Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan Sastra di Sekolah Kita

TAK sekali-dua penyair Taufiq Ismail mencemaskan kemunduran pendidikan sastra di sekolah-sekolah Indonesia. Sudah berkali-kali dia menyampaikan kerisauannya. Saya memprediksi teriakan Pak Taufiq dan kawan-kawannya tidak akan ”terdengar” sampai beberapa tahun ke depan. Sepertinya, kita harus menunggu satu atau dua generasi lagi untuk bisa mendengarkan keluhan ini dan mulai mencegah kemunduran pendidikan sastra di sekolah kita.

Penyebab kemunduran pendidikan sastra kita, menurut saya, adalah para pejabat negara kita, terutama di Departemen Pendidikan Nasional, tidak suka membaca. Para penyusun kurikulum pendidikan bahasa dan sastra tidak mengerti bagaimana seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan kebutuhan hidup dan kehidupan bangsa Indonesia.

Keberhasilan pendidikan kita sekarang, apa pun mata pelajarannya, diukur dengan nilai angka-angka di rapor. Padahal pendidikan sastra adalah tentang rasa. Rasa tidak bisa diukur. Dan sastra memang hanya bisa dirasa. Kata Buya Hamka, sastra melembutkan perasaan masyarakat. Kata Goenawan Mohamad, sastra memperkaya kemanusiaan manusia. Begitu seterusnya.

Guru pun bisa disalahkan. Tapi, sebagai pendidik, kami harus mengikuti anjuran atasan: usahakan siswa mendapat nilai tertinggi dalam pelbagai ujian. Jadi yang kami ajarkan adalah bagaimana menjawab soal ujian. Bukan bacalah buku sastra. Itu persoalannya. Saya bertanya kepada sekitar 75 guru dari pelbagai sekolah. Hanya enam yang mengaku sudah membaca novel Laskar Pelangi. Sungguh mengherankan.

SYAIFUL PANDU
Duri, Riau

Pustakawan Minta Bantuan

SAYA pengelola perpustakaan Saba Desa sejak 1988. Saya memasok buku dan majalah untuk dipinjamkan kepada masyarakat di delapan desa di Kecamatan Darangdan, Purwakarta. Saya berkeliling ke desa-desa pada sore hari setelah bekerja. Karena mulai menua, kaki saya mulai tak tahan. Masyarakatlah yang datang ke rumah untuk menukar atau mengembalikan buku atau majalah yang mereka pinjam.

Untuk melancarkan perpustakaan keliling ini, saya butuh sepeda motor. Saya mengajukan permintaan ke Pemerintah Kabupaten Purwakarta saat ada sumbangan 100 unit sepeda motor dan 50 unit mobil dari Ibu Ani Yudhoyono. Menurut petugas di sana, saya tak berhak memperolehnya karena Saba Desa milik pribadi. Pendapat ini keliru karena 20 tahun saya mengabdi dan membantu pemerintah mencerdaskan masyarakat. Melalui surat ini, saya minta bantuan pembaca untuk menyumbangkan sepeda motor baru atau bekas agar kegiatan saya bisa normal kembali.

DJUJU DJUNAEDI
Gunung Hejo, Purwakarta
(0264) 7000550

Soal Pornografi

SAUDARA Daniel H.T. dari Surabaya menanggapi tulisan saya di rubrik Surat (Tempo, 20-26 Oktober 2008). Saya ingin menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Pornografi yang sekarang sudah memberikan rambu-rambu atas peredaran, penjualan, dan pembelian materi pornografi. Tentang 80 persen anak-anak di penjara yang melakukan pencabulan setelah menonton video porno, itu laporan Ketua Komisi Perlindungan Anak yang dimuat media massa. Pada 2002, Biro Investigasi Federal Amerika Serikat membongkar jaringan global pornografi dengan anak sebagai obyek seks. Indonesia adalah pemasok terbesarnya.

Rancangan undang-undang hasil revisi sudah lebih sesuai dengan standar hukum internasional dengan mencantumkan enam pasal pemidanaan produksi, pengedaran, dan kepemilikan pornografi anak. Mohon tak didikotomikan antara perlunya penegakan hukum dan undang-undang, karena keduanya diperlukan sebagai rambu-rambu suburnya bisnis pornografi. Kita belum punya hukum yang mengatur pornografi, bahkan kata ini belum ada dalam hukum kita. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya ada pelanggaran kesopanan dan kesusilaan yang multitafsir.

Rancangan hasil revisi tak melarang perempuan berkemben atau berbikini di pantai. Yang dilarang adalah representasi orang atau banyak orang, tidak spesifik perempuan, dalam berbagai jenis kegiatan seks, dalam audiovisual yang diedarkan atau dijual seperti video Bandung Lautan Asmara atau Goyang Karawang. Menurut catatan Jangan Bugil Depan Kamera tahun 2007 ada 500 tayangan seks baru di Internet yang dibuat siswa, remaja, dan mahasiswa.

Saya setuju jika Pasal 1 Rancangan Undang-Undang Pornografi yang berbunyi ”...yang dapat membangkitkan hasrat seks...” dihapus saja, diganti dengan ”...materi seksual yang cabul dan mesum...” Dengan begitu, saya juga setuju pengecualian untuk agama, seni, dan budaya dihapus karena tak ada yang mesum dan cabul dalam tiga unsur itu. Sungguh tidak ada alasan rancangan ini ditolak, kendati belum memuaskan semua pihak.

INKE MARIS
Sekretaris Jenderal Aliansi Selamatkan Indonesia

Soal Obat Kuat

SELAKU produsen sildenafil sitrat yang terdaftar resmi di Badan Pengawas Obat dan Makanan, kami mendukung imbauan Bapak Muhammad Muluk di rubrik Surat Tempo edisi 25 September-5 Oktober 2008. Bapak Muluk mengimbau agar konsumen berhati-hati terhadap pengoplosan sildenafil sitrat yang ditarik tahun lalu. Kami menegaskan produsen itu adalah produsen obat palsu, termasuk jamu yang diiklankan sebagai obat kuat. Definisi obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh produsen tak berizin atau yang meniru identitas obat lain yang memiliki izin edar.

Sildenafil sitrat adalah jenis zat aktif obat disfungsi ereksi yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter dan dikonsumsi di bawah pengawasan dokter. Kami mengimbau agar masyarakat jangan terkecoh oleh obat kuat yang mencantumkan keterangan ”bebas sildenafil”, padahal di dalamnya diduga terdapat sildenafil atau turunannya.

Sildenafil yang diproduksi oleh kami golongan PDE-5 inhibitor atau golongan penghambat phosphodiesterase tipe-5, yang pertama kali mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hingga kini, dokter menganjurkan pemakaian obat ini dalam resep kepada pasien. Untuk memahaminya lebih lanjut, masyarakat sebaiknya berkonsultasi dengan dokter.

ANDRIANI GANESWARI
Marketing Communication Manager PT Pfizer Indonesia

Jangan Ragu Mengeksekusi Amrozi Cs

Sudah enam tahun peristiwa meledaknya bom di Bali lewat, tapi terpidana mati pelaku teror belum juga dieksekusi. Padahal trauma para korban tak hilang hingga sekarang. Akibat eksekusi yang ditunda-tunda, timbul pertanyaan tentang kredibilitas penegakan hukum di Indonesia di mata asing. Jangan sampai orang lain melihat kita tak memberikan kepastian hukum.

Sementara itu, tiga terpidana mati, Imam Samudra, Amrozi, dan Muklas, mengaku siap dieksekusi kapan pun. Mereka siap menerima hukuman mati sebagai konsekuensi dari perjuangan mereka dalam menegakkan syariat Islam. Saya berharap aparat penegak hukum tidak ragu-ragu melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati bom Bali, Amrozi cs, mengingat ledakan bom di Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, mengakibatkan 202 orang tewas dan 209 orang cedera, sekaligus menepis anggapan bahwa penegakan hukum di Indonesia belum ada.

PRIBADI ADI PARINGGO
Kalisari, Jakarta Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus