Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asian Agri Pinjam Tangan Ilmuwan?

Melalui sebuah seminar publik, para ilmuwan dari Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) mengumumkan hasil kajian ilmiah atas pemberitaan-pemberitaan yang dibuat jurnalis Tempo. Kajian ilmiah itu dilakukan atas pesanan Asian Agri, anak perusahaan Raja Garuda Mas (RGM) milik Sukanto Tanoto, pengusaha asal Medan.

Dalam berbagai iklan berukuran besar yang dipublikasikan oleh Veloxxe Consulting yang juga disewa oleh Asian Agri untuk menjadi penyelenggara seminar publik, Asian Agri merasa bahwa pemberitaan Tempo tendensius, tidak berimbang, tidak cover both sides dan memuat unfairness news, dan oleh karenanya Asian Agri mengadukan permasalahan itu ke Dewan Pers. Memang seharusnya demikianlah yang dilakukan oleh perusahaan yang dirugikan oleh media.

Kami ingin bertanya kepada para ilmuwan: Apakah hasil kajian tersebut merupakan sikap resmi perguruan tinggi, ataukah sikap oknum di perguruan tinggi tersebut yang telah memperoleh manfaat ekonomi dari kegiatan ini? Kami sungguh prihatin jika lembaga perguruan tinggi yang terhormat itu hanya digunakan sebagai pemberi statemen bahwa jurnalis Tempo bersalah karena melanggar Kode Etik Jurnalistik. Jika ini terjadi, sulit sekali publik memahami bahwa sikap tersebut dependen atau independen.

Soalnya, bukan itu masalah sesungguhnya. Persoalan besarnya seperti yang diberitakan berbagai media adalah adanya dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri. Jika dugaan ini benar, pertanyaannya adalah bagaimana upaya kita menyelamatkan keuangan negara. Jika tidak benar, bagaimana Asian Agri menangkis tudingan yang kini sedang diperiksa Dirjen Pajak dan dimonitor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inilah persoalan bangsa yang harus didiskusikan oleh kita semua, termasuk oleh para ilmuwan dari UGM dan UI, baik yang dibayar secara profesional maupun tidak. Saya kira tidak ada manfaatnya sama sekali para ilmuwan hebat itu mendedikasikan pengetahuan dan kebijakannya untuk dipinjam tangannya mengeroyok jurnalis yang memiliki idealisme dan keprihatinan atas potensi kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh penggelapan pajak.

KEN OETOMO Pemerhati Media http://purelwatch.worpress.com

Selamat untuk Aburizal dan Sukanto

Kami mengucapkan selamat kepada Aburizal Bakrie dan Sukanto Tanoto karena kedua konglomerat ini memperoleh predikat bergengsi sebagai Orang Paling Kaya di Indonesia dengan Peringkat Pertama dan Peringkat Kedua, versi Forbes Asia, majalah bisnis paling terkemuka di kawasan Asia. Menurut majalah tersebut, Aburizal dan keluarganya ditaksir memiliki kekayaan senilai US$ 5,4 miliar, naik dari tahun sebelumnya (2006) US$ 1,2 miliar.

Sedangkan kekayaan Sukanto Tanoto meningkat menjadi US$ 4,7 miliar dari US$ 2,8 miliar (tahun 2006). Tahun lalu, menurut majalah yang sama, Sukanto Tanoto, konglomerat asal Medan, pemilik kelompok usaha Raja Garuda Mas (GRM) yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas dan bubur kertas, kelapa sawit, energi, dan lainnya, menempati peringkat pertama. Sungguh sebuah prestasi yang luar biasa.

Menjadi kaya memang merupakan hak setiap orang. Namun, perkenankan kami mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka. Pertama, bagaimanakah caranya memperoleh kekayaan yang luar biasa besar itu. Jawaban Anda mudah-mudahan bisa menginspirasi dan memotivasi anak bangsa yang lainnya untuk menjadi kaya. Kedua, kepedulian sosial seperti apa yang sudah Anda lakukan, terutama untuk bencana besar seperti lumpur panas Sidoarjo dan bencana banjir bandang serta longsor yang disebabkan oleh penggundulan hutan dan pembalakan liar. Ketiga, apakah konglomerat paling kaya ini juga membayar pajak dengan tertib, tanpa melakukan penggelapan.

LIEM POERNAMA Koordinator Conglomerate Monitor Network (CMN), Jakarta

Klarifikasi Lemhannas RI

Berikut ini klarifikasi Lemhannas sehubungan dengan wacana yang menarik sekaligus menimbulkan pro-kontra, yang tak jarang diwarnai sikap emosional tentang “gubernur sebaiknya ditunjuk langsung oleh presiden”.

  1. Pendapat tersebut bukan merupakan sikap resmi Lemhannas RI, tetapi merupakan salah satu rekomendasi seminar yang diselenggarakan peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XL dengan tema “Memantapkan Pelaksanaan Otonomi Daerah Menyongsong Seabad Kebangkitan Nasional Guna Mewujudkan Ketahanan Politik Dalam Rangka Ketahanan Nasional”

  2. Peserta seminar adalah siswa PPRA yang terdiri dari anggota TNI, Polri, pegawai nageri sipil, organisasi massa, partai politik, organisasi profesi, dan tokoh masyarakat.

  3. Laporan lengkap hasil seminar telah disampaikan di depan Presiden RI pada 6 Desember 2007 di Istana Merdeka. Presiden sama sekali tidak memberikan pendapat tentang hal tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada para peserta PPRA atas dasar kebebasan berpendapat.

  4. Lemhannas sebagai lembaga selalu menjunjung tinggi dan menegakkan kebebasan akademis, kultur akademis dan kejujuran intelektual, serta tidak pernah dan tidak mau dipengaruhi kepentingan politik siapa pun.

PROF DR MULADI SH Gubernur Lemhannas

Pungli di KBRI Malaysia

BRAVO dan salut kepada tim investigasi Tempo edisi 3-9 Desember 2007, yang berhasil menguak jejaring ketidakberesan di Departemen Luar Negeri RI, walaupun itu hanya sebuah noktah dari puncak gunung es di tengah laut.

Yang luar biasa adalah kejelian tim investigasi Tempo dalam melakukan pengusutan, yaitu dengan keberhasilan mengorek keterangan dari pegawai lokal (bukan pejabat home staff) bernama Sri Edith Akili, yang justru telah memberikan informasi dengan klasifikasi A, bahwa ia diperintahkan dan telah menghancurkan dokumen penting milik negara yang disebut Buku Register. Temuan ini bisa menjadi pembuka jalan bagi investigasi-investigasi selanjutnya.

M.E.D. NGANTUNG Kelurahan Guntur, Jakarta Selatan

Tanggapan Global Warning

KAJIAN tentang global warming (global warning) di Tempo edisi 3-9 Desember 2007 sangat menarik. Konferensi yang dihadiri 10 ribu orang dari 190 negara di dunia khusus membahas pengurangan emisi gas rumah kaca. Protokol Kyoto yang mengkaji kasus ini ditandatangani oleh semua negara, kecuali Amerika.

Mengapa Amerika negara penyumbang emisi terbesar justru tidak bersedia? Belum banyak dibahas (juga oleh Tempo), tetapi diduga kebijakan kontradiktif ini akan berdampak luas terhadap pengurangan pabrik di negara besar ini, termasuk industri persenjataannya. Tidak masuk akal kalau penolakan ini karena mereka tak mampu membayar kompensasi.

Saran saya kepada pemerintah. Pertama, kita tetap menjunjung tinggi protokol Kyoto, tetap berusaha menjual jasa hutan untuk memperoleh kompensasi pengurangan emisi (skema REDD). Kedua, tidak perlu memangkas habis kegiatan eksploitasi hutan, tetapi dipilih-pilih. Yang memenuhi standar lestari dipertahankan.Ketiga, HPH-HTI tetap diteruskan, karena justru hutan muda hasil HTI ini merupakan pohon yang produktif menyerap karbon. Keempat, hutan dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Kelima, penjagaan hutan diserahkan kepada petugas kehutanan yang profesional.

DJUWADI WIRYATMO Dosen Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta

Bali Road Map Perlu Disosialisasi

PATUT disyukuri bahwa Konferensi Perubahan Iklim PBB pada 2007 berhasil melahirkan Peta Jalan Bali (Bali Road Map) yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Peta ini menghasilkan kesepakatan aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan, yang meliputi adaptasi dan mitigasi. Peta Jalan Bali perlu disosialisasi kepada masyarakat, baik di dalam negeri maupun masyarakat internasional.

Pelaksanaannya juga harus diawasi agar pemanasan global tidak semakin parah dan merugikan kehidupan manusia.

DWI LESTARI Perum Telaga Kahuripan, Bogor

Catatan untuk Bupati Kudus

SAYA kaget bukan main mendengar Bupati Kudus H.M. Tamzil mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013. Padahal ia diduga terlibat korupsi terkait renovasi rumah dinas yang memakai anggaran daerah dan mengakibatkan kerugian negara Rp 2,8 miliar.

Berdasarkan penelitian tim ahli teknis pembangunan yang ditunjuk Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, nilai riil bangunan dengan anggaran yang dialokasikan tidak sepadan. Ini memperkuat hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri Kudus tentang adanya penggelembungan dana.

Dari total biaya Rp 4,7 miliar, tim ahli teknis pembangunan menaksir hanya Rp 1,9 miliar yang digunakan untuk merenovasi. Sisanya diduga diselewengkan. Sayang, kasus ini tidak ada tindak lanjutnya dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Kalau sudah seperti ini, yang ikut berdosa sesungguhnya media massa, karena koruptor dipermak menjadi baik dan religius oleh berita yang menyesatkan. Sudah saatnya KPK turun.

ACHSIN EL-QUDSI Alumni Madrasah Diniyyah Mu’awanatul Muslimin Kenepan, Kudus

Soal Konferensi Perubahan Iklim Bali

DELEGASI berbagai negara peserta Konferensi Perubahan Iklim PBB di Nusa Dua, Bali, Sabtu, 15 Desember 2007, akhirnya menyetujui konsensus baru untuk menekan laju perubahan iklim, yaitu Peta Jalan Bali.

Terlepas dari berbagai isu teknis, banyak kalangan menilai keberhasilan Konferensi PBB di Bali ini akan membawa dampak positif bagi Indonesia, baik dari sisi pariwisata, ekonomi, maupun politik.

Acara ini tergolong sukses karena mampu menghadirkan 10 ribu peserta. Hajatan ini tak hanya menjadi perhatian rakyat Indonesia, tapi juga dunia. Kita boleh merasa bangga akan terpilihnya Bali sebagai tuan rumah konferensi yang sangat penting bagi kelangsungan dan kelestarian kehidupan manusia di muka bumi ini. Terpilihnya Bali juga menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan dunia terhadap keamanan di Indonesia.

Keberhasilan Indonesia mendapatkan legitimasi internasional tentunya harus dijaga dengan baik. Semoga keberhasilan ini dapat dicatat dalam sejarah dunia, betapa peran Indonesia sangat menentukan dalam perubahan iklim.

IRSYAD SAPUTRA Jalan Jatayu 17, Arengka, Pekanbaru


RALAT

Dalam artikel “Menu Pahit untuk Al Gore” pada Tempo edisi 17 Desember terdapat kesalahan penyebutan nama. Tertulis Emmy Hafidz dari Greenpeace. Yang betul Emmy Hafild.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus