudah diberikan kepada GRPP. Artinya hanya dalam waktu sesingkat itu aset negara bisa berpindah tangan kepada pihak swasta.

Selain itu, surat keputusan Menteri Kaban terasa janggal karena dikeluarkan tanpa mengindahkan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Seperti diberitakan, Direktur GRPP Putra Kaban mengaku tak mau berpolemik. Tetapi masyarakat tentu mempertanyakan proses yang terkesan tidak transparan sehingga menimbulkan benturan kepentingan dengan berbagai pihak.

Memang, saat dikuasai Perhutani—hingga kini pun—Taman Wisata Tangkuban Perahu tidak dikelola dengan baik. Obyek wisata kawah dipenuhi oleh kaki lima dan gubuk-gubuk yang tidak tertata. Sampah berserakan di mana-mana, akses jalan tidak terurus, serta parkir mobil awut-awutan. Sungguh perlakuan yang tidak layak untuk sebuah primadona turisme di Jawa Barat.

Yang lebih parah adalah kondisi hutan lindungnya. Kawasan Jayagiri dan Cikole yang terkenal dengan hutan pinusnya kini tampak semakin gundul. Penebangan liar secara terang-terangan terus berlangsung. Alih fungsi lahan menjadi kebun tetap marak dan pepohonan tampak semakin jarang. Tidak terlihat adanya upaya penanaman kembali.

Ekosistem hutan Tangkuban Perahu semakin merana dengan munculnya puluhan aksi pengguna motor trail yang setiap minggunya hilir mudik merangsek ke dalam hutan. Polusi karbon dan suara mengganggu habitat bermacam burung, monyet, dan owa jawa. Belum lagi perusakan permukaan tanah akibat digerus oleh ban radial dari motor-motor tersebut. Sesungguhnya Jayagiri sebagai cagar alam dilindungi undang-undang dari kegiatan yang anti-konservasi.

Lalu, siapa yang bisa menyelamatkan Tangkuban Perahu?

RAHADIAN Jl. Buahbatu, Bandung

Makin Mencoreng Citra DPR

TIDAK dinyanyikannya lagu kebangsaan Indonesia Raya pada pembukaan pidato kenegaraan menyambut ulang tahun kemerdekaan ke-64 menuai kritik. Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyampaikan permintaan maaf melalui Ketua dan Sekretaris Jenderal Dewan, itu tetap dinilai tidak cukup. Perlu pertanggungjawaban secara institusional lembaga Dewan.

Kejadian itu sangat memalukan dan disayangkan, karena pada acara resmi kenegaraan seperti ini lagu kebangsaan Indonesia Raya wajib dinyanyikan. Di samping itu, lagu tersebut merupakan simbol sakral yang tidak seharusnya luput.

FATHYA M.P. Jl. Warung Buncit, Jakarta Selatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus